Aisyah masih termangu tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia benar-benar bimbang dengan keputusan apa yang harus dia ambil agar tidak ada penyesalan di kemudian hari.
Tidak peduli seberapa besar masalah, hidup harus terus berjalan. Memilih diam hanya akan membuang waktu percuma, namun melangkah ke jalan yang salah juga hanya akan mendatangkan mudarat, entah saat ini atau di kemudian hari. Dan melangkah ke jalan yang benar tentu adalah keinginan, namun sekali lagi, semua itu hanya Allah yang tahu.
Bukan hanya tentang langkah mana yang harus Aisyah ambil, tapi juga tentang kecenderungan hati yang masih menampakkan keraguan.
Aisyah mengangkat wajahnya menatap Bude Luna di sampingnya yang tersenyum sambil menganggukkan kepala, lalu tatapannya beralih ke Ibu Sofi yang juga melemparkan senyuman ramah kepadanya. Jangan tanyakan Zafran, wanita bercadar itu bahkan tidak sekali pun berani menatap ke arah pria yang duduk tepat di hadapannya.
"Ibu Sofi, Pak Zafran, saya sangat berterima kasih untuk niat baiknya, tapi apa kalian sudah tahu, saya ini hanya seorang ja..."
"Kami sudah tahu nak, dan itu bukan masalah bagi kami, Zafran juga adalah duda satu anak," ucap Ibu Sofi cepat sebelum Aisyah menyelesaikan perkataannya.
"Yang pasti jika kamu menikah dengan nak Zafran, kamu tidak perlu khawatir lagi karena kamu akan langsung memiliki anak," sambung Bude Luna.
Kini semua pandangan mengarah kepadanya, tatapan penuh harap dan tatapan ketulusan dapat ia rasakan dari ibu dan anak di hadapannya.
Aisyah kembali tertunduk, merenungi keinginan hatinya. Namun, sejauh apapun ia menyelam mencari jawaban dari hatinya, ia tetap masih merasa ragu.
"Maaf, apa saya boleh meminta waktu untuk berpikir?" tanya Aisyah kemudian.
"Silahkan, Nak, kami tidak buru-buru, Zafran juga siap menunggu jawaban kamu kapan pun itu," ujar Ibu Sofi, "iya kan, Nak?" lanjutnya bertanya kepada Zafran.
"Iya Aisyah, tolong pikirkan baik-baik, kapan pun kamu menemukan jawaban saya siap menantinya," ujar Zafran, membuat hatinya sedikit lega.
Setelah pertemuan sore itu, Aisyah memilih pulang ke rumahnya untuk menenangkan dirinya yang lelah.
Tidak hanya lelah, ia juga benar-benar di buat kalut tentang rentetan masalah pinangan yang ia hadapi selama dua tahun terakhir setelah perceraiannya.
Namun, Aisyah bingung dengan hatinya. Pinangan kali ini datang dari seorang pria baik yang tampak tulus, sudah memiliki anak, sehingga tentu pria itu tidak akan menuntutnya untuk segera melahirkan anak.
Sangat sempurna sebenarnya, namun entah kenapa, jauh di dalam hati kecilnya ada setitik keraguan yang ia rasakan.
Sholat istikharah pun mulai ia kerjakan, berharap Allah Sang Penguasa Hati memberinya kemantapan hati dalam menetukan pilihan yang terbaik.
⚓⚓⚓
Beberapa hari telah berlalu, namun Aisyah belum juga mendapatkan kemantapan hati akan sebuah pilihan yang harus dia ambil.
Seperti pagi ini, rasanya Aisyah enggan berangkat ke sekolah, tidak ada alasan khusus, hanya saja ia merasa tidak enak hati jika selalu bertemu dengan Zafran di sekolah dan dia belum memiliki jawaban atas pinangan pria itu.
Meski begitu, ia tetap harus bersikap profesional dan tidak menyeret masalah pribadi ke dalam urusan pekerjaan.
Motor yang dikendarai Aisyah kini telah berhenti tepat di halaman sekolah. Hari ini ia memilih datang lebih awal untuk menghindari pertemuan dengan Zafran. Tampak semua siswa sedang lalu lalang di koridor, tak terkecuali guru-guru yang mulai berdatangan satu per satu.
"Assalamu 'alaikum Bu Aisyah," ucap salah satu guru yang juga baru saja memarkirkan motornya.
"Wa'alaikum salam, Pak Ahmad," jawabnya.
"Kebetulan kita bertemu disini. Maaf, apa Ibu Aisyah punya waktu sebentar, saya ingin bicara," tanya Pak Ahmad.
"Maaf, ada apa yah Pak? Kita bicara di sini saja," jawab Aisyah yang mulai merasa sedikit tidak enak hati dengan para guru yang lain.
"Apa nanti malam kamu ada di rumah? Saya ingin mendatangi kedua orang tua kamu," ucap Pak Ahmad.
Aisyah menengerutkan keningnya mendengar perkataan Pak Ahmad, "maaf Pak, tapi ada apa yah?"
