Dua puluh empat hari terlewati.
Malam hari ditemani pendar neon dari senter kecil, Raga mengulas senyum sumringah. "Alhamdulillah," ucapnya penuh syukur. Kedua netra terpekur melihat apa yang dipegang. Sudah sesaat, dia beralih melihat Nabila yang juga tengah berseri-seri.
"Dalam enam hari, Insya Allah, Kakak pasti bisa mengumpulkan tiga puluh lima ribu lagi, Dek. Dan Kakak bisa belikan kamu gamis beserta jilbabnya," ujar Raga antusias.
"Alhamdulillah, Kak, Bila senang. Bila sayang banget sama Kakak." Tiba-tiba kedua tangan Nabila terentang dan menghambur ke pelukan Raga.
"Kakak juga sayang banget sama kamu, Dek. Apapun akan Kakak usahakan untuk kamu. Kakak sebagai pengganti Amak dan Bapak."
Kulit Raga tersentuh kulit Nabila, dia mengerutkan dahi. "Ya Allah, tubuhmu demam lagi, Dek?" kagetnya.
Terlepas dari pelukan sang kakak, gadis kecil itu mengangguk. "Tenggorokan Nabila juga sakit," keluhnya sambil memegang leher.
Raga mendadak pucat dan khawatir. Seingatnya obat demam dari puskesmas sudah habis. Tidak ada persediaan obat lain. Dia melongok keluar, di sekitar sangat gelap. Hari sudah semakin larut. Pikirannya pun mendadak karut-marut.
Kemarin-kemarin terlalu sibuk mengumpulkan rupiah hingga dia lupa keadaan genting seperti saat ini bisa terjadi.
"Cerobohnya aku tidak mengingat untuk menyetok obat penurun panas. Kemana malam-malam begini mencari obat demam?" gumam Raga.
"Dek, minum air putih yang banyak, siapa tau tenggorokan mu sakit karena radang." Raga memberikan botol air mineral kepada Nabila.
"Sudah Kak, Bila nggak apa. Tiba-tiba sakit, tapi nanti tiba-tiba sembuh," ungkap Nabila.
"Ya ampun, jadi sudah pernah sakit begini sebelumnya?" Raga terkejut ternyata bukan sekali adiknya merasakan sakit di tenggorokannya. Kenapa Nabila tidak pernah bercerita, hingga dia tidak tahu.
Lagi-lagi Nabila memberi anggukan kepala sebagai jawaban.
"Kalau begitu besok kita periksa lagi ke puskesmas."
"Nggak mau, Kak," tolak Nabila cepat.
"Kenapa?"
"Bila takut jarum suntik."
"Nggak disuntik, cuma periksa dan nebus obat aja."
Kali ini Nabila menggeleng. Tidak setuju dengan ucapan kakaknya.
"Biar sembuh. Nanti kalau pas hari raya tenggorokan mu sakit, kamu nggak bisa makan astor."
Nabila menunduk, bibirnya mengerucut lancip dan mencebik.
"Kakak pastikan Bu Dokter nggak suntik kamu." Raga berusaha membujuk.
"Sebenarnya ... Bila takut sama Bu Dokter. Orangnya galak."
Sewaktu pergi ke puskesmas kemarin, penyambutan pelayan medis kurang baik terhadap mereka, mungkin hal itu menjadi trauma bagi Nabila.
"Yang kita butuhkan obat, bukan sikap baik mereka. Selama kita mendapat apa yang kita butuhkan, nggak usah hiraukan sikap mereka," ujar Raga menahan gemuruh di hati. Apa salah mereka sampai orang-orang maha benar selalu mengucilkan dan meremehkan mereka. Miris sekali sampai adiknya seolah trauma mendapat sikap kurang baik dari orang tak bernurani.
•
Pagi hari demam Nabila belum juga turun. Bahkan sebaliknya, suhu tubuh semakin naik dan mata Nabila terpejam erat. Bibir pucat dengan gigi saling beradu.
"Kakak, Bila dingin, Kak." Kedua tangan tