Lautan biru yang teduh berhiaskan pantulan warna jingga dari langit senja, membuat pemandangan di dermaga sore itu tampak begitu indah dan menenangkan.
Seorang wanita cantik dalam balutan gamis maroon dan pasmina hitam sedang berjalan tergopoh-gopoh memasuki area dermaga.
Tampak jelas senyuman kebahagiaan dan semburat rindu terpancar di wajah ayu wanita itu.
Sore ini, suami yang sangat ia rindukan akan datang setelah sekian lama mereka hidup berjauhan. Rindu yang selama ini menyesakkan dadanya sebentar lagi akan terobati saat bertemu dengan suami tercinta.
"Apa aku terlambat? sepertinya kapal sudah sandar sejak tadi," gumamnya sambil mencari sosok suaminya ke segala arah.
"Aisyah," panggil seorang pria dari arah belakang.
Mendengar suara yang tidak asing itu, Aisyah langsung berbalik ke sumber suara.
Senyum bahagia semakin terpancar di wajahnya saat melihat sosok pria yang sangat ia cintai dan ia rindukan berada di hadapannya saat ini.
"Mas Zaid!" pekiknya begitu girang sembari melangkah cepat ke arah pria itu dan hendak memeluknya, tapi bukan tubuh suaminya yang ia peluk, melainkan angin. Rupanya pria itu menghindari pelukan Aisyah hingga membuat senyuman di wajahnya perlahan memudar.
"Maaf, Mas. Aku datang terlambat, aku pikir kapalnya akan sandar pukul 5 sore ini, tapi ternyata lebih cepat dari dugaanku," ucap Aisyah merasa bersalah, ia mengira suaminya yang bernama Zaid itu sedang merajuk sehingga ia menghindari pelukannya.
Alih-alih menjawab permintaan maaf Aisyah, Zaid justru memilih diam sejenak sembari membuang napas kasar dengan wajah datar tanpa ekspresi.
"Aisyah, kita harus cerai," ucap Zaid kemudian, sembari menyodorkan sebuah amplop putih kepada Aisyah.
"Apa? Cerai?"
Apa pria yang berada di hadapannya ini sedang bercanda? Tapi masa sih pria itu bercanda dengan membawa kata cerai. Sependek pengetahuannya, kata cerai atau talak tidak bisa dijadikan bahan candaan, sebab meski niatnya hanya bercanda namun jika pengucapannya jelas, maka hukum talak itu tetap berlaku.
Di tengah kebingungannya, Aisyah menerima amplop itu dan membukanya dengan jantung yang berdebar, entah kenapa perasaannya begitu tidak tenang saat ini.
Dibacanya surat itu, seketika tangannya melemas bagaikan tak bertenaga, bahkan surat itu kini terlepas dari tangannya dan jatuh ke tanah.
"Maksud kamu apa, Mas? kesalahan apa yang sudah kuperbuat padamu hingga kamu ingin menceraikanku?" tanya Aisyah dengan nada tegas namun dengan suara yang mulai bergetar.
"Mas, tolong ja..."
"Kita tidak bisa lagi bersama Aisyah," ujar Zaid memotong perkataan Aisyah.
"Ta-tapi Mas, kenapa harus cerai? Kita bisa bicarakan baik-baik, jika karena jarak yang terlalu jauh, aku bisa resign dari tempat kerja dan ikut bersama kamu kemana pun kamu pergi." ujar Aisyah sembari menggenggam erat tangan Zaid.
Ya, Aisyah tentu sangat terkejut mendengar permintaan suaminya itu, pasalnya selama ini, ia merasa rumah tangganya adem ayem, tak ada masalah apa pun yang dapat memicu pertengkaran.
Namun, apa ini? Kenapa setelah lama ia tidak bersua dengan suaminya, bukannya saling melepas rindu, pria itu justru ingin menceraikannya?
"Tidak perlu, Sya. Kamu tidak perlu berkorban seperti itu, kita cukup bercerai saja dan menjalani kehidupan kita masing-masing."
"Mas, tolong pikirkan sekali lagi," lirih Aisyah dengan suara yang mulai tercekat di tenggorokannya.
"Keputusanku sudah bulat. Aku tidak bisa menjalani hubungan dengan dua wanita sekaligus."
