Hati itu ibarat gumpalan kapas, setetes noda mampu merubah seluruh warnanya. Kadang ia kuat, dan kadang juga sangat rapuh, tegantung apa yang mengenainya.
Namun, jangan remehkan seonggok daging itu, sebab seluruh tubuhmu akan baik jika ia baik, dan seluruh tubuhmu akan rusak jika ia rusak.
⚓⚓⚓
Suasana di ruangan itu seketika hening, tak ada yang berani bersuara. Aisyah tertunduk dalam mendengar perkataan budenya. Hatinya begitu sakit, namun ia tidak ingin terlihat lemah oleh wanita paruh baya itu.
"Kamu ngerti kan perkataan bude?" tanya Bude Luna.
Aisyah mengedipkan matanya beberapa kali agar air mata yang sudah menggenang tadinya di pelupuk mata segera pergi. Ia menarik napas dalam lalu membuangnya perlahan.
Wanita bercadar itu mengangkat wajahnya menatap Bude Luna, lalu tersenyum.
"Ngerti, Bude," jawabnya singkat.
"Bagus, jika kamu nggak bisa cari sendiri atau nggak ada yang mau, biar bude bantu carikan," tawar Bude Luna, membuat gadis itu refleks menggelengkan kepalanya cepat.
"Nggak usah Bude, nanti juga datang kalau udah waktunya," jawab Aisyah.
"Itu berlaku untuk yang masih perawan loh ndok, kalau udah kayak kamu yah mesti kamu yang nyari sendiri," ujar Bude Luna lagi-lagi bagai sembilu yang menyayat hati tanpa ampun.
Aisyah kali ini memilih diam. Sebagai gantinya, ia meremas tangan sepupunya yang masih setia duduk di sampingnya dengan begitu kuat. Membuat Zahra sedikit meringis namun ia memilih diam sebab ia mengerti bagaimanan perasaan Aisyah saat ini.
Malam semakin larut, namun wanita bercadar itu masih betah berdiri di rooftop rumahnya, sambil memandangi lingkungan pesantren yang mulai tampak sepi.
Wajahnya kini mendongak menatap hamparan bintang di langit yang begitu indah, senyuman tipis perlahan terlukis di wajahnya.
"Aku bahagia saat ini, pun aku ikhlas dengan masa laluku, dan teruntuk masa depanku, ku harap jangan lagi ada luka di sana. Aku kuat, namun aku rapuh jika selalu berbenturan dengan luka yang sama," monolognya sembari menutup mata merasakan semilir angin yang menerpa wajah cantiknya.
⚓⚓⚓
Di tempat lain, di langit yang sama, udara terasa semakin dingin namun tak jua membuat pria tampan yang berdiri di ujung kapal itu bergeser dari tempatnya.
Hatinya gelisah sejak beberapa hari yang lalu. Ia merindu namun tak tahu kepada siapa rindu itu, ia mengharapkan pertemuan namun tak tahu pertemuan dengan siapa. Bagai magnet yang tertarik ke sebuah arah namun tak tahu dimana letak spesifik kutubnya.
"Bro," suara bass terdengar berbicara pelan di telinganya berhasil membuat pria itu terperanjat, dan detik itu juga ia tersadar dari lamunannya.
"Kurang asam kau, Gung," gerutunya sembari menatap tajam pria di sampingnya yang sedang tertawa puas.
"Sorry, Akmal, habisnya kau ini semakin hari ku perhatikan, kau semakin sering melamun, apa kau ada masalah?" tanya Agung.
"Tidak sama sekali," jawab Akmal tegas.
"Hahaha, semakin tegas kau menjawab, semakin jelas kau punya masalah," ujar Agung terkekeh melihat ekspresi sahabatnya itu.
"Sok tahu kau," elak Akmal lalu kembali memandangi langit gelap dengan hamparan bintang yang begitu indah.
"Cuti yang akan datang, kau mau kemana?" tanya Agung yang kini ikut berdiri memandangi langit.
"Sepertinya kali ini aku ingin ke rumah tanteku, aku sangat merindukan keponakan kecilku," ucap Akmal sembari tersenyum membayangkan wajah gadis kecil yang dulu sering ia jaga saat belum bekerja di pelayaran.
"Yah, mungkin dialah alasanku selalu merindu beberapa hari ini," batinnya tersenyum.
"Oh iya, Akmal, besok jadwal kita sandar di Jetty untuk isi muatan batu bara, jadi kita harus siap-siap." Agung mengingatkan.
"Iya aku ingat." Akmal lalu masuk ke dalam kapal karena suhu udara yang semakin dingin dan menusuk tulang. Tidak seperti Agung yang memakai jaket tebal, pria itu justru hanya memakai kaos tanpa lengan menampilkan otot-otot kekar di kedua lengannya.
Keesokan harinya, Akmal sedang bersiap mengarahkan kapal untuk bersandar ke Jetty. Hari ini adalah jadwal kapal mereka yang akan isi muatan batu bara.
