TEMPUS 17 : Pertemuan Malam

Aku berusaha tidak menunjukkan kekesalanku pada Kak Elang. Bagaimana pun ia sudah mau menjemputku dan melakukan amanah yang diberikan Bang Wara. Iya itu tadi, amanah berupa menjemputku pulang dan tidak memperbolehkanku pulang lebih molor.

Begitu sampai di rumah, seperti biasa aku menyempatkan diri mampir ke dapur untuk menyapa Ibuku dan beberapa karyawan usaha catering Ibu. Mereka semua ramah dan aku pun berniat bercengkerama sejenak.

Usai itu, aku langsung naik ke lantai dua menuju kamar. Kali ini aku sedikit malas mengerjakan tugas dengan tepat waktu dan malas juga merangkum materi yang disampaikan dosen tadi. Langsung saja aku mandi untuk mendinginkan pikiranku yang sempat terasa rumit karena Jarvis tadi.

Menuju waktu maghrib, aku turun menemui Ibu. Dan aku ijin ingin makan malam sendirian di dalam kamar.

Untungnya Ibu membolehkanku karena mungkin Ibu masih beranggapan bahwa aku masih kesal dengan Kak Elang.

Sehingga aku langsung tersenyum lebar dan mengambil makanan sepiring penuh, sebotol air mineral, dan satu kemasan jus buah dari kulkas. Kubawa itu semua untuk kusantap di dalam kamar saja. Kali ini aku benar-benar malas makan bersama di meja makan.

Aku juga sempat melihat Bang Wara yang baru saja pulang. Wajahnya terlihat kusut dan tidak bersemangat. Kurasa memang ada masalah serius di kantornya. Sehingga aku tidak berani menyapanya atau berbasa-basi dengannya.

Sedangkan Kak Ravi tampak rajin membaca buku pengetahuan di ruang tengah. Dan Kak Elang sejak pulang tadi belum keluar dari kamarnya.

Huh, kata siapa bahwa memiliki banyak saudara itu selalu ramai? Nyatanya semua sibuk sendiri-sendiri begitu juga Ibuku. Dan sebagai anak bungsu yang tidak mau mencari perkara, aku pun merasa lebih baik jika mengasingkan diri di dalam kamar saja.

***

Aku sempat tertidur sejenak usai kekenyangan dan terhibur karena menonton drama korea melalui laptop. Alhasil ketika aku bangun, laptop dalam keadaan mode sleep.

Kulihat jam dinding kamar sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Astaga! Aku tidak tahu bahwa aku tertidur selama itu. Padahal tadi aku juga berencana untuk mengerjakan tugas kuliah atau menunggu panggilan dari Jarvis melalui pikiran.

Aku pun meringis kecil, lalu memilih mematikan laptopku saja karena jika dalam mode sleep terlalu lama bisa memicu kerusakan.

Dan setelah laptop mati, aku langsung mencari keberadaan jam saku milikku. Aku beranjak dari kasur, karena jam saku itu masih berada di dalam tas backpackku. Setelah menemukannya pada letak bagian paling depan, aku tersenyum dan menggenggamnya.

Baru saja kakiku hendak melangkah kembali ke ranjang, dengan terpaksa aku merasakan panggilan dari Jarvis. Seperti tadi sore. Panggilan yang dilakukan melalui pikiran, seperti terkoneksi dengan batin. Langsung saja aku terpejam, dan aku bisa melihat di mana dia berada.

Jarvis berada di depan perpustakaan kota. Perpustakaan tempatku bertemu dengannya karena teleportasi tanpa kehendakku.

Tapi kali ini juga…. SPLASH!!

“Apa-apaan sih?!! Kan gue belum siap mau ke sini!!” Bentakku pada Jarvis.

Ya, aku ditariknya langsung untuk teleportasi ke tempatnya berada. Padahal aku belum mengenakan alas kaki apa pun, belum menguncir rambutku, dan bahkan aku mengenakan piyama longgar lengan panjang yang kali ini bermotif panda dengan warna dasar putih.

Terlihat Jarvis tanpa mendengus dan tersenyum meremehkanku. “Maaf, gue gak tahu.”

Aku tentu semakin murung. Kutatap lama jam saku milikku. Tujuanku ingin teleportasi lagi, kembali ke kamarku. Namun sampai beberapa detik berlalu, tidak terjadi apa-apa. Dan kudengar Jarvis terkekeh.