"Apa? Dua wanita?"
"Iya, aku sudah memiliki istri di sana," jujur pria itu akhirnya.
Bagai disambar petir, jantung Aisyah seketika memompa cepat, tubuhnya kini melemas, sekuat tenaga ia menahan tubuhnya agar tidak jatuh di hadapan pria itu.
"Tega sekali kamu, Mas. Bahkan pernikahan kita baru berjalan tiga tahun, dan ..." Napas Aisyah tertahan hingga menghentikan perkataannya, tangannya kini meremas baju gamisnya dengan kuat untuk menahan gejolak emosi yang ia rasakan saat ini.
"Maaf, aku terpaksa melakukannya karena kamu tidak bisa memberikan apa yang aku inginkan." Kening Aisyah seketika mengerut hingga membuat kedua alis indahnya itu saling bertautan.
"Memangnya apa yang kamu inginkan, Mas?" tanya wanita itu pelan.
"Anak."
Degh
"A-apa?" ujarnya dengan suara yang melemah. Air mata yang sejak tadi ia tahan kini mulai menggenang di pelupuk matanya, seakan ingin segera menerobos keluar.
"Anak, Sya. Kita sudah menikah tiga tahun dan kamu belum bisa memberikan aku anak, berbeda dengan istriku saat ini, kami baru sebulan menikah tapi dia sudah mengandung buah hati kami."
Bagai luka yang disiram air garam, hati Aisyah semakin sakit dibuatnya. Kini lidahnya terasa kelu, seakan tak sanggup lagi ia berkata-kata atau bahkan menahan pria itu.
Melihat wanita di hadapannya diam dengan tatapan kosong, pria itu meraih tangan Aisyah dan meletakkan cincin pernikahan di tangannya.
"Terima kasih karena sudah menjadi istri yang baik selama ini, aku harap kamu bisa menemukan kebahagianmu sendiri," ucap pria itu lalu pergi kembali ke kapal yang akan mengantarnya ke sebuah tempat di mana ia bekerja dan mengkhianati cintanya.
Aisyah menatap sendu ke arah punggung pria yang sangat ia cintai menjauh dan hilang di balik kerumunan orang.
Kini kapal tersebut mulai menjauh, semakin menjauh namun Aisyah sama sekali tidak berpindah dari tempatnya.
Tak lama setelah itu, tubuhnya luruh ke bawah dan terduduk, tangisnya pecah dan terdengar begitu menyayat hati bagi siapa saja yang mendengarnya.
Aisyah tidak peduli dengan tanggapan orang-orang mengenai dirinya, toh mereka tidak akan mengerti bagaimana perasaannya saat ini.
Senja sore itu menjadi saksi patah hati Aisyah sekaligus penguat hati yang Allah hadirkan untuknya.
Niat hati ingin menjemput kedatangan sang suami dan melepas rindu, ia justru melepas kepergian suaminya untuk selamanya, yah selamanya, sebab baginya, pria itu kini telah mati dalam hatinya.
⚓⚓⚓
Hujan gerimis mengguyur kota itu sejak senja tadi. Aisyah kini sedang berdiri tepat di depan rumah yang selama ini menjadi tempat penantiannya akan kedatangan sang suami.
Tatapannya kosong ke depan, meski hujan terus membasahi tubuhnya, namun tak membuat wanita itu berpindah dari tempatnya.
Diceraikan dan dimadu secara diam-diam memang menyakitkan, namun rasanya teramat lebih sakit saat suami yang selama ini ia kira menerima kekurangannya, justru kini menghempaskannya karena alasan yang sama.
Apa sulit hamil adalah kesalahannya? Sama halnya dengan wanita lain, Aisyah tentu sangat mendambakan moment indah itu. Namun takdir Allah berkata lain, dan itu di luar kuasanya.
Aisyah menangis dalam diam, tangannya kini memukul dadanya yang terasa sesak. Rasanya ia tidak sanggup menerima pengkhianatan sang suami yang begitu menyakitkan.
"Aisyah, kenapa kamu di sini?" tanya seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah tante Aisyah yang bernama Zaenab. Kebetulan rumahnya berada tepat di samping rumah Aisyah.
Meski tak mendapat jawaban, wanita paruh baya itu tetap membantu Aisyah berjalan masuk ke dalam rumah. Tubuh Aisyah saat ini sudah menggigil dengan bibir yang mulai menghitam.
"Ada apa denganmu, Nak? Kenapa kamu bisa seperti ini?" tanya wanita paruh baya itu lagi, tapi bukannya menjawab, Aisyah malah diam seribu bahasa, seakan ia tak memiliki tenaga untuk hanya sekedar menjawab pertanyaan dari tantenya itu.
Wanita paruh baya itu tampak bingung sekaligus khawatir dengan sikap Aisyah, tapi saat melihat mata Aisyah yang sembab, ia memilih diam sambil membantu wanita muda itu mengganti pakaiannya.
Tak lama setelah itu, wanita itu kini datang membawa secangkir teh jahe dengan asap yang masih mengepul di atasnya.
"Minumlah teh jahe hangat ini, Nak, ini bisa membantu menghangatkan tubuhmu, tante akan ke rumah dulu, jika butuh sesuatu telepon saja tante, oke?" ucap wanita paruh baya itu lalu pergi.
Kini waktu telah menunjukkan pukul 10 malam. Setelah sholat isya, Aisyah hendak langsung tidur, tapi matanya terasa begitu sulit untuk dipejamkan.
Tring
Suara ponsel pertanda sebuah pesan masuk membuat Aisyah meraih ponselnya yang berada di atas nakas.
Raut wajahnya seketika berubah saat melihat siapa pengirim pesan itu.
ZAUJI (suamiku)
Aisyah, aku akan menjual rumah yang kamu tempati saat ini, dan hasil penjualannya akan aku bagi 50% untukku dan 50% untukmu sebagai harta gono-gini. Sekali lagi aku minta maaf, semoga kamu bisa segera menemukan kebahagiaanmu sendiri.
Brakkk
"Aaaaaargh," pekik Aisyah setelah melemparkan ponselnya ke dinding karena rasa kecewa dan marah yang kini mendominasi pikirannya.
"Jahat sekali kamu, Mas.Kamu bahkan sama sekali tidak peduli bagaimana perasaanku saat ini," gumamnya bersamaan dengan air mata yang kembali mengalir di pipi mulusnya.
Setelah lelah menangis, perlahan Aisyah mengusap wajahnya yang sudah basah oleh air mata.
"Mulai saat ini, aku tidak ingin lagi percaya dengan pria yang mengatakan bahwa dia akan menerima aku apa adanya."
-Bersambung-
Assalamu 'alaikum
Terima kasih untuk kakak-kakak yang sudah berkenan mampir di karya receh Author yang ke lima.
Novel ini adalah karya asli milik Author, hasil pemikiran sendiri. Jika terdapat kesamaan nama tokoh, tempat dan alur cerita maka itu semata-mata di luar kesengajaan Author sebagai manusia biasa.
Mohon dukungannya selalu dengan rate bintang 5, subscribe, like, komen, vote dan giftnya agar Author selalu semangat untuk berkarya meski belum pemes 🤭.
Salam hangat dari Author.
UQies
Pagi mulai menjemput, membawa kehangatan mentari mengikis dinginnya angin di pagi hari.
Aisyah tengah berdiri di depan sebuah gerbang pesantren yang cukup tinggi sambil menarik sebuah koper besar, tempat di mana masa kecil hingga masa remaja yang penuh canda tawa ia lalui dengan penuh cinta, tak ada luka tak ada noda.
Senyuman tipis tersungging di wajah cantiknya saat ingatannya kembali berputar pada 3 tahun lalu, di mana kala itu ia masih berstatus sebagai santriwati berusia 18 tahun, yang sebentar lagi akan menginjakkan kakinya di bangku kuliah.
Aisyah Sidqia Rahman, gadis yang memiliki sifat tulus, lembut dan keibuan itu merupakan anak seorang Kiai bernama Rahman yang tinggal di sebuah pesantren terkenal, tidak hanya pesantrennya yang terkenal, namun sikap tulus dan dermawan dari Kiai Rahman juga membuatnya semakin di kenal banyak orang. Selain memiliki pesantren, mereka juga memiliki beberapa usaha lain seperti rumah makan dan mini market.
