Nabila Rahma binti Bahirullah. Papan nisan baru yang ditancapkan di atas gundukan tanah merah menjadi penutup proses pemakaman Nabila.
Raga terdiam, namun air matanya tak pernah diam. Di rengkuh tanah itu dengan perasaan hampa. "Tuhan, kenapa hanya nyawa adikku yang Kau ambil? Ambil juga nyawaku agar aku bisa bersama mereka. Aku ingin bersama mereka."
Kemarin ada Nabila yang selalu menjadi penyemangat disaat keputusasaan mendera. Kemarin ada Nabila yang selalu menjadi prioritas utama untuk diperjuangkan. Kini, hidupnya seolah tak bermakna, Tuhan telah memutus asa dari seorang Raga, hingga untuk menerima kenyataan terasa sangat sulit.
"Ga, hujannya semakin deras, ayo kita pulang," ujar Amir menyentuh bahu Raga.
"Pulanglah dulu, Mir, aku masih ingin di sini."
Hening. Hujan dan angin menjadikan suasana lebih mencekam, namun keadaan itu seolah tak menggoyahkan Raga untuk pergi dari makam.
"Amak, Bapak, Raga sekarang benar-benar sendiri. Bagaimana Raga bisa hidup seperti kemarin-kemarin?"
Terasa ada yang menyentuh bahunya lagi. "Pulanglah, Mir! Aku masih ingin disini. Apa kau tidak dengar!" Raga meninggikan suara, dia mengira itu Amir yang mengajaknya pulang.
"Nak ...."
Deg ....
Raga terdiam sesaat sebelum menolehi siapa pemilik suara itu. Ibu Lestari? gumamnya tanpa suara.
"Turut berduka cita," ucap Ibu Lestari.
"Terima kasih," balas Raga. "Bagaimana Ibu bisa sampai sini?"
"Setelah dari klinik, Ibu mencarimu, menanyai warga dan mendapat informasi kamu disini. Ibu tidak tahu kalau kamu punya adik." Wanita paruh baya itu berkaca-kaca melihat keadaan Raga. Ikut terhanyut dalam kesedihan.
"Ibu ingat, kamu tidak memiliki orang tua lagi, lalu setelah ini kamu tinggal dengan siapa? Di mana tempat tinggalmu?" cecar ibu Lestari.
"Tinggal di dekat Bendungan KR-11."
"Bolehkah kapan-kapan Ibu mampir kesana?"
Hening kembali, Raga tidak mengiyakan dan tidak menolak. Dia tidak begitu fokus dengan pembicaraan mereka.
Ibu Lestari menyodorkan amplop putih di depan Raga. "Semoga bisa sedikit membantu," ucapnya.
Raga tidak buru-buru menerima, melainkan hanya mengamati. Amplop itu terlihat tebal, mungkin isinya sejumlah uang dengan nominal lumayan.
"Simpan saja, Bu, kemarin saya butuh tapi sekarang tidak lagi." Raga menolak, kenyataanya memang begitu. kemarin dia sangat membutuhkan kebaikan seseorang, tapi untuk sekarang sudah percuma. Bahkan dia tidak tahu kelanjutan hidupnya.
•
Biasanya dia berjalan di kegelapan masih bersama asa, namun petang ini yang tersisa hanya air mata. Di dekat air bendungan Raga terpaku melihat sekitar. Betapa kesepian melanda setelah ditinggalkan oleh Nabila.
"Ayamnya enak sekali, Kak, besok beli lagi, ya, Kak."
"Uangnya sudah banyak belum, Kak? Kapan bisa beli nasi dengan lauk rendang?"
"Bila sayang Kakak."
"Kalau Bila susul Amak, lebaran besok-besok Kakak akan sendirian."
Raga teringat kalimat yang kemarin-kemarin adiknya ucapkan, semakin menambah kesedihan. Dia duduk di dekat batang pohon tumbang, tempat yang sama di saat malam terakhirnya bersama Nabila.
Bahunya kembali berguncang dan kini terisak dengan suara kencang. Tak ada siapapun yang akan mendengar tangisannya. Bahkan Tuhan seolah tidak mendengar, karena begitu tega memisahkannya dengan satu-satunya penyemangat hidup.
Dia tidak mengira lebaran kemarin adalah lebaran terakhirnya bersama Nabila. Bahkan dia pun tidak mengira, nasi bungkus berlauk daging pun adalah permintaan terakhir adiknya. Tuhan begitu cepat memisahkan dia dengan adiknya. Kini, bagaimana dia akan melanjutkan kesulitan hidup seorang diri? Sanggupkah dia bangkit?
