Dunia sedang tak bersahabat, menumpahkan hujan begitu meluap, menggambarkan hati Raga yang menangis tanpa jeritan.
Sudut pasar menjadi tempatnya berteduh dengan pikiran penuh. Dia sangat membutuhkan rezeki, akan tetapi alam sedang berduka dengan memperlihatkan hujan badai disertai kilat menyambar.
"Tuhan, sekali ini hamba mohon rezeki berlimpah. Tak ada yang mustahil bagimu, Tuhan. Tolong hamba dengan kekuasaan-Mu."
Satu jam berikutnya, alam mulai bersahabat. Hujan mulai reda dan keadaan sudah kembali tenang. Raga masuk ke gang-gang lapak pasar untuk mencari pelanggan.
Esok adalah hari kemenangan umat islam, sehari sebelumnya orang-orang berlomba membeli pakaian, makanan, kue dan apapun untuk menyambut hari raya.
Raga terdiam sejenak, menyusut sudut kelopak mata. Netranya awas melihat satu toples astor dengan berbagai warna dan rasa. Dia teringat dengan Nabila karena adik kecilnya sangat menyukai jajan itu.
Sedih rasanya harus mengesampingkan jajanan yang sebenarnya murah itu dari daftar catatan. Baju gamis berserta jilbab putih belum kebeli. Nasi bungkus berlauk daging yang sudah dijanjikan juga tak tahu bisa di dapat atau tidak. Begitu sulit dia mendapat rupiah, jumlah yang ditentukan juga masih kurang banyak.
"Dek, ayo, bawakan belanjaan ibu ke tukang becak di sana."
Perintah dari pelanggan mengembalikan Raga dari lamunan. "Iya, Bu."
"Ini upahmu."
"Iya, terima kasih, Bu." Raga kembali masuk ke dalam pasar. "Alhamdulillah, rezeki pertama dapet dua ribu rupiah. Bismillah, harus lebih semangat lagi," ujarnya.
Raga mendekati seorang ibu-ibu yang sedikit kesusahan membawa dua kantong besar karena berdesak-desakan dengan pembeli lainnya.
"Bu, mau saya bawakan."
Ibu itu menoleh. "Kamu?" Dia tersenyum. "Iya, Nak. Boleh." Lalu menyerahkan dua kantong besar itu kepada Raga.
Ibu itu jalan di depan dan Raga mengikuti. Raga memanggul kedua kantong besar supaya jalannya bisa lebih cepat. Pasar benar-benar sangat ramai, hingga menyelinapkan badan saja kesusahan.
"Belanja sebanyak ini kenapa tidak minta bantuan jasa kuli panggul, Bu?" tanya Raga.
"Saya tadi keliling mencari kamu, tapi tidak ketemu jadi sebisanya saya bawa sendiri."
Dahi Raga mengerut. Di pasar itu bukan hanya dia yang menawarkan jasa kuli panggul, bahkan ada banyak yang bersedia melakukan itu demi uang, lalu kenapa ibu itu harus mencarinya.
"Saya datang terlambat dan sampai sini langsung hujan, jadi diam dulu nunggu hujan reda."
"Em." Ibu itu mengangguk. "Besok hari lebaran. Kamu sudah punya baju baru?"
Raga tersenyum singkat. "Bukan masalah tak ada baju baru, Bu, yang terpenting baju bersih dan hati kita juga bersih." Ah, kalimat singkat nan bijak itu terucap begitu saja.
Ibu itu mengulurkan tangan untuk mengusap bahu Raga. "Kamu benar. Sangat benar. Tapi biasanya anak seumuran denganmu tetap meminta hak untuk dibelikan baju lebaran dari orang tuamu."
Dari pertama melihat Raga di pasar kecil itu, wanita paruh baya bernama Lestari sudah sangat tertarik untuk simpati kepada Raga. Dia memandang bocah itu sangat berbeda dari anak-anak lainnya.
"Kalau mereka masih ada, tidak mungkin membiarkan saya berada di sini."
"Maksud kamu?"
Lima detik Raga terdiam. Dari sekian manusia-manusia buta, masih ada yang bernurani yang sudi mengulik kisah hidupnya. Dia senang dengan kepeduliannya, akan tetapi enggan juga mengumbar semuanya. Dia tak ingin menjual kisah sedih untuk dikasihani.
"Maaf, orang tuamu sudah nggak ada?" Ibu Lestari nampak penasaran.
"Mereka sudah di surga," jawab Raga.
Ibu Lestari terlihat terkejut. Lalu menatap Raga dengan pandangan berkaca.
"Kalau sudah, saya akan pergi, Bu," pamit Raga. Dia melihat wanita paruh baya itu termenung dan hampir menangis. Kalau seperti itu, dia benar-benar seperti menjual kesedihan.
"Tunggu sebentar!" Ibu Lestari mengeluarkan dompet dan mencabut dua lembar uang berwarna biru.
"Jangan Bu! Ini sangat berlebihan. Saya tidak bisa menerima," tolak Raga dengan ekspresi terkejut karena ibu itu memberinya uang lima puluh ribu sebanyak dua lembar. Walau dia sedang membutuhkan uang, rasanya enggan menerima tanpa melakukan pekerjaan yang sesuai.
