"Bu tolong rawat adik saya di sini saja." Raga memohon penuh harap.
"Tidak bisa. Kondisinya sangat serius kalau tidak ditangani dengan segera, jangan menyesal andai terjadi lebih buruk kepada adikmu."
Penuturan bu bidan barusan membuat Raga terpaku. Hati yang seolah tinggal setengah kini terkoyak kembali dengan keadaan sulit. Dada terasa penuh sebak, ingin menjerit sekuat tenaga untuk menyalurkan kesedihan.
"Ibu berbicara seperti itu hanya ingin menakut-nakuti saja, kan? Sebenarnya Ibu tidak mau merawat adik saya. Saya akan usahakan uang pembayaran, tapi tolong, rawat adik saya, Bu, tolong ...." Sudut mata Raga sudah menggenang cairan bening, tak sanggup lagi melihat adiknya terdampar lemas di atas brankar. Dia sampai mengatupkan kedua tangan di depan dada. Benar-benar memohon sepenuh jiwa raga.
"Dikasih masukan rujukan nggak terima dan malah nuduh begitu. Buat jengkel saja." Bidan itu terlihat kesal, berbalik badan menuju etalase obat-obatan dan membungkus beberapa obat lalu dilemparkan di depan Raga. "Nggak percaya ya sudah. Itu obat penurun panas. Sudah, bawa adikmu pulang! Saya harus nanganin pasien lain!" usirnya.
"Tapi, Bu ... percayalah, untuk masalah pembayaran saya akan usahakan. Ini, saya punya uang enam puluh ribu." Raga merogoh saku baju dan menunjukan segepok uang dua ribuan di depan bu bidan. "Tapi tolong biarkan adik saya di rawat di sini."
Bidan itu melotot. "Hah? Enam puluh ribu? Kamu kira dengan jumlah segitu adikmu bisa mendapat perawatan?" Perempuan mengenakan seragam putih itu menggeleng. "Buat sewa kamar saja tidak cukup." Sambil tersenyum masam.
"Dengar, kalau kamu mau bawa adik kamu ke rumah sakit, siapkan uang sekitar tiga juta."
"Tiga juta?" Kini berganti bola mata Raga melotot. Sangat terkejut. Bahkan di umurnya yang sekarang dia belum pernah melihat uang sebanyak tiga juta rupiah di depan mata, hanya melihat di gambar, ataupun televisi milik tetangga waktu dulu. Uang enam puluh ribu yang sekarang digenggam, itu jumlah paling banyak yang pernah dia bawa.
Terpaksa Raga membawa Nabila pergi setelah mendapat usiran lebih dari lima kali. Seperti apapun dia memohon, bu bidan tidak mengizinkan Nabila tinggal lebih lama tiduran di brankar puskesmas.
Bahkan, saat Raga memohon agar adiknya diizinkan berbaring lebih lama di sana karena dia ingin mencari rezeki di pasar kecil dan setelah pulang dia akan mengambil Nabila kembali, tetap saja bidan itu tidak mengizinkan.
"Dek, hari ini kita istirahat dulu, ya. Kakak libur kerja," ujar Raga. Mereka berjalan di bawah terik matahari membuat keringat lebih banyak bercucuran.
"Kalau Kakak libur, uang tabungannya nggak bertambah, Kak. Sayang ...," timpal Nabila dengan suara serak nan lirih. Tubuh mungilnya masih setia menempel di punggung sang kakak.
Benar apa yang dikatakan Nabila, tetapi jelas dia tak tega bila menyembunyikan adiknya di belakang tong sampah. Apalagi penjelasan bidan tadi masih terngiang. Namun pikirannya juga gamang karena lebaran tinggal menghitung hari, tujuan utama untuk membelikan gamis dan kerudung untuk Nabila tidak boleh gagal. Ya Tuhan ... harus bagaimana dia mengambil langkah.
"Bila nggak pa-pa, Kak, Kakak kerja aja." Kembali Nabila bersuara. Menyuruh Raga mengais sisa rezeki di pasar kecil.
Jam diperkirakan sudah memasuki pukul 9, namun Raga yakin bila mau berusaha Tuhan pasti mengirim rezeki.
