TEMPUS 4 : Tidak Bertanya Sesat di Jalan

Seperti biasa, ketika jarum jam sudah menunjukkan pukul empat sore aku berdiri di depan gerbang masuk fakultasku. Tentu saja aku sedang menunggu jemputan untuk pulang.

Kak Ravi, kakak keduaku itu yang akan menjemputku. Biasanya ia sangat tepat waktu, namun sekarang sudah lebih sepuluh menit aku berdiri menunggu mobil sedan elegan itu berhenti di hadapanku.

Saat aku menoleh ke kanan, aku melihat seorang pria yang kutemui tadi pagi di taman tunas bangsa. Pria yang memakai kalung bercahaya keemasan itu. Dan sekarang, aku pun masih bisa melihat cahaya keemasan yang memancar sari kalung tersebut. Padahal kalung itu berasa di balik kaos polos yang pria itu kenakan, namun menurut penglihatanku cahaya dari kalung itu benar-benar memancar kuat. Intinya begitu mencolok dan menarik perhatianku.

Tak terasa, langkah kakiku membawaku mendekati pria itu yang sedang berbincang dengan dua temannya.

Namun belum juga sampai di dekatnya, bunyi klakson mobil sedan yang kuharapkan tadi sudah membuatku terkejut lebih dulu. Sehingga kedua langkahku berhenti dan aku menoleh ke belakang.

Tampak Kak Ravi sedang memunculkan kepalanya keluar dari kaca jendela. Wajahnya terlihat lelah dan kesal seraya menyuruhku untuk cepat masuk ke dalam mobil dan pulang.

"Tumben telat Kak?" Tanyaku basa-basi sambil mengenakan sabuk pengaman.

"Pusing. Lagi banyak tugas akhir." Keluhnya seraya mengarahkan mobil untuk bergabung dengan kendaraan lain di jalan raya.

Aku mengangguk pelan dan memeluk tas backpack yang kupangku.

"Kenapa minta jemput aku sih?" Tanya Kak Ravi yang sepertinya kesal.

Aku nyengir kecil. "Hehe, males kalau dijemput sama Bang Wara."

"Emang kenapa? Dia masih ngomelin hal yang sama?"

"Iya tuh. Dia terus aja nyuruh aku buat buka kotak dari Ayah. Emang semuanya dapet juga ya?"

Kak Ravi mengangguk. "Dapet semua, Lova. Tapi punya kakak gak berfungsi. Cuman kakak simpen aja dan dipajang di meja belajar. Punya Bang Wara juga gak berfungsi, yang berfungsi punya Elang."

"Hah? Punya Kakak dan punya Bang Wara yang berfungsi? Emang fungsinya apaan sih kak?" Tanyaku penasaran. Karena aku memang tidak mengetahui isi di dalam kotak itu apa, untuk apa, dan apa yang terjadi jika aku membukanya.

Tapi Kak Ravi mengedikkan kedua bahunya. "Tentu aku kurang tahu. Baiknya kamu tanya sama Bang Wara aja. Dia yang lebih tahu semua tentang Ayah."

"Males ah kak.. aku gak yakin sama isi kotaknya. Dan makin hari, hidupku banyak anehnya. Capek aja gitu, pengen normal kayak manusia lainnya." Ujarku jujur. Karena memang lelah sekali jika setiap hari terus mengalami hal aneh yang tidak terduga. Jantungku benar-benar terus terkejut setiap kali mengalami sesuatu.

Kak Ravi mendecakkan lidahnya pelan. "Kamu akan tahu begitu kamu membuka kotak dari Ayah, Lova. Lagian kakak juga gak bisa jelasin hal itu ke kamu. Gak aman juga kalau harus bicarain itu di jalan kayak gini. Pokoknya, kamu cukup bicara saja sama Bang Wara."

"Kalau Bang Wara capek dan gak mau nanggepin gimana? Dia kan paling gak suka diganggu kalau udah pulang kerja." Balasku.

"Tanya sama Elang aja sana."

"Ogah!! Dia ketus banget dan misterius. Yang ada aku bawaannya dendam mulu kalau ngomong sama dia."

"Hush! Jangan ngomong gitu. Dia itu juga kakakmu. Kalau Elang juga gak mau ngejelasin, paling mentok kamu ngobrol aja sama Ibu." Tandas Kak Ravi menyuarakan pendapat terakhirnya.

Aku mendengus pelan dan cemberut. Entah bibirku sudah manyun maju berapa meter. "Bicara sama Ibu tuh gak seru. Banyak omelannya. Kalau kakak-kakakku pada ogah, ya udah aku gak akan ngebuka kotak itu. Pokoknya aku maunya dijelasin sama salah satu di antara kalian." Seruku kesal.

"Ya sudah, pasti harapanmu cuman terletak di Bang Wara. Hahaha, terus aja repotin Bang Wara."

Aku mengalihkan pandanganku saja menatap situasi jalanan yang tidak terlalu padat. Enggan menanggapi perkataan Kak Ravi yang terdengar seperti menyudutkanku. Dia itu memang tidak suka kalau disuruh menjelaskan sesuatu. Padahal dia itu ingin menjadi dokter, bukankah seharusnya ia suka menjelaskan sesuatu pada orang lain?

Ah, memang dasarnya Kak Ravi itu sedikit egois juga. Aku tidak mau memaksanya kalau dia selalu menjawab dengan jawaban yang sama.

Lagi pula, aku masih belum benar-benar berminat membuka kotak dari Ayah. Entahlah, perasaanku gundah saja setiap kali memikirkan atau disinggung perihal itu.

Yang kuinginkan saat ini, aku hanya berharap bahwa hidupku tidak aneh. Aku ingin tidur normal seperti orang lain, tidak teleportasi dadakan seperti tadi, dan juga tidak ingin melihat hal-hal aneh yang bercahaya seperti kalung yang dikenakan pria itu.

Apa saat aku sudah membuka kotak dari Ayah, hidupku akan baik-baik saja? Apakah akan kutemukan sesuatu di sana yang bisa membantuku dan membuat kehidupanku normal? Argh!! Yang benar saja? Huft, sepertinya aku memang harus bicara dengan Bang Wara saja.

***

Sampai di rumah, aku langsung meletakkan tas backpackku dulu di sofa panjang yang menghadap televisi.

Seperti biasa aku selalu mampir ke dapur dulu sebelum naik ke lantai dua menuju kamar. Di dapur, masih ada beberapa karyawan catering yang membantu ibuku. Tentu dengan ramah aku menyapa mereka semua.

Dan sepertinya Ibu sedang menerima pesanan khusus berupa delapan nasi tumpeng yang besar. Sepertinya untuk acara besar berupa syukuran atau hari peringatan di sebuah kantor atau keluarga besar.

"Bu..." panggilku seraya mengeluarkan sebotol air mineral dari dalam kulkas.

Seketika itu juga Ibuku itu langsung melirik ke arahku. "Apa?" Tanyanya begitu kalem.

Aku nyengir kecil. "Bang Wara sudah pulang kah?"

"Kayaknya sudah tadi. Ibu agak lupa, banyak pesanan soalnya. Lagi pula abangmu itu kan gak pernah pulang telat, ngalah-ngalahin anak gadis." Ujar Ibu yang sambil meledek kakak pertamaku itu. Mungkin Ibuku gemas juga pada Bang Wara, karena tidak kunjung membawa calon menantu ke rumah.

"Ya sudah, aku ke atas dulu."

"Iya. Tapi jangan tidur, sudah sore. Gak baik." Peringatnya.

Aku mengangguk saja. Lagi pula aku juga enggan tidur lagi, takutnya bisa-bisa aku teleportasi lagi seperti tadi. Sangat tidak lucu kalau aku teleportasi dadakan ke kutub utara.

Sebenarnya aku ke kamar hanya untuk meletakkan tas backpackku saja dan melepaskan jaket serta kaos kaki.

Mumpung masih sore, biasanya Bang Wara memang sedang bersantai di dalam kamarnya. Jadi kini kuputuskan untuk mau mengobrol dengan kakak pertamaku itu. Lama-lama aku sudah tidak tahan lagi menahan sesuatu yang tidak kuketahui penyebabnya.

Sampai di depan kamar Bang Wara, aku mengetuk pintunya tiga kali. Langsung saja ada sahutan suara menyeru dari dalam. "Masuukk.."

Klek!!

Aku masuk sambil nyengir. Ternyata Bang Wara sedang rebahan saja sembari bermain ponselnya.

"Sibuk gak Bang?"

"Nggak, kenapa? Tolong jangan minta anterin keluar lagi. Ogah banget." Celetuk Bang Wara yang sudah berburuk sangka lebih dulu.

Tentu aku langsung mendengus pelan. "Dikira adikmu ini cuman butuh abangnya jadi sopir doang apa!! Aku ada perlu serius tauk."

Mendengar perkataanku, Bang Wara pun langsung duduk. "Ada apa memangnya?" Tanyanya dengan sabar.

"Hehe, mau bahas kotak dari Ayah." Ujarku yakin.

"Serius?"

Kuanggukkan kepalaku beberapa kali. "Aku udah gak tahan Bang. Bisa kan jelasin ke aku?"

Bang Wara pun langsung tersenyum. "Dengan senang hati, nona Bellova. Kalau gitu kita ke kamarmu. Buka kotakmu itu." Perintahnya langsung. Ia pun langsung beranjak dan keluar dari kamar lebih dulu dariku.

Hmm, seharusnya aku yang antusias. Mengapa jadi Bang Wara yang sangat antusias?

*****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!