•
Pagi kembali menyambangi, meski duka masih terasa menyakiti, tetapi hidup terus berlanjut. Bagaimanapun Raga menyalahkan Tuhan dan tidak menerima takdir, tetapi apa yang bisa diperbuat. Semua yang terjadi tidak bisa dirubah. Karena yang hilang takkan pernah kembali.
Raga baru merasakan perutnya melilit, dia ingat bahwa hampir dua hari lambungnya tak terisi makanan sama sekali. Dia terlalu cemas dan kalut dalam kesedihan, hingga tak memikirkan nasib si perut.
Raga masuk ke bawah jembatan, mencari makanan, siapa tahu masih ada yang tersisa. Dan dia menemukan satu bungkus roti, buru-buru diambil. Naas, ternyata roti itu sudah dikelilingi jamur. Dia menghela napas, berusaha tegar, membuang ujung-ujung roti yang terdapat jamur dan memakan bagian yang sudah bersih.
Dua kali kunyahan, sudut netranya dikejutkan kedatangan dua orang yang sedang menuju ke arahnya.
Bapak Komisaris Jenderal Polisi Bagas Permana bersama Ibu Lestari.
"Ibu ...?"
"Ya Allah, Nak, selama ini kamu tinggal disini? Di bawah kolong jembatan?" Tiba-tiba Ibu Lestari menangis. Wanita itu juga mengitari sekeliling yang ditinggali Raga. Ya Tuhan, tanpa menjelaskan pun sudah terlihat dari raut wajah tuanya bahwa dia sangat miris melihat tempat yang ditinggali bocah beranjak dewasa itu.
Tak bisa dibayangkan, bagaimana keadaan Raga dan adiknya sewaktu mereka berada disana. Jauh dari kata layak, bahkan sangat miris dan memprihatinkan.
Raga menunduk. Baru kali ini ada orang lain yang mendatanginya. Dia tidak menyangka jika Ibu Lestari sungguh akan mencarinya. Kemarin saat dia menjawab, hanya spontan menyebut nama jembatan yang selama ini ditinggali.
"Kamu anak laki-laki yang kemarin duduk di dekat saya, bukan? Waktu sholat ied di Masjid?" Pak Bagas mengingat-ingat wajah Raga.
"Iya, itu saya."
"Siapa namamu?"
"Nama saya Raga."
Bu Lestari menjauhi Raga dan beralih mendekati suaminya. "Bagaimana, Pa?" Bertanya meminta persetujuan.
Pria paruh baya itu mengangguk. Ibu Lestari tersenyum.
"Raga, maukah kamu ikut kami?"
"Ikut dengan kalian?" Raga tidak mengerti maksud wanita itu.
"Kami sepakat untuk menjadikanmu anak angkat."
Deg ....
Raga terdiam.
Ibu Lestari kembali mendekati Raga dan mengusap bahu bocah beranjak dewasa itu. "Ibu harap kamu mau ikut dengan kami. Kami akan merawatmu sebagai anak kami sendiri. Menjamin kebutuhanmu dan masa depanmu supaya lebih baik. Kamu masih punya masa depan, Nak, ayo bangkit dan tunjukan pada dunia kalau kamu masih bisa meraih mimpi."
Raga menatap pasang suami istri itu secara bergantian. Dia ragu untuk memutuskan. Selama ini tak ada manusia yang menganggapnya ada. Semua begitu acuh dengan kehidupannya, dia bahkan sudah sulit untuk mempercayai kebaikan orang lagi. Orang-orang maha benar hanya memikirkan nasib mereka sendiri, tanpa mau memandang kaum sepertinya.
Lalu tiba-tiba pasangan suami istri itu ingin menjadikannya anak angkat? Benarkah semua itu atau dia hanya sedang berangan yang tidak tentu.
"Benar yang dikatakan istri saya, ikutlah dengan kami, Raga. Kami tulus ingin menjagamu dan menjadikan kamu seperti anak kami sendiri. Masa depanmu akan terjamin." Pak Bagas ikut meyakinkan.
Mata Raga berkaca-kaca. Dia bisa menilai bahwa dua paruh baya itu memang tulus. Bibir pucatnya mengembang senyum, lalu memberi sebuah anggukan. "Ya, saya mau ikut."
.
.
.
Gimana? Lega gak kalian? Berikutnya ngiris bawang lagi gak ya? Ayo, tinggalkan komenan kalian, ya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
khoirunnisa
rodo telat thor😆
2023-07-10
0
Sumarni Sukesman
mehek
2023-05-30
0
Mulyana Latisya
sedih
2023-02-14
0