Akhirnya kaki lemas itu di arahkan menuju pasar kecil. Terpaksa dia mendudukkan adiknya di belakang tong sampah lagi. Dibekali air minum dan satu buah roti, Raga meninggalkan Nabila dan mulai menjemput rezeki.
•
Tiga hari berlalu.
Raga bersyukur, tubuh Nabila sedikit membaik meski tak jarang suhu badannya tiba-tiba naik. Obat pemberian bu bidan di puskesmas masih ada, Raga hanya mengandalkan obat itu untuk persediaan.
Dalam pekat malam Raga termenung. Manik sendunya menatap langit yang kini bertabur bintang. "Amak, Bapak, siapkah Raga menjemput hari raya? Uangnya masih kurang banyak, Mak, kemana Raga mencari tiga puluh ribu lagi, sedangkan hari raya kurang satu hari.
Raga hanya ingin membelikan Nabila pakaian baru dan nasi bungkus berlauk daging, kenapa sesulit ini, Mak? Apa Amak dulu seperti ini? Sangat sedih saat aku dan Nabila ingin pakaian baru tapi Amak nggak bisa belikan? Maafkan Raga, Mak, maaf." Raga mengusap kedua pipi yang terkena lelehan air mata. Wajah Amak ketika bersedih kembali terbayang, mungkin Amak dulu sesedih ini ketika tak bisa memenuhi keinginan mereka berdua.
Raga menenggelamkan wajah dikedua lengan tangan yang bertumpu di atas lutut. Bahunya bergetar seirama dengan isak tangis tertahan. Dia dipaksa dewasa oleh keadaan. Andai Amak dan Bapak masih ada, tentu dia masih bisa tersenyum. Takkan menanggung beban berat ini sendirian.
"Kakak ...!"
Isak tangis Raga terhenti ketika Nabila memanggil dengan keras. Mungkin Nabila kaget dan takut karena terbangun tidak mendapati dirinya.
"Iya, Kakak di sini, Dek." Raga buru-buru menghampiri. Seolah menjadi rutinitas baru, dia sering mengecek suhu badan adiknya. "Demamnya naik lagi," gumamnya.
"Perut Bila sakit, Kak, sakit banget." Nabila meringkuk memegangi perut.
"Sakit? Kamu laper?" Raga membenarkan rambut Nabila yang sebagian menutupi wajah.
"Enggak. Tadi 'kan udah makan."
Mendapat uang tak seberapa, Raga hanya mampu menafkahi perut mereka dengan nasi bungkus berlauk tahu dan tempe goreng. Baginya, nasi dan lauk itu sudah sangat berharga daripada lagi-lagi harus menghabiskan tepung sisa gorengan.
"Mau pup?"
"Enggak juga."
"Mungkin perutmu kembung, Dek." Raga menaikan baju adiknya sebatas dada dan mengusap dengan telapak tangan agar sedikit hangat. Entah seperti itu efektif untuk meredakan sakit perut adiknya atau tidak, tetapi bagaimana lagi, minyak telon ataupun kayu putih juga tidak ada.
Sudut mata Raga berair, semakin hari tubuh Nabila terlihat kurus, hanya tulang terbungkus kulit, memprihatinkan. Padahal dia sudah melakukan segala upaya untuk adiknya, dia rela kelaparan asal Nabila kenyang.
"Perut Bila sakit banget, Kak. Sakit." Kali ini rintihan itu bercampur isak tangis.
"Sabar, ya, Dek, sabar. Kita tunggu pagi."
Raga tak bisa membendung tangisan. Nabila terus merintih, tetapi dia tak bisa melakukan apapun. Puskesmas tempat pertama yang dia tuju pasti sudah tutup. Sedangkan rumah sakit dan klinik sangat jauh. Angin begitu kencang, dia tak ingin perut adiknya semakin kembung kalau dia nekad membawa Nabila ke klinik sekarang.
'Amak, Bapak, bantu Raga. Raga harus bagaimana?' batin Raga pilu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
bidan nya kok gitu...mana sisi kemanusiannya..pas sumpah jabatan ga hadir ya..ato jgn2 sumpahnya palsu...
next
2023-03-12
0
Zaskia Gusril
😭😭😭😭😭😭😭😭😭
2023-01-19
0
Sumi Sumi
kenapa kalau orang yang kesusahan segala d persulit dan selalu di pandang bak kotoran 😢😢😢😢
2022-12-19
1