Kala itu, Zaid yang dulu merupakan kakak kelas Aisyah sekaligus cinta pertama Aisyah dalam diam tiba-tiba datang untuk melamarnya. Tentu saja Aisyah merasa senang akan hal itu, namun berbeda dengan ayahnya yang sudah lebih dulu mengenal pria itu sebagai salah satu santrinya.
Menurut Kiai Rahman, Zaid merupakan salah satu alumni yang agak plin plan dalam mengambil keputusan, hal itu membuat Kiai Rahman sedikit khawatir dan ragu. Namun, saat melihat kebahagiaan yang terpancar di mata sang putri, Kiai Rahman berusaha berpikir positif, dan menerima lamaran Zaid.
Tepat setelah kelulusan Aisyah, ia pun resmi menyandang status sebagai istri seorang Zaidul Bahar. Meski Aisyah baru berusia 18 tahun, namun karena kecerdasannya dan kemampuannya menghafal Al-Qur'an yang luar biasa, ia dipanggil untuk menjadi guru di sebuah sekolah khusus penghafal Qur'an sesuai impiannya selama ini, meski ia harus menunda kuliahnya.
Satu bulan setelah menikah, Aisyah dinyatakan hamil, tentu itu adalah kabar yang sangat membahagiakan bagi pasangan suami istri itu. Namun naasnya, di usia kandungan yang baru menginjak 2 bulan, Aisyah mengalami kecelakaan tragis, hingga membuat kandungannya tidak dapat diselamatkan. Tidak sampai di situ, dokter juga mengatakan bahwa salah satu ovarium Aisyah rusak, dan Aisyah kini hanya memiliki satu ovarium yang masih berfungsi. Tentu peluang hamil bagi wanita yang memiliki dua ovarium dan satu ovarium sangatlah berbeda.
Hal itu sempat membuat Aisyah dilanda kesedihan yang sangat dalam, namun Zaid datang dan memeluknya saat itu untuk menenangkannya. Masih teringat jelas perkataan manis Zaid kala itu.
Aisyah, kamu adalah istriku yang sangat kucintai, bagaimana pun keadaanmu, mas akan selalu menerimamu apa adanya, ada atau tidak ada anak itu sama saja, sebab semua adalah rezeki dari Allah, kita hanya bisa menerima.
Sungguh perkataan Zaid sangat menyentuh hati Aisyah. Tak heran, setelah itu Aisyah kembali semangat dalam menjalankan aktivitasnya sebagai seorang istri dan guru sebagaimana biasanya.
Suatu hari, Zaid datang membawa kabar gembira bahwa ia kini diterima bekerja di sebuah perusahaan Nikel, tempat yang menjadi impiannya selama ini. Namun, karena tempatnya yang berada di pulau berbeda dengan tempatnya bersama sang istri saat ini membuatnya begitu dilema.
Sebagai istri, Aisyah sangat mendukung sang suami bekerja disana, bahkan ia berencana resign dari tempatnya bekerja saat ini untuk menemani sang suami ke mana pun ia pergi.
Namun Zaid menolak, ia tidak ingin Aisyah melepaskan pekerjaan yang sudah menjadi impiannya sejak dulu, lagi pula, di sana Zaid belum memiliki rumah sehingga ia tidak ingin menyusahkan Aisyah dengan tinggal di rumah kontrakan.
Awal Zaid bekerja, ia rutin pulang tiap masa cuti yaitu 6 bulan sekali, namun entah kenapa di usia pernikahan mereka yang kedua tahun, Zaid hanya pulang setahun sekali dengan frekuensi saling berkomunikasi melalui telepon yang juga semakin menurun.
Hingga di tahun ketiga pernikahan mereka, Zaid tidak pernah lagi menghubunginya, kecuali saat ia akan datang. Dan kedatangannya kali ini hanya untuk pamit pergi.
"Astaghfirullah," gumam Aisyah menepis ingatannya dengan Zaid yang kini telah menjadi mantan suaminya. Mengingat semua kenangan indah mereka sungguh membuat hati Aisyah sangat perih.
Entah bagaimana ceritanya hingga suaminya itu bisa sampai mengkhianatinya dengan begitu kejam.
⚓⚓⚓
Satu tahun kini telah berlalu.
