Aisyah tersenyum getir melihat ekspresi wajah pria di hadapannya. Sudah ia duga, usia wanita yang lebih tua kadang bukan sebuah masalah, dan dapat diterima asal hati sudah cocok. Namun, tidak semua orang bisa menerima wanita dengan status yang berbeda seperti dirinya.
"Jadi kamu sudah pernah menikah?" tanya pria itu.
"Iya," jawab Aisyah singkat.
Pria itu terlihat berpikir, kedua lututnya bahkan bergerak naik turun dengan cepat.
"Hmm begini, saya akan diskusikan dulu dengan kedua orang tua saya, kalau saya pribadi sih tidak masalah, tapi orang tua saya juga tentu harus setuju agar saya bisa melangkah ke depan, bukankah ridho orang tua dan keluarga sangat penting?" ujar pria itu beralasan.
Kiai Rahman dan Ibu Lina saling bertatapan sejenak lalu kembali menatap ke arah pria muda di hadapannya.
"Tentu saja, silahkan, Nak," ucap Kiai Rahman dengan senyuman ramahnya.
Tak lama setelah itu, pria yang dikenal dengan panggilan Ustadz Ridwan itu pun akhirnya pamit undur diri dari rumah itu. Kiai Rahman dan Ibu Lina turut mengantarkan pria itu hingga ke depan rumah, sementara Aisyah tetap duduk di tempatnya.
"Apa kira-kira Ustadz Ridwan itu akan datang lagi?" tanya Ibu Lina yang kini telah kembali masuk ke ruang tamu dan duduk di samping putrinya.
"Tidak, Ummi. Meminta persetujuan orang tua hanya alasannya saja, karena sebenarnya dia yang tidak bisa menerima fakta itu," jawab Aisyah.
"Kenapa kamu seyakin itu, Nak?" Kiai Rahman yang baru masuk pun ikut bertanya.
"Karena Aisyah lihat dia masih sangat muda Abi, tentu dia menginginkan pasangan yang sepadan, yah minimal sama-sama masih ting ting, lagi pula semuanya tergambar jelas kok di wajahnya," terang Aisyah.
Kiai Rahman menatap sendu putrinya, lalu mengusap kepala Aisyah yang tertutup kerudung dengan begitu lembut.
"Semoga kamu segera dipertemukan dengan pria yang tulus mencintai kamu nak," ucap Kiai Rahman.
"Dan yang setia tentu saja," sambung Ibu Lina.
Aisyah tersenyum mendengar doa kedua orang tuanya.
"Apa benar pria seperti itu ada, Abi, Ummi? Selama ini yang datang semuanya menginginkan kesempurnaan, sementara Aisyah sejak awal memang sudah tidak sempurna." Aisyah menunduk dalam.
"Kalaupun ada yang mengatakan tulus dan menerima apa adanya belum tentu benar, buktinya mas Za..-"
"Sssst, jangan pernah lagi menyebut nama itu di hadapan kami, Nak," sela Kiai Rahman menghentikan perkataan Aisyah.
"Iya, Abi, maaf," ucap Aisyah.
Mereka bertiga kini terdiam dalam pikiran mereka masing-masing.
"Oh iya, Abi, Ummi, Aisyah mau izin lihat senja lagi di dermaga, boleh yah?" ucapnya kemudian.
"Iya, Nak, pergilah, ingat untuk selalu hati-hati." Ibu Lina berpesan. Beliau sudah menduga bahwa sang putri pasti akan ke dermaga lagi setelah ini.
Sebagai orang tua, Ibu Lina maupun Kiai Rahman hanya bisa memberikan jalan dan dukungan agar putrinya bisa melepaskan rasa sesak di dada sekaligus luka yang masih bersarang dalam hatinya. Sangat besar harapan mereka agar kelak ada seseorang yang mampu mengobati hatinya dan menggantikannya dengan cinta yang tulus.
⚓⚓⚓
Matahari mulai tergelincir ke ufuk Barat, langit biru dan jingga kini mulai tampak mempesona, memanjakan mata sekaligus menghibur hati yang lara.
Bukannya ia belum bisa lepas dari jeratan masa lalu, bukan pula ingin kembali atau mengenang masa lalu. Aisyah hanya ingin menjadikan luka itu sebagai sesuatu yang harus ia syukuri, setidaknya dengan begitu ia bisa lebih berhati-hati lagi dalam melangkah ke depan nantinya.
Berkali-kali dzikir dan ucapan syukur ia agungkan kepada Sang Penguasa Alam. Matanya terpejam, meski sinar matahari masih menembus kelopak matanya.
Semilir angin yang bertiup menerpa wajahnya, membuat wanita bercadar itu enggan untuk pergi dari tempat itu. Hingga suara adzan maghrib menyapa telinganya.
Namun ada yang aneh, adzan kali ini berbeda dengan adzan merdu yang pernah ia dengar beberapa hari yang lalu.
"Apa muadzinnya ada dua?" batinnya sembari melangkahkan kakinya menuju masjid yang jaraknya tidak terlalu jauh dari dermaga.
Motornya sendiri telah terparkir sejak tadi di halaman masjid, Aisyah sengaja memarkirkan kuda besinya di sana karena memang ia berniat untuk sholat maghrib sebelum pulang.
Usai menunaikan sholat maghrib, seperti biasa Aisyah akan tinggal beberapa menit untuk membaca Al-Qur'an dan muroja'ah.
Hingga ia selesai menyelesaikan bacaan Al-Qur'annya, Aisyah masih merasa ada yang kurang.
"Kenapa orang yang kemarin mengaji dengan begitu merdu tidak mengaji lagi yah? Apa dia bukan orang disini?" batinnya.
Yah, secara tidak sadar Aisyah sudah terpukau dengan seseorang yang melantunkan adzan sekaligus kalam Allah waktu itu. Aisyah jelas tahu bahwa mereka adalah orang yang sama, meski ia tidak tahu siapa pria itu. Anehnya, wanita bercadar itu justru seperti ingin mendengar suara itu lagi.
"Astaghfirullah, apa yang ku harapkan? Tidak, ini tidak benar, aku harus segera kembali agar pikiranku berhenti mengharapkan yang tidak-tidak.
⚓⚓⚓
Aisyah kini sudah tiba di rumah, namun ia heran sebab begitu banyak mobil yang terparkir di halaman rumahnya.
"Apa ada acara keluarga? Kenapa ummi tidak kabari yah?" batinnya.
Meski bingung, Aisyah tetap melangkah masuk rumah. Dan benar saja, semua keluarga besar dari ibu Lina sedang berkumpul di ruang keluarga sambil bercerita dan bercanda.
Ibu Lina yang melihat kedatangan putrinya langsung menjemput dan membawanya bergabung bersama keluarga yang lain.
"Assalamu 'alaikum Bude, Pade," ucap Aisyah dengan begitu sopan lalu mencium punggung tangan mereka secara bergantian.
"Wa'alaikum salam," jawah Bude Luna, kakak sulung Ibu Lina. "Eh, kok baru pulang, dari mana kamu?" lanjutnya bertanya.
"Aisyah habis jalan-jalan sebentar tadi, Bude," jawab Aisyah.
"Duh, perempuan kok suka jalan malam-malam sih, nggak baik tahu," ujar Bude Luna.
"Nggak sering kok, Bude, cuma sekali-kali aja," jawab Aisyah sedikit kikuk. Meski jarang bertemu, ia tahu bahwa kakak dari ibunya ini sedikit cerewet terutama jika menyangkut urusan wanita.
"Kak Aisyah." Seorang gadis yang usianya berbeda satu tahun di bawah Aisyah langsung duduk di sampingnya dan memotong pembicaraan Aisyah dengan Bude Luna.
"Apa kabar Kakak? Kangen deh sama Kakak setelah satu tahun tidak bertemu," ucap gadis itu sembari memeluk tubuh Aisyah dari samping dan tentu dibalas pelukan oleh wanita bercadar itu.
"Baik kok, kamu gimana?" ujar Aisyah.
"Alhamdulillah baik sekali," jawabnya begitu ceria.
"Zahra, kamu tuh yah, ibu lagi bicara sama Kakak kamu malah kamu potong," dumel Bude Luna.
"Oh, hehe maaf, Bu, Zahra nggak tahu," cicitnya lalu melepaskan pelukannya.
"Oh iya, kedatangan kami kesini mau mengabarkan kalau bulan depan Zahra akan menikah," ucap Bude Luna.
Aisyah yang mendengarnya tampak begitu bahagia dan langsung memeluk sembari mengucapkan selamat kepada adik sepupunya itu.
"Oh iya Aisyah," panggil Bude Luna membuat Aisyah mengurai pelukannya dari Zahra dan menoleh ke arah wanita paruh baya di hadapannya itu.
"Apa kamu masih tidak ingin menikah lagi?" tanya wanita paruh baya itu secara gamblang.
"Bukannya tidak ingin, Bude, hanya belum menemukan yang cocok," jawab Aisyah pelan.
"Loh, kamu itu jangan terlalu pemilih, wong kamu aja udah pernah nikah, nilai jual wanita yang udah pernah nikah sama yang belum pernah nikah itu jelas beda, ada yang mau menerima status kamu aja itu udah syukur loh, jadi nggak usah mempersulit diri dan orang lain, mau kamu jadi janda seumur hidup?" tutur Bude Luna yang terdengar begitu sarkas, membuat suasana di ruang keluarga itu seketika hening.
Degh
Aisyah yang mendengar penuturan wanita paruh baya itu meremas gamisnya, wajahnya bahkan tertunduk dalam menutupi matanya yang sudah berkaca-kaca.
"Kenapa rasanya sakit sekali," batinnya.
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
rama
yg suka ngomong begini biasanya salah satu keturunannya akan merasakan hal yg sama seperti yg dirasakan orang yg diomongin
2023-04-04
1
Saskia Bekasi
jadi janda tuh serba salah y cari pendamping yg lbh baik dari sebelumnya dikatain sok jual mahal pada hal kan yg menjalani tuh y kita bukan orang yg ngatain tadi
2023-03-11
3
As Cempreng tikttok @adeas50
enak bgd ngmg budenya
2022-12-18
2