"Anggap saja sedekah dari saya. Yang lain bahagia menyambut hari raya, saya juga ingin kamu bahagia menyambut hari raya besok. Belilah baju baru."
Ibu Lestari sangat baik, bahkan sangat baik sekali. Raga sangat bersyukur bertemu dengan satu manusia yang masih memiliki nurani. Namun, kedua tangannya tetap kaku untuk menerimanya.
"Terima kasih. Terima kasih banyak, Bu." Setelah menerima uang, Raga menunduk dalam, ternyata sedang menyembunyikan cairan bening yang memenuhi indera penglihatannya. Dengan uang itu, dia akan berhasil menjadi kakak. Dia bisa mengabulkan keinginan Nabila dan menepati janjinya.
Itulah kebaikan Tuhan yang nyata seperti keajaiban. 29 hari dia sangat bersusah payah hanya untuk mengumpulkan uang sembilan puluh lima ribu. Namun, kebaikan Tuhan hanya membutuhkan tak lebih dari satu jam uang senilai seratus ribu rupiah bisa digenggam.
"Ibu sangat bangga denganmu, Nak. Kamu anak baik dan rajin bekerja keras. Makanya Ibu senang memberi rezeki untuk kamu. Selain itu, sebenarnya rezeki yang Ibu miliki juga ada hak milik orang sepertimu. Jadi, jangan menolaknya untuk meringankan beban ibu." Wanita itu kembali mengusap bahu Raga.
"Sekali lagi saya ucapkan terima kasih banyak, Bu. Segala doa yang baik untuk Ibu. Dan maaf, saya harus segera pamit." Raga mengulas senyum senang, meraih tangan wanita itu untuk disalami. Setelahnya Raga berlari gesit menuju gerai toko baju-baju. Dia akan membeli baju yang diinginkan adiknya. Semoga masih ada.
Kini uang yang dimiliki cukup untuk membeli pakaian Nabila, juga nasi bungkus berlauk daging. Bahkan masih ada sisa untuk tabungan melunasi tagihan klinik.
"Bu, beli!" teriaknya tidak sabaran.
"Iya ...." Si pemilik toko keluar. "Eh, kamu lagi."
"Saya sudah ada uang untuk beli pakaian yang waktu itu, Bu."
"Yang mana?"
"Gamis putih lengkap dengan kerudungnya."
"Oh, yang itu. Sebentar! Masih ada atau enggak."
Jantung Raga berdebar, semoga saja masih ada. Dia sangat berharap.
"Ini. Sembilan puluh lima ribu."
"Iya, saya sudah siapkan uangnya." Raga memberikan uang seratus ribu.
Penjual toko membungkus dengan rapi. "Kembali lima ribu, ya."
Dalam langkahnya, Raga tak henti mengulas senyum bahagia. Atas rezeki Tuhan yang dikirim lewat ibu Lestari akhirnya dia bisa menepati janji pada adiknya.
"Amak, Bapak, Raga bisa membelikan gamis untuk Nabila. Besok bisa merayakan lebaran bersama adek."
Langkah Raga selanjutnya menuju warung nasi yang lumayan jauh dari pasar. Dia memilih membeli disana karena masakannya sangat disukai adiknya.
"Bu, mau beli!" teriaknya lagi berdiri di depan pintu.
"Mau beli nasi dengan lauk apa?"
Raga meringis dan menggaruk kepala bagian belakang. Gadis belia itu lagi. Padahal dia sudah berdoa agar jangan gadis itu yang keluar.
"Beli nasi dengan lauk daging rendang."
"Kalau pakek daging rendang harganya tiga puluh ribu."
"Kok mahal? Kemarin dua puluh lima ribu," ujar Raga terkejut. Dalam beberapa waktu sudah naik lima ribu saja. Dia menghela napas.
"Menjelang hari raya semua ganti harga."
"Oh." Raga mengangguk. "Sebentar, ya." Dia menghitung uang receh di depan gadis belia itu. Malu sebenarnya, tetapi tak ada pilihan lain. "Uangku cukup. Aku beli satu bungkus aja."
"Oke!"
"Eh, tunggu!"
"Apa?"
"Kalau boleh ... banyakin bumbunya, ya." Raga menyengir.
Gadis itu mengangguk.
Raga menunggu dengan seulas senyum tak lekang dari bibirnya. Serasa kesulitan hidup terlupakan sejenak. Berbunga-bunga untuk dua keadaan yang tak pernah disangka-sangka.
"Kebaikan-Mu sangat nyata. Terima kasih, Tuhan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Apriyanti
Alhamdulillah semoga Nabila cepat sehat biar bisa ikut lebaran dan merasakan nasi bungkus pake lauk daging dan impian nya tercapai punya baju baru,,, lanjut thor
2022-12-23
0
No Name
aku menunggu up nya ...
2022-12-23
0
Agustina Suryani
akak mei nie jarang up nya😥padahal kita penasaran bgt sama cerita nya raga sama nabila😭😭
2022-12-23
0