Aisyah mulai kembali ke aktivitasnya seperti biasa, tidak terlihat lagi raut wajah sedih dan patah hati dari gadis itu. Apalagi saat ini Aisyah telah memutuskan untuk mengenakan cadar. Hal itu membuatnya terlihat jauh lebih baik dan tentu saja jauh lebih cantik.
Sang ibu yang selalu memantau perkembangan putri tunggal mereka dibuat sangat bersyukur akan hal itu. Meski sesekali, Aisyah akan berpamitan ke dermaga di kala senja, bukan untuk menunggu kedatangan mantan suami, melainkan saat itu ingatan menyakitkan sedang menghampirinya, dan dengan melihat senja di dermaga, bisa mengurangi sedikit kesedihannya.
Seperti saat ini, Aisyah tengah bersiap di depan cermin. Terlihat jelas dari pantulan cermin itu sesosok wanita yang begitu cantik, mata indah yang begitu bersih, hidung mancung, bibir tipis serta kulit putih yang begitu terawat. Dan semua itu tampak begitu anggun dengan balutan kerudung berwarna soft pink dan gamis berwarna putih.
"Apa kamu akan pergi ke sana lagi, Nak?" tanya ibu Lina yang baru saja masuk ke dalam kamar sang putri.
"Iya, Ummi, Aisyah ingin lihat senja, senja di dermaga sana sangat indah."
"Apa ingatan menyakitkan itu masih saja mengganggumu?" selidik Ibu Lina.
Aisyah meggelengkan kepalanya pelan dengan senyuman di balik cadarnya.
"Aisyah hanya ingin lihat senja dan sunset saja kok, Ummi tidak perlu khawatir," jawab Aisyah, tentu saja ia harus sedikit berbohong agar sang ibu tidak khawatir dengan keadaannya.
"Kamu tidak bohong kan?" Aisyah menganggukkan kepalanya pelan, masih dengan senyuman yang tersembunyi di balik cadarnya, namun tetap dapat terlihat melalui mata.
Setelah berpamitan, Aisyah akhirnya berangkat menuju dermaga dengan menggunakan motor maticnya.
Hembusan angin yang menerpa wajahnya, membuat wanita itu turut merasakan kenyamanan. Hingga tidak terasa, motor itu kini telah tiba di tempat parkir dermaga.
Kedatangannya di dermaga itu bersamaan dengan sandarnya sebuah kapal tugboat. Namun, Aisyah tidak menghiraukan itu, pandangannya mengarah ke depan di mana langit jingga tampak begitu indah di hadapannya.
"Sungguh besar ciptaan Allah, indahnya senja di ciptakan oleh Sang Pemilik Keindahan. Sang Penyejuk qalbu, di kala hatiku sedang panas dan terluka. Dan Sang Penerang jalan di kala kakiku melangkah tak tentu arah di tengah gelapnya pengkhianatan." Aisyah membatin penuh takjub.
Merasa puas dengan indahnya senja dan sunset, Aisyah memutuskan untuk segera kembali, mengingat sebentar lagi adzan maghrib akan berkumandang.
Namun saat ia berbalik, tidak sengaja pandangan matanya bertemu dengan pandangan mata seorang pria yang juga sedang memandang ke arahnya.
-Bersambung-
Di lautan lepas, seorang pria yang bertindak sebagai jurumudi atau AB kini tengah mengemudikan kapal tugboat menuju ke sebuah dermaga. Berhubung hari ini belum ada kapal yang datang untuk membeli batu bara, maka beberapa crew kapal yang mendapat shif istirahat berencana untuk singgah di darat untuk membeli beberapa kebutuhan yang mulai habis.
Saat kapal sudah sandar, beberapa pria tersebut berjalan turun satu per satu di dermaga.
"Hei siapa wanita bercadar itu?" tanya salah satu pria itu.
"Entahlah, tapi sejak satu tahun lalu, aku sering melihat wanita itu berdiri di ujung dermaga di waktu senja, ini kali ketiga aku melihatnya," jawab pria yang lain.
Salah satu pria yang mendengar cerita dari temannya akhirnya ikut menoleh ke arah wanita bercadar itu.