Kurang lebih 3 sampai 4 jam akhirnya pengisian muatan pun selesai. Kini kapal kembali berlayar ke tengah laut, menunggu datangnya Bulk Carier untuk pembongkaran muatan batu bara.
Yah beginilah pekerjaan yang telah di tekuni Akmal sejak 4 tahun yang lalu. Bahkan ia merasa lebih lama hidup di tengah laut di bandingkan hidup di darat sejak saat itu.
Namun sejak bekerja disana, Akmal mulai bisa membantu orang tuanya menyekolahkan adiknya yang saat ini sedang berkuliah semester lima. Bahagia tentu saja ia rasakan, namun melalui pekerjaan itu juga ia merasakan sakitnya pengkhianatan.
Meski begitu, hidup tetap harus berlanjut. Akmal tidak ingin menjadi pria lemah yang terpuruk oleh luka. Ia hanya berharap semoga luka itu tidak pernah lagi menghampirinya.
"Allah, setiap embusan nafas ini tak luput dari pengawasanMu, terima kasih untuk semua rezeki yang telah Engkau berikan kepadaku, terima kasih juga telah membuka fakta menyakitkan itu padaku, kiranya melalui itu, aku bisa lebih berhati-berhati lagi menjaga hatiku agar tidak lagi terjerumus dalam lubang dosa dan luka. Kuatkan hatiku agar tetap istiqomah di jalanMu. Jika suatu saat nanti Engkau menakdirkan aku bertemu dengan seseorang yang setia dan tulus, maka lembutkan hatiku untuk dapat membuka hati kembali."
⚓⚓⚓
Beberapa hari kemudian, seperti biasa Aisyah akan melakukan aktivitas mengajar di sekolah Tahfizh Qur'an saat hari kerja, dan saat hari sabtu ia akan kuliah. Aisyah memang sengaja mengambil kuliah kelas karyawan karena ia tidak ingin jam mengajarnya mengganggu kuliah, pun sebaliknya.
Seperti saat ini, Aisyah sedang bersiap-siap untuk berangkat kuliah dengan motor maticnya. Namun saat hendak berangkat, sebuah mobil berhenti tepat di hadapannya sehingga menghalangi jalan yang akan ia lalui.
Wanita bercadar itu memicingkan matanya memperhatikan siapa sosok yang berada di dalam mobil yang tertutup itu, namun di detik berikutnya, seorang wanita paruh baya yang sangat ia kenali keluar dari mobil.
"Bude Luna?" lirihnya saat melihat seorang wanita anggun dengan kerudung modisnya berjalan menghampirinya.
"Aisyah, apa kamu akan berangkat kuliah sekarang?" tanya Bude Luna.
"Iya Bude," jawabnya sembari mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.
"Nah, kebetulan sekali, Bude sedang di temani keponakan Bude, namanya Reza, dia bisa mengantarmu ke kampus, sekalian kamu bisa kenalan sama dia," ujar Bude Luna sedikit berbisik di akhir kalimatnya.
"Maaf Bude, Aisyah naik motor aja," tolaknya halus.
"Kamu itu yah, Bude ini sedang berbaik hati ingin membantumu mencari jodoh, nak Reza ini kebetulan pria dewasa yang sedang mencari pasangan, dan dia tidak peduli status pasangannya mau gadis atau janda," ujar Bude Luna sedikit ngotot.
Ibu Lina yang mendengar suara Aisyah belum berangkat akhirnya keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi.
"Mbak Luna? Ada apa?" tanya Ibu Lina.
"Ini loh Lin, anakmu, aku ingin mengenalkannya dengan keponakanku, tapi dia menolak," adu Bude Luna.
"Bukan begitu Bude, tapi Aisyah nggak nyaman naik mobil berduaan dengan dia, lagi pula Aisyah sedang buru-buru sekarang, kalau naik mobil takut dapat macet," kilah Aisyah.
"Alaah, alasan saja kamu itu," gerutu Bude Luna.
"Maaf mbak, kalau Mbak Luna mau mengenalkannya dengan Aisyah, boleh suruh keponakan Mbak untuk datang besok kesini, karena besok Aisyah nggak kemana-mana, iya kan Aisyah?" Ibu Lina mengedipkan sebelah matanya kepada Aisyah.
"Iya Ummi," jawab Aisyah.
Bude Luna yang sedikit kesal hanya bisa membuang napas kasar. "Ya udah, besok aja kalau begitu, ingat kamu harus standby di rumah yah?" ujar Bude Luna kepada Aisyah.
"Insya Allah Bude," jawabnya sembari tersenyum.
-Bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Farida Wahyuni
cuma bude kok sok ngatur.
2023-01-19
2
Ria dardiri
👍👌👍
2022-12-18
1
Ria dardiri
semangat kk Thor
2022-12-18
1