Dermaga Cinta Aisyah
Lautan biru yang teduh berhiaskan pantulan warna jingga dari langit senja, membuat pemandangan di dermaga sore itu tampak begitu indah dan menenangkan.
Seorang wanita cantik dalam balutan gamis maroon dan pasmina hitam sedang berjalan tergopoh-gopoh memasuki area dermaga.
Tampak jelas senyuman kebahagiaan dan semburat rindu terpancar di wajah ayu wanita itu.
Sore ini, suami yang sangat ia rindukan akan datang setelah sekian lama mereka hidup berjauhan. Rindu yang selama ini menyesakkan dadanya sebentar lagi akan terobati saat bertemu dengan suami tercinta.
"Apa aku terlambat? sepertinya kapal sudah sandar sejak tadi," gumamnya sambil mencari sosok suaminya ke segala arah.
"Aisyah," panggil seorang pria dari arah belakang.
Mendengar suara yang tidak asing itu, Aisyah langsung berbalik ke sumber suara.
Senyum bahagia semakin terpancar di wajahnya saat melihat sosok pria yang sangat ia cintai dan ia rindukan berada di hadapannya saat ini.
"Mas Zaid!" pekiknya begitu girang sembari melangkah cepat ke arah pria itu dan hendak memeluknya, tapi bukan tubuh suaminya yang ia peluk, melainkan angin. Rupanya pria itu menghindari pelukan Aisyah hingga membuat senyuman di wajahnya perlahan memudar.
"Maaf, Mas. Aku datang terlambat, aku pikir kapalnya akan sandar pukul 5 sore ini, tapi ternyata lebih cepat dari dugaanku," ucap Aisyah merasa bersalah, ia mengira suaminya yang bernama Zaid itu sedang merajuk sehingga ia menghindari pelukannya.
Alih-alih menjawab permintaan maaf Aisyah, Zaid justru memilih diam sejenak sembari membuang napas kasar dengan wajah datar tanpa ekspresi.
"Aisyah, kita harus cerai," ucap Zaid kemudian, sembari menyodorkan sebuah amplop putih kepada Aisyah.
"Apa? Cerai?"
Apa pria yang berada di hadapannya ini sedang bercanda? Tapi masa sih pria itu bercanda dengan membawa kata cerai. Sependek pengetahuannya, kata cerai atau talak tidak bisa dijadikan bahan candaan, sebab meski niatnya hanya bercanda namun jika pengucapannya jelas, maka hukum talak itu tetap berlaku.
Di tengah kebingungannya, Aisyah menerima amplop itu dan membukanya dengan jantung yang berdebar, entah kenapa perasaannya begitu tidak tenang saat ini.
Dibacanya surat itu, seketika tangannya melemas bagaikan tak bertenaga, bahkan surat itu kini terlepas dari tangannya dan jatuh ke tanah.
"Maksud kamu apa, Mas? kesalahan apa yang sudah kuperbuat padamu hingga kamu ingin menceraikanku?" tanya Aisyah dengan nada tegas namun dengan suara yang mulai bergetar.
"Mas, tolong ja..."
"Kita tidak bisa lagi bersama Aisyah," ujar Zaid memotong perkataan Aisyah.
"Ta-tapi Mas, kenapa harus cerai? Kita bisa bicarakan baik-baik, jika karena jarak yang terlalu jauh, aku bisa resign dari tempat kerja dan ikut bersama kamu kemana pun kamu pergi." ujar Aisyah sembari menggenggam erat tangan Zaid.
Ya, Aisyah tentu sangat terkejut mendengar permintaan suaminya itu, pasalnya selama ini, ia merasa rumah tangganya adem ayem, tak ada masalah apa pun yang dapat memicu pertengkaran.
Namun, apa ini? Kenapa setelah lama ia tidak bersua dengan suaminya, bukannya saling melepas rindu, pria itu justru ingin menceraikannya?
"Tidak perlu, Sya. Kamu tidak perlu berkorban seperti itu, kita cukup bercerai saja dan menjalani kehidupan kita masing-masing."
"Mas, tolong pikirkan sekali lagi," lirih Aisyah dengan suara yang mulai tercekat di tenggorokannya.
"Keputusanku sudah bulat. Aku tidak bisa menjalani hubungan dengan dua wanita sekaligus."
"Apa? Dua wanita?"
"Iya, aku sudah memiliki istri di sana," jujur pria itu akhirnya.
Bagai disambar petir, jantung Aisyah seketika memompa cepat, tubuhnya kini melemas, sekuat tenaga ia menahan tubuhnya agar tidak jatuh di hadapan pria itu.
"Tega sekali kamu, Mas. Bahkan pernikahan kita baru berjalan tiga tahun, dan ..." Napas Aisyah tertahan hingga menghentikan perkataannya, tangannya kini meremas baju gamisnya dengan kuat untuk menahan gejolak emosi yang ia rasakan saat ini.
"Maaf, aku terpaksa melakukannya karena kamu tidak bisa memberikan apa yang aku inginkan." Kening Aisyah seketika mengerut hingga membuat kedua alis indahnya itu saling bertautan.
"Memangnya apa yang kamu inginkan, Mas?" tanya wanita itu pelan.
"Anak."
Degh
"A-apa?" ujarnya dengan suara yang melemah. Air mata yang sejak tadi ia tahan kini mulai menggenang di pelupuk matanya, seakan ingin segera menerobos keluar.
"Anak, Sya. Kita sudah menikah tiga tahun dan kamu belum bisa memberikan aku anak, berbeda dengan istriku saat ini, kami baru sebulan menikah tapi dia sudah mengandung buah hati kami."
Bagai luka yang disiram air garam, hati Aisyah semakin sakit dibuatnya. Kini lidahnya terasa kelu, seakan tak sanggup lagi ia berkata-kata atau bahkan menahan pria itu.
Melihat wanita di hadapannya diam dengan tatapan kosong, pria itu meraih tangan Aisyah dan meletakkan cincin pernikahan di tangannya.
"Terima kasih karena sudah menjadi istri yang baik selama ini, aku harap kamu bisa menemukan kebahagianmu sendiri," ucap pria itu lalu pergi kembali ke kapal yang akan mengantarnya ke sebuah tempat di mana ia bekerja dan mengkhianati cintanya.
Aisyah menatap sendu ke arah punggung pria yang sangat ia cintai menjauh dan hilang di balik kerumunan orang.
Kini kapal tersebut mulai menjauh, semakin menjauh namun Aisyah sama sekali tidak berpindah dari tempatnya.
Tak lama setelah itu, tubuhnya luruh ke bawah dan terduduk, tangisnya pecah dan terdengar begitu menyayat hati bagi siapa saja yang mendengarnya.
Aisyah tidak peduli dengan tanggapan orang-orang mengenai dirinya, toh mereka tidak akan mengerti bagaimana perasaannya saat ini.
Senja sore itu menjadi saksi patah hati Aisyah sekaligus penguat hati yang Allah hadirkan untuknya.
Niat hati ingin menjemput kedatangan sang suami dan melepas rindu, ia justru melepas kepergian suaminya untuk selamanya, yah selamanya, sebab baginya, pria itu kini telah mati dalam hatinya.
⚓⚓⚓
Hujan gerimis mengguyur kota itu sejak senja tadi. Aisyah kini sedang berdiri tepat di depan rumah yang selama ini menjadi tempat penantiannya akan kedatangan sang suami.
Tatapannya kosong ke depan, meski hujan terus membasahi tubuhnya, namun tak membuat wanita itu berpindah dari tempatnya.
Diceraikan dan dimadu secara diam-diam memang menyakitkan, namun rasanya teramat lebih sakit saat suami yang selama ini ia kira menerima kekurangannya, justru kini menghempaskannya karena alasan yang sama.
Apa sulit hamil adalah kesalahannya? Sama halnya dengan wanita lain, Aisyah tentu sangat mendambakan moment indah itu. Namun takdir Allah berkata lain, dan itu di luar kuasanya.
Aisyah menangis dalam diam, tangannya kini memukul dadanya yang terasa sesak. Rasanya ia tidak sanggup menerima pengkhianatan sang suami yang begitu menyakitkan.
"Aisyah, kenapa kamu di sini?" tanya seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah tante Aisyah yang bernama Zaenab. Kebetulan rumahnya berada tepat di samping rumah Aisyah.
Meski tak mendapat jawaban, wanita paruh baya itu tetap membantu Aisyah berjalan masuk ke dalam rumah. Tubuh Aisyah saat ini sudah menggigil dengan bibir yang mulai menghitam.
"Ada apa denganmu, Nak? Kenapa kamu bisa seperti ini?" tanya wanita paruh baya itu lagi, tapi bukannya menjawab, Aisyah malah diam seribu bahasa, seakan ia tak memiliki tenaga untuk hanya sekedar menjawab pertanyaan dari tantenya itu.
Wanita paruh baya itu tampak bingung sekaligus khawatir dengan sikap Aisyah, tapi saat melihat mata Aisyah yang sembab, ia memilih diam sambil membantu wanita muda itu mengganti pakaiannya.
Tak lama setelah itu, wanita itu kini datang membawa secangkir teh jahe dengan asap yang masih mengepul di atasnya.
"Minumlah teh jahe hangat ini, Nak, ini bisa membantu menghangatkan tubuhmu, tante akan ke rumah dulu, jika butuh sesuatu telepon saja tante, oke?" ucap wanita paruh baya itu lalu pergi.
Kini waktu telah menunjukkan pukul 10 malam. Setelah sholat isya, Aisyah hendak langsung tidur, tapi matanya terasa begitu sulit untuk dipejamkan.
Tring
Suara ponsel pertanda sebuah pesan masuk membuat Aisyah meraih ponselnya yang berada di atas nakas.
Raut wajahnya seketika berubah saat melihat siapa pengirim pesan itu.
ZAUJI (suamiku)
Aisyah, aku akan menjual rumah yang kamu tempati saat ini, dan hasil penjualannya akan aku bagi 50% untukku dan 50% untukmu sebagai harta gono-gini. Sekali lagi aku minta maaf, semoga kamu bisa segera menemukan kebahagiaanmu sendiri.
Brakkk
"Aaaaaargh," pekik Aisyah setelah melemparkan ponselnya ke dinding karena rasa kecewa dan marah yang kini mendominasi pikirannya.
"Jahat sekali kamu, Mas.Kamu bahkan sama sekali tidak peduli bagaimana perasaanku saat ini," gumamnya bersamaan dengan air mata yang kembali mengalir di pipi mulusnya.
Setelah lelah menangis, perlahan Aisyah mengusap wajahnya yang sudah basah oleh air mata.
"Mulai saat ini, aku tidak ingin lagi percaya dengan pria yang mengatakan bahwa dia akan menerima aku apa adanya."
-Bersambung-
Assalamu 'alaikum
Terima kasih untuk kakak-kakak yang sudah berkenan mampir di karya receh Author yang ke lima.
Novel ini adalah karya asli milik Author, hasil pemikiran sendiri. Jika terdapat kesamaan nama tokoh, tempat dan alur cerita maka itu semata-mata di luar kesengajaan Author sebagai manusia biasa.
Mohon dukungannya selalu dengan rate bintang 5, subscribe, like, komen, vote dan giftnya agar Author selalu semangat untuk berkarya meski belum pemes 🤭.
Salam hangat dari Author.
UQies
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Tika Rotika
aq mampir thor 😁
2023-09-10
1
Rindu Juliani
nyesek banget bacanya semoga aisyah cepet menemukan jodohnya
2023-09-08
1
Nurwana
baru pertama dah mengandung bawang. sabar Aisyah.... yakinlah suatu saat nanti kamu akan bahagia.
2023-04-26
3