Tampaklah seorang wanita berkulit putih dengan mata indah sedang berdiri menghadap ke laut lepas. Sesaat kemudian, wanita itu terlihat mulai beranjak, tapi tanpa di sengaja, tatapan wanita itu bertemu dengan tatapan pria yang kini diam bagai patung. Namun, wanita itu dengan cepat mengalihkan tatapannya lalu berbalik pergi.
"Hei Akmal, mau sampai kapan kau berdiri di situ? Sudah kayak patung saja kau ini," ujar teman pria itu, membuat pria bernama Akmal tersadar dan langsung berlari menyusul teman-temannya.
"Gung Gung, temenin aku dong ke toko perhiasan," bujuk Akmal sembari merangkul pundak temannya.
"Gung Gung, kau pikir aku guk guk, panggil aku Agung, sembarangan kali kau panggil namaku," gerutu pria bernama Agung.
"Hehe maaf, Gung eh Agung," ucap Akmal sembari nyengir.
"Mau ngapain kau ke toko perhiasan?" tanya Agung.
"Mau jual emas, ya mau beli perhiasan lah, cuti nanti aku berencana melamar kekasihku," ujar Akmal.
"Oh, punya kekasih juga kau rupanya, ayo kalau begitu."
⚓⚓⚓
Beberapa hari kemudian
Langit tampak mendung, dengan hujan yang mulai turun membasahi wajah seorang pria tampan yang kini sedang menatap laut lepas di hadapannya.
Akmal, begitulah orang memanggilnya, seorang pelaut yang bekerja dan mencari rezeki melalui perairan Indonesia. Demi membantu sang ibu menyekolahkan adiknya, dan juga untuk mencukupi tabungan pernikahannya dengan seorang wanita yang sangat ia cintai.
Rasa rindu kian menyeruak ke dalam relung hatinya kepada sang kekasih yang sudah dua tahun merajut kasih dengannya. Dan hari ini adalah hari yang sangat ia tunggu-tunggu karena ia akan mengambil jatah cutinya selama beberapa hari. Pria berusia 26 tahun itu berniat akan memberikan surprise lamaran kepada sang kekasih hati.
Di tengah kebahagiaannya saat mengingat wajah sang kekasih, senyuman yang sejak tadi terukir di wajahnya seketika berubah pias saat di hadapannya muncul ombak yang sangat tinggi.
"Akmal, cepat masuk!" teriak salah satu temannya yang juga sedang melihat penampakan alam yang mengerikan itu. Yah, bekerja di tengah laut, tentu memiliki resiko besar, terutama saat cuaca sedang buruk.
Kapal tugboat yang merupakan kapal pengangkut batu bara itu kini tengah terombang-ambing oleh ombak yang cukup besar.
Semua crew kapal sedang siap siaga mengantisipasi kemungkinan yang bisa saja terjadi secara tiba-tiba akibat ombak besar saat ini, termasuk Akmal.
"Ingat! jika nanti keadaan semakin memburuk, utamakan keselamatan kita lebih dulu baru muatan dan lain-lain," tegas Captain di kapal itu.
"Siap, Capt!" jawab crew kapal itu serentak.
Cukup lama ombak besar menerpa kapal tugboat itu, beruntung saat ini muatan batu bara baru saja di pindahkan ke bulk carier sebelum cuaca perairan itu menjadi tidak kondusif.
Hingga akhirnya, langit sore itu mulai kembali cerah, ombak besar perlahan mereda, semua crew kapal serentak mengucapkan rasa syukur karena telah berhasil melewati ancaman maut tersebut.
Tidak terasa, kini kapal mulai sandar di dermaga saat langit mulai menggelap. Satu per satu crew kapal yang mendapat jatah cuti turun dari kapal dengan hati yang gembira, terutama Akmal.
Karena sudah tidak sabar ingin memberi surprise kepada kekasihnya, Akmal menjadikan kost sang kekasih sebagai tujuan pertamanya.
Taksi yang membawa Akmal kini telah berhenti tepat di sebuah rumah kost. Beberapa kali Akmal mengetuk pintu kamar sang kekasih, tapi tak ada respon dari dalam, bahkan tak ada sama sekali suara.
"Apa Via sedang keluar?" gumamnya sambil mengambil ponselnya untuk menghubungi sang kekasih.
Baru saja ia akan menekan nomor dengan nama yang memiliki simbol love di ponselnya, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan kost di mana Akmal sedang berdiri saat ini.
Akmal mengerutkan keningnya saat ia melihat seorang wanita yang tidak lain adalah sang kekasih turun dari mobil itu. Baru saja ia hendak menghampirinya, kembali langkahnya terhenti saat seorang pria ikut turun dari mobil itu dan langsung berjalan menghampiri wanita tersebut dan merangkulnya dengan mesra. Akmal memilih bersembunyi di balik dinding sementara untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka.
Jantung Akmal seketika berdegup kencang, saat melihat pemandangan menyakitkan di hadapannya itu. Apalagi saat melihat pria yang saat ini merangkul sang kekasih adalah pria yang usianya jauh di atasnya, lebih tepatnya, pria itu lebih cocok menjadi ayah wanita itu daripada menjadi kekasih.
"Via," panggil Akmal yang muncul dari balik dinding saat melihat sang kekasih hendak masuk ke dalam kamar kostnya bersama pria yang sudah cukup matang itu.
"A-akmal," kaget wanita itu dan refleks melepas rangkulan pria di sampingnya, membuat pria di sampingnya mengernyit bingung.
Akmal yang melihat sikap Via hanya tersenyum kecut. "Maaf, aku datang di waktu yang salah," ucap pria tampan itu dengan wajah datar lalu pergi.
"Akmal tunggu!" panggil wanita itu membuat langkah kaki Akmal terhenti.
"Akmal, jangan salah paham, aku bisa jelaskan," ujar wanita itu sedikit panik.
Masih dengan senyuman di wajahnya, Akmal melepaskan cincin pertunangan mereka di hadapan Via lalu meletakkannya di tangan wanita itu.
"Akmal, apa maksud kamu?"
"Aku rasa apa yang aku lakukan saat ini sudah sangat jelas, aku tidak butuh penjelasanmu, dan detik ini juga aku memutuskan hubungan kita," ucapnya tegas lalu hendak pergi, tapi tangannya dicekal oleh wanita itu.
"Tidak Akmal, bukankah kita sudah bertunangan, berarti sebentar lagi kita menikah, aku mohon maafkan aku," rengek wanita itu dengan air mata yang mulai mengalir membasahi pipinya.
"Menikah?" ulangnya sembari tersenyum getir. "Iya, aku memang berencana melamarmu malam ini juga agar kita bisa segera menikah, tapi setelah melihat semuanya, aku berubah pikiran. Lupakan pernikahan kita, aku tidak sudi menikahi wanita yang tidak setia," ucap Akmal sarkas lalu menyentakkan tangannya hingga terlepas dari genggaman wanita itu.
"Aku pergi," ucap Akmal lalu pergi meninggalkan wanita yang kini mematung dengan air mata yang sudah menganak sungai.
Kini malam semakin larut, tapi pria itu tak kunjung ingin beranjak dari tempat yang kini tampak begitu sepi sendirian dengan hati yang hancur. Terpaan ombak besar tadi bukan lagi masalah besar baginya. Bahkan saat di mana ia harus bahagia, badai yang lebih besar justru kembali menghantamnya.
"Aku tidak percaya lagi dengan yang namanya kesetiaan wanita, begitu sulit aku menjaga kesetiaan ini di saat kesempatan besar ada di hadapanku, namun dengan mudahnya dia mengobral kesetiaannya kepada pria lain tanpa memikirkanku."
⚓⚓⚓
Semenjak memutuskan pertunangannya, tante Akmal mulai memperkenalkan Akmal dengan beberapa wanita, agar Akmal dapat membuka hatinya untuk cinta yang baru, sehingga luka lamanya akibat pengkhianatan bisa terobati. Sayangnya, dari sekian banyak wanita, tak ada yang bisa membuat hati pria itu luluh.
Kekecewaan karena pengkhianatan mampu merubah sikap seseorang hanya dalam sekejap. Bukan keinginannya, hanya saja itu adalah bentuk perlindungan diri yang muncul tanpa di sadari akibat luka. Membentengi hati agar tidak jatuh dalam lubang yang sama, itu adalah tujuannya.
-Bersambung-
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!