“Lo itu belum bisa stabil. Kemampuan lo itu belum lo kuasai dengan benar. Makanya lo gampang ketarik kayak gini.” Omelnya padaku.

“Sok tahu!!” Olokku karena kesal.

“Memang gue tahu.” Balasnya sambil bersedekap dada.

“Ngerepotin banget sih lo!! Lagian ngapain malem-malem lo manggil gue melalui pikiran? Jadinya gini!”

“Gue cuman mau ngomongin ke lo, besok aja kita mulainya. Tapi gue belum keburu ngomong, lo udah ketarik ke sini. Ya jangan salahin gue. Lo kan emang gak punya rem buat handle ini.” Ujarnya yang membuatku merasa tertohok.

Pria ini benar-benar menyebalkan sekali. Padahal dia sendiri yang memaksaku untuk mau diajari olehnya.

Aku tidak menyahuti perkataannya. Langsung saja aku berbalik menuju ke arah lain, karena sebaiknya aku pulang saja dengan cara manual. Iya, manual. Berjalan kaki, atau mungkin nanti aku akan menemukan taksi yang beroperasi malam hari.

Namun, di detik berikutnya, tangan kiriku dicekal. Otomatis aku langsung berbalik karena Jarvis menarikku sedikit kuat. Membuatku langsung melihatnya yang membungkuk, dan meletakkan sepasang sendal karet berwarna hitam di hadapan kakiku.

“Dipakek.” Ucapnya, seakan sebuah perintah.

Aku menelan ludah pelan. Dan mau tak mau aku memakai sendal itu. Bagaimana pun juga, aku risih kalau berjalan kaki tanpa alas apa pun dan terkena banyak pasir di jalanan. “Kok lo bawa sendal?” Tanyaku heran, karena Jarvis sejak tadi juga sudah memakai sepatu sport.

“Gue hobi bawa sendal aja ke mana-mana. Soalnya sering mampir ke tempat yang lain.” Jelasnya sebagai alasan.

Aku mengangguk saja dan menatap kedua kakiku yang sekarang sudah memakai sendal dari Jarvis. Meskipun tampak kebesaran, tapi nyaman. “Thanks.” Ujarku pelan.

“Pake ini juga.” Ujar Jarvis lagi. Kali ini dia memberikan sebuah jaket hitam yang tadinya ia kenakan.

“Lo?”

“Pakek aja buat lo. Itu baju lo dilihatin banyak orang yang lewat sejak tadi. Lo kayak anak kecil yang kabur karena gak mau disuruh tidur.”

Aku langsung mendengus kesal dan menerima jaket itu. Kupakai saja meskipun kebesaran juga. Seperti ini merasa lumayan meskipun celana panjang piyamaku yang masih terlihat jelas.

“Karena lo udah terlanjur teleport. Gimana kalau kita ngobrol? Gue akan jelasin semuanya.” Ujar Jarvis.

Dan aku mempertimbangkan ajakannya. Lalu segera mengangguk setuju, karena aku pun memang penasaran dengan asal-usul semua ini. “Boleh.” Jawabku.

Kemudian kami berjalan kaki selama lima menit. Menuju ke area taman terdekat di sekitar lingkup perpustakaan kota itu. Lalu mencari sebuah tempat duduk yang memang disediakan untuk umum.

Kami pun duduk, dan awalnya merasa begitu canggung. Entah mengapa canggung saja. Aku yang merasa canggung karena baru kali ini bisa dekat dengan begitu mudahnya dengan orang yang baru kukenal. Dan Jarvis sepertinya canggung karena malam-malam seperti ini keluar bersamaku.

“Bokap gue…ah, nggak. Bokap kita. Ayah lo dan ayah gue. Gue yakin mereka sampai sekarang masih hidup. Tapi gak tahu mereka ada di mana. Yang gue yakini, mereka ada di dimensi waktu yang lain. Sehingga memang tidak mudah untuk ditemukan. Dan butuh mengerahkan banyak orang untuk mencari mereka.”

“Maksud lo… ayah kita beneran masih hidup gitu?” Tanyaku yang sedikit bingung.

Jarvis mengangguk. “Iya. Ayah kita belum meninggal, Bell. Ada sebuah kejadian di masa lalu. Yang akhirnya mengharuskan ayah kita meninggalkan keluarga begitu saja, tanpa kembali.” Jelasnya lagi.

“Maksudnya, ada sebuah kejadian yang menyebabkan ini semua?”

“Benar. Apa lo mau tahu?”

*****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!