Sesuai dengan kesepakatan tadi pagi saat di perpustakaan, sekarang Sera langsung menghampiriku begitu kelas terakhir sudah selesai. Perempuan itu tersenyum lebar dan menyibakkan rambut panjangnya yang tergerai ke depan.
Aku pun balas memberikan senyuman pada Sera.
“Kata Kak Andra, lo tadi diajak makan siang bareng. Bener kan?” Tanya Sera padaku.
Aku mengangguk. “Bener, sekarang?”
“Hahaha, ya sekarang lah Bell. Perut udah keroncongan banget ini.” Keluh Sera.
“Banyak orang gak sih kalian? Umm, maksudku yang gabung makan siang bareng tuh ada berapa banyak orang?” Tanyaku. Jujur saja aku memang kurang nyaman berada di tengah-tengah banyak orang. Selain tidak pandai bicara dan se-terbuka itu pada orang baru, aku ini memang introvert di dunia pertemanan.
Sera tampak terkekeh. “Udah gak usah khawatir. Cuman berempat kok.”
“Soalnya tadi Kak Andra bilang ada lo dan yang lainnya. Gitu.”
“Tadinya gitu, mau rame-rame makan siang bareng. Tapi ternyata banyak nggak bisa. Banyak yang harus ketemu sama kelompok gitu, ada tugas. Jadi yang bisa cuman Kak Andra, Leo, gue, sama lo deh.”
Aku mengangguk-angguk. “Oke deh, yuk.” Ajakku yang sudah beranjak juga dari kursi.
Sera tampak senang ketika aku mau bergabung. Perempuan itu langsung menggamit siku tangan kananku. Kami pun berjalan berdua keluar dari kelas, sudah seperti sepasang sahabat yang akrab saja, haha.
***
Duduk berhadapan dengan Kak Andra, membuatku cukup merasa canggung. Kami berempat memutuskan makan siang di salah satu kafe yang dekat dengan fakultas FISIP. Dan aku sudah memesan semangkuk soto ayam kampung dengan taburan kentang kriuk dan bawang goreng.
Aromanya begitu lezat, ditambah lagi dengan segelas es jeruk yang manis-manis asam. Tampak cocok disantap siang hari begini.
Sedangkan Sera memesan nasi goreng seafood. Cuaca panas begini bagiku tidak begitu cocok kalau makan yang kering-kering, tapi selera orang memang berbeda-beda.
“Jadi lo cewek yang jarang gabung sama temen-temen jurusan?” Tanya seorang pria yang bernama Leo, dia teman akrab Kak Andra.
Pertanyaan itu membuatku sedikit tersinggung, memang apa salahnya jika introvert? Yang penting tidak merugikan orang lain, bukan?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, kulihat Kak Andra langsung menyikut Kak Leo dengan tegas. “Lo nanya jangan yang begitu napa? Gak bermutu banget. Diajakin kenalan kek. Lagi pula apa salahnya kalau punya sifat introvert? Yang penting kan gak merugikan orang lain.”
Aku hampir saja tersedak. Perkataan Kak Andra yang membelaku seolah-olah tahu apa isi pikiranku. Sera langsung memberiku minuman ketika melihatku terbatuk sejenak.
“Ya sorry, gue baru ngerti ini ada orang yang bener-bener introvert.” Ujar Kak Leo.
“Bellova itu memang introvert, tapi kalau udah kenal juga bakalan bisa menyesuaikan tempat dan kelompok pertemanan kok. Ya kan Bell?” Tanya Sera. Ternyata dia juga membelaku.
Aku pun tersenyum dan mengangguk. “Iya. Gue memang introvert. Bukan malu atau gak bisa bergaul, tapi ya memang begitu saja. Gue susah dan gak bisa memulai perbincangan lebih dulu. Cenderung diajak lebih dulu dari pada mengajak.” Jelasku dengan menatap Kak Leo.
Kak Leo terlihat mengangguk, sepertinya ia sudah paham. “Ooohh, berarti kalau gak diajak ngobrol duluan ya gak bakalan ngomong dong?” Tanyanya.
“Hehe, iya seperti itu.” Jawabku singkat.
“Orang tuh emang beda-beda Yoo.. banyak artis juga yang mengaku dirinya introvert. Tapi tingkatan introvertnya itu beda. Kalau bukan sama circlenya sendiri, ya gak akan mau bicara lebih dulu.” Jelas Kak Andra.
Aku pun mengangguk setuju. Memang kira-kira seperti itu. Introvert itu banyak macamnya, tidak hanya satu jenis saja.
Kulanjutkan melahap semangkuk soto ayam kampung yang lezat. Aku memang tidak pernah bosan makan soto meskipun setiap hari akan menuju ke kantin atau kafe yang sama. Sebenarnya tempat ini bukan kafe, lebih ke jenis kafetaria yang juga menyediakan makanan.
Teman-teman lain biasa menyebutnya kafe lokal. Bukan kafe seperti yang ada di pinggiran jalan raya di mana tempatnya begitu aesthetic jika dibuat foto-foto.
Saat aku menghabiskan soto ayam sudah setengah porsi, ada seorang pria yang datang dengan menunjuk ke arahku. Dia datang dengan seorang perempuan berambut lurus warna coklat terang.
“Nih dia orangnya. Kebetulan ada di sini. Lo jujur aja Frey, lo kan yang nyuruh dia? Dia masuk ke tim hore lo?” Tanya pria itu.
Sungguh, di sini suasana hatiku jadi berantakan. Pria itu adalah pria yang tidak sengaja kuikuti tadi malam, saat aku belajar mengendalikan teleportasi dan cara kerja jam saku milikku. Pria yang sekarang memakai topi hitam.
Aku mendengus kesal dan melepaskan sendok dan garpu. Lalu aku berdiri dan menatap mereka berdua. Tentu, beberapa mahasiswa lain yang makan di tempat itu mulai menatap ke arah kami. Apalagi yang satu meja denganku, yakni Kak Andra, Kak Leo, dan Sera.
“Ngapain lo ke sini?” Tanyaku kesal.
Jari telunjuk pria itu menunjukku lagi. Tatapannya begitu kesal sekali. “Jawab Frey!! Dia kan yang lo suruh buat nguntit gue ke mana-mana? Gue risih ya! Dan gue ogah jadi ketua BEM!!” Tegasnya dengan suara yang sedikit membentak.
Tentu aku sangat amat bingung. Lalu kutatap perempuan yang tampak kesal juga, berdiri di samping kiri pria itu.
“Bukan dia!!!” Tegas perempuan itu sambil bersedekap dada dan menatap pria di sampingnya dengan memberengut kesal.
“Halah, gak perlu bohong lo.” Ujar pria itu yang sepertinya bebal sekali.
“Gue bilang bukan dia ya bukan dia!! Lagian ngapain gue nyuruh anak dari jurusan yang beda? Lo tuh kalau dibilangin sekali, jangan terus nyolot dan bikin gue ngomong berkali-kali dong. Resek banget lo. Denger ya, gue itu udah bubarin tim hore gue kemarin sore. Udah gak ada lagi yang bakal ngejar-ngejar lo buat ngeyakinin lo mau jadi ketua BEM. Lagian bener kok kata banyak temen, kalau lo itu gak pantes jadi ketua BEM.” Tegas perempuan itu.
Aku yang kini hanya menonton, menelan ludah saja dengan pelan. Dua orang asing di hadapanku, sedang bertengkar perihal masalah pemilihan ketua BEM.
Lagi pula aku sangat amat setuju dengan pendapat perempuan itu. Pria bertopi itu tidak pantas jadi ketua BEM. Seorang ketua BEM tidak akan memiliki sikap egois seperti dirinya. Dengan orang lain saja selalu salah paham dan tidak akrab.
Kulihat pria itu kembali menatapku. “Terus tujuan lo ngikutin gue kemarin apa??!!” Tanyanya membentak.
Aku pun bingung hendak memberi jawaban apa. Aku sendiri juga muak terus bertemu dengannya. Masa iya aku harus menjelaskan semuanya? Bahwa aku sedang teleportasi dan tidak sengaja menuju ke tempat di mana pria itu berada?
“G-gue gak sengaja ada di sana. Gue juga---”
“Ngaku deh, lo sebenarnya siapa?!!”
Aku merasakan tangan kananku ditarik sedikit mundur, ternyata tangan kiri Kak Andra yang menarikku.
Lalu tubuh Kak Andra berdiri tegap di depanku, hingga kini aku hanya menatap punggung tegapnya. Kak Andra bermaksud melindungiku dari pria aneh itu. Tangan kanannya pun langsung mendorong dada pria itu, supaya pria itu berdiri lebih mundur.
“Bro, kalau tanya ke cewek, yang kalem dan santai. Lo gak lihat apa dia ketakutan? Kalau memang ada masalah, lo bisa bicara baik-baik. Lagian lo gak rugi apa-apa kan?” Tanya Kak Andra.
Kuintip dari lengan Kak Andra, pria itu terdiam dan melirikku lagi.
“Gak ada urusannya sama lo.” Ujar pria itu.
Kurasakan tangan Sera menarikku dari belakang. Aku pun menoleh, dan Sera langsung menyuruhku duduk lagi dan minum.
“Ya memang gak ada urusannya sama gue, tapi cara lo salah. Gue tahu lo, lo Jarvis kan? Gue rasa lo cukup terkenal juga sebagai mahasiswa yang IPK nya tinggi. Harusnya lo punya etika. Silakan kalau memang mau memecahkan masalah itu, tapi tolong tahu tempat dan etika. Sekarang kami masih makan siang. Lo bisa pergi dulu.” Ujar Kak Andra begitu sabar. Terdengar dari nada bicaranya yang tidak balik membentak sama sekali.
Aku pun merasa dilindungi. Memang sial saja aku bertemu dengan pria seperti itu. Ganteng sih, hanya saja sikapnya kasar.
“Lo gapapa Bell?” Tanya Kak Andra setelah pria dan perempuan tadi pergi.
Aku mengangguk. “Gapapa kok Kak.”
“Ya udah, lanjut makan aja. Gak usah peduliin tatapan yang lain.” Ujar Kak Andra lagi.
Dan aku tersenyum menanggapinya. Kulihat Kak Leo tampak menyikut Kak Andra dan tersenyum-senyum sendiri. Ia pun segera mengolok Kak Andra yang mungkin saja menyukaiku. Namun aku menggelengkan kepala dan menanggapi perkataan Kak Leo dengan tertawa.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments