Raga menurunkan Nabila di tempat jauh dari bendungan. "Tunggu sini biar Kakak ambil tas pakaian kita."
"Jangan Kak, Bila takut." Nabila memegangi tangan Raga, menahan agar sang kakak tidak menerjang air bendungan yang sudah melebihi batas biasanya.
"Kakak cuma sebentar, Dek, mumpung airnya belum terlalu tinggi."
"Kalau Kakak tenggelam, Bila bagaimana?"
"Kakak pintar berenang, gak akan tenggelam. Tunggu sebentar." Raga melepas genggaman tangan Nabila, berjalan hati-hati menuju pinggiran bendungan. Walau sudah berjalan di pinggiran, tubuhnya tetap basah karena air bendungan meluap dan kini sudah menenggelamkan sebagian tubuhnya.
Di tengah usahanya, Raga tak henti berdoa, meminta kebaikan Tuhan agar dirinya masih diberi keselamatan. Semata demi Nabila, dia masih memiliki tanggung jawab besar untuk adik satu-satunya itu. Siapa yang akan menjaga Nabila andai dia tidak ada.
Tangan Raga merabai dinding yang dia ingat untuk menggantung tas pakaiannya. Bukan hanya gelap, kini badannya terasa dingin. Air bendungan sudah menenggelamkan tubuhnya.
"Kakak! Hua … Bila takut Kak! Kakak!"
Terdengar jerit tangis Nabila, Raga berusaha segera menepi. Seluruh tubuhnya basah kuyup.
"Kakak!" Nabila ingin memeluk Raga, tetapi dia dicegah.
"Tubuh Kakak basah, nanti bajumu ikut basah."
"Kak, kita tidur dimana?"
Pertanyaan Nabila tak bisa dijawab. Raga pun bingung harus mencari tempat untuk berlindung dari dinginnya malam ini.
"Kita cari tempat lain, ya."
Ya Allah, Raga benar-benar ingin menjerit sekuat tenaga. Meluapkan segala sesak yang dirasa. Tas pakaian basah, otomatis pakaian dan dua helai sarung yang selalu digunakan untuk menghalau dingin ikut basah. Bagaimana malam ini mereka akan tidur?
Mencari tempat lain? Itupun sangat sulit, bajunya sudah basah kuyup, dia tidak bisa meminjamkan bahu untuk menggendong Nabila. Ya Tuhan, beri jalan.
"Dek, kalau kamu jalan, kamu masih kuat gak?"
"Kuat, Kak."
Mereka berdua meninggalkan bendungan dan berjalan menuju pasar kecil. Mungkin lebih baik bersembunyi di kios yang sudah tutup daripada tidur di semak belukar.
Berjalan jauh, Raga dan Nabila sampai di pasar kecil. Di sana, suasana lebih hidup karena sebagian pendar neon mampu menelusup ke dalam kios-kios yang sudah tutup. Raga mencari kardus bekas dan dijadikan alas tidur, sekalian sebagai pengganti selimut. Walau sedemikian usahanya, namun tubuhnya yang basah kuyup tetap menggigil kedinginan.
Lagi, tak henti bocah beranjak dewasa itu terus berdoa, semoga dingin tidak merenggut nyawanya.
•
Pagi hari.
Byur …!
Tubuh Raga kembali basah. Raga yang masih terlelap harus bangun dengan gelagapan. Seseorang telah berdiri di hadapan dengan berkacak pinggang.
"Enak-enakan tidur di kiosku! Bocah macam kalian bisa bikin sial. Pergi sana!" Hardik seorang pria yang mungkin si pemilik kios.
"Maaf, Pak. Kami akan segera pergi," ujar Raga lirih menahan perih. Dia segera menggendong Nabila dan menjauh. Namun, sebelum langkahnya menjauh, sebuah potongan kardus terlempar mengenai kepala Nabila. Bocah kecil itu mengaduh dan menahan tangis.
Raga membuang napas kasar, berbalik dan menatap tajam pria pemilik kios. "Kami sudah mau pergi, kenapa Anda tidak sabaran?! Melempar kardus dan mengenai kepala adik saya!"
Emosi Raga tersulut. Semua orang bisa menyakitinya, tetapi tidak dengan Nabila. Dia tidak akan membiarkan siapapun menyakiti Nabila. Nabila hanyalah anak kecil yang belum tahu apa-apa. Manusia maha benar yang tidak memiliki belas kasih tidak berhak ikut menghakimi adiknya.
"Eh, apa melotot-melotot begitu?! Kamu nantang? Mau ku laporkan satpol pp buat ngusir kalian dari pasar sini?!"
Raga terdiam, mengatur napas dan berusaha meredam rasa kesal. Akal menyadarkannya bahwa dia hanyalah bocah tak memiliki hak, diusir dari tempat itu hidupnya akan bertambah sulit. Akhirnya memilih pergi, tak menghiraukan lagi ocehan makian dari pria tadi.
Kembali lagi di tempat dekat kotak sampah, dia menurunkan Nabila dan tas pakaiannya yang masih basah.
"Auh'." Nabila meringis saat telapak kakinya menyentuh lantai semen kasar bercampur tanah.
Ya Tuhan, sudut mata Raga berair. Dia baru tahu ternyata telapak kaki adiknya banyak garit-garit luka seperti dirinya. Pasti karena semalam Nabila berjalan dengan kaki telanjang.
"Maaf ya, Dek, kakimu pasti sakit sekali."
Nabila hanya berkedip-kedip melihat kakaknya. Bibir pucat tak bersuara, tetapi siapapun akan tahu sesedih dan sesakit apa Nabila menahannya.
"Kakak nanti akan cari sandal bekas buat kamu. Gak pa-pa nunggu di sini?"
"Jangan lama-lama, Kak."
"Enggak. Kalau Kakak udah dapet uang buat beli gorengan, nanti Kakak langsung kembali."
Anggukan kepala Nabila mengantar kepergian Raga. Pasar masih sepi karena matahari belum muncul, namun Raga hanya berusaha untuk menjemput rezeki lebih awal.
Selain mencari pelanggan, Raga menyempatkan diri untuk melihat tumpukan barang tak terpakai, siapa tahu ada barang rongsok yang masih bisa digunakan. Dia berharap menemukan sandal bekas yang bisa dipungut untuk alas kaki Nabila.
Tuhan berbaik hati. Raga menemukan sandal untuk ukuran anak tanggung, masih bagus hanya saja talinya putus sebelah.
Menemukan barang bekas yang kebanyakan orang dianggap sudah menjadi barang rongsok, mampu membuat Raga tersenyum senang. Dia akan memperbaiki sandal itu supaya bisa digunakan lagi.
Kini Raga fokus mencari uang untuk membeli apapun untuk mengganjal perutnya dan Nabila.
Cukup lama Raga berkeliling mencari ibu-ibu yang memerlukan jasanya. Ada satu pelanggan pertama dan memberi upah dua ribu rupiah, Raga gegas mencari penjual gorengan.
"Dua ribu cuma dapat dua," kata si penjual gorengan.
"Gak pa-pa, Bang, kalau boleh ditambah sisa-sisa tepungnya."
"Iya nanti ditambahin."
Tidak apa, sisa tepung malah terasa crispy dan gurih. Pikir Raga.
Setelah mendapat gorengan, Raga kembali menemui Nabila di dekat kotak sampah. "Kakak sudah bawa gorengannya, Dek."
"Hore-hore …." Sorak sorai Nabila seketika mengembangkan sudut bibir Raga.
Dua buah gorengan membuat Nabila terlihat senang. Sesederhana itu kebahagiaan mereka. Bukan tentang mahal dan jenis makanannya, melainkan kesanggupan untuk menafkahi perut mereka.
"Kakak harus cari uang lagi. Bila tunggu sini. Ohya, Kakak tadi nemu sandal. Dijaga ya. Talinya putus, tapi nanti Kakak benerin."
"Wah … ini masih bagus Kak, tapi kebesaran. Dipakai Kakak juga muat."
"Gak pa-pa, ya, Dek, kalau Kakak sudah ada uang, Kakak belikan yang baru."
"Iya, Kak."
Raga mengelus rambut Nabila dan kembali masuk ke dalam pasar. Meninggalkan Nabila dengan tumpukan sampah dan bau tak sedap. Bocah kecil itu tetap bersembunyi di sana dengan mulut mengunyah tempe goreng dan sisa-sisa gorengan.
Beberapa orang membuang sampah di dekat Nabila, namun tak ada yang peduli dengan keberadaan bocah malang itu. Semua acuh bahkan hanya memberikan tatapan merendahkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Kar Genjreng
Thor kasih kesempatan apa...aduuuh gila lama lama ga tahan bacanya suer tak tunda tunda bacanya ...karena saking ga tega bacanya... jangan kaya di tv ikan terbang ya...😭😭😭😭😭😭😭
2022-12-12
0
Sidieq Kamarga
Ya Alloh aku langsung baca bab 7, langsung mewek lagi, Gusti Alloh ini sebenarnya di dunia nyata pasti ada 😭😭😭😭😭😭😭😭. Coba rubahlah nasibnya Thor, jangan terlalu blangsak.
2022-12-11
0
Agustina Suryani
nyesek bgt ya allah😭😭😭
2022-12-11
0