"Saya, saya ingin meminang kamu Aisyah." Pak Ahmad berkata lirih.
"Apa? Bagaimana bisa? Bukankah pria ini telah memiliki istri?" batin Aisyah bertanya-tanya.
"Ma-maaf Pak, saya ..."
"Ummi," panggil seorang gadis yang baru saja turun dari mobil memotong pembicaraan Aisyah.
"Saya akan ke rumah kamu nanti malam Aisyah, kita bicarakan baik-baik," lirih Pak Ahmad lalu segera pergi saat melihat salah satu siswanya sedang berjalan ke arah Aisyah bersama Ayahnya.
"Ummi," panggil Khaira memeluk Aisyah yang kini sudah sedikit berjongkok.
"Aisyah, masuklah ke kelasmu, Sayang, papa ingin bicara sebentar dengan Ummi kamu," titah Zafran.
Aisyah kembali merasa tidak nyaman dengan Zafran, apalagi saat pria itu mengatakan 'Ummi kamu', terdengar seperti seorang suami yang ingin bicara dengan istri sekaligus ibu dari anaknya.
Padahal pagi ini Aisyah sudah datang lebih awal untuk menghindari pertemuan dengan Zafran, namun karena Pak Ahmad, usahanya pagi ini gagal.
Tapi jika dipikir-pikir, itu bukan sepenuhnya kesalahan Pak Ahmad, karena pada awalnya dialah yang meminta agar pria itu berbicara di halaman sekolah saja.
"Iya, Pa," jawab Khaira patuh lalu berlari masuk ke dalam kelasnya.
"Maaf, ada yang ingin saya bicarakan," ujar Zafran pelan.
"Bicaralah, Pak," balas Aisyah.
Pria itu sepertinya merasa risih jika berbicara di halaman sekolah, terbukti dari pandangannya yang sejak tadi kesana-kemari tidak tenang.
"Maaf, apa bisa kita bicara di tempat lain, saya tidak nyaman bicara di sini," tukasnya.
Aisyah melirik sekilas jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya.
"Tenang saja, ini hanya sebentar," sambungnya yang paham dengan sikap Aisyah.
Mereka pun pergi ke sebuah taman yang tidak jauh dari sekolah, kebetulan taman itu cukup ramai saat pagi hari.
"Maaf, saya mengambil waktu kamu sebentar," ucap Zafran setelah duduk di salah satu bangku taman.
"Tidak apa-apa, bicaralah, Pak," ujar Aisyah tertunduk namun enggan untuk duduk.
"Duduklah Aisyah," pinta Zafran.
"Tidak apa-apa, Pak, saya lebih nyaman begini," tolak Aisyah.
Zafran terdengar membuang napas perlahan, ia menatap wanita bercadar yang ada di sampingnya namun tidak dekat. Jelas sekali wanita itu sangat berhati-hati saat sedang berbicara dengan lawan jenis, bahkan ia berusaha menjaga jarak aman di antaranya dan itu adalah nilai plus di mata Zafran.
Di saat beberapa wanita lain sedang berlomba-lomba menawarkan diri mereka untuk menjadi teman istimewanya, Aisyah justru terlihat lebih menjaga batasan dan pandangannya, tidak peduli seberapa tampan pria di hadapannya kali ini.
"Apa kamu belum memiliki jawaban atas pinangan saya tempo hari? Jujur saya sangat berharap kamu bisa menerimanya, karena Khaira sangat membutuhkan sosok ibu, pun saya membutuhkan sosok istri di samping saya."
Zafran menghentikan perkataannya sejenak untuk menenangkan gejolak di dadanya.
"Tante Luna sudah menceritakan semua kondisi kamu, dan kamu harus tahu bahwa saya siap menerima semua kekurangan kamu, jadi kamu tidak perlu merasa khawatir," lanjutnya.
"Pikirkanlah baik-baik Aisyah, walau bagaimana pun kamu berhak menentukan pilihan dan saya tidak akan memaksa kamu," sambungnya lagi.
"Terima kasih sudah memberi saya waktu untuk berpikir, insya Allah saya akan memikirkannya baik-baik," jawab Aisyah.
Mereka pun berpisah di taman itu dengan membawa buah pikiran masing-masing.
Disaat mobil Zafran telah melaju meninggalkan sekolah, seorang gadis kecil datang dari arah belakang Aisyah.
"Ummi."
Aisyah menoleh dan matanya seketika membola saat mendapati Khaira di belakangnya.
"Khaira? Kenapa kamu di sini sayang?" ucapnya sambil menarik lembut tangan Khaira untuk masuk ke kelas namun gadis itu tetap berusaha diam.
"Kenapa sayang?"
"Ummi, jadilah Mama Khaira."
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
rama
jadi tambah dilema
2023-04-04
1
Nabil Az Zahra
jadinya sama zafran apa akmal ya?
2023-03-17
1
Ria dardiri
mungkin ini.jawaban solat malam mu
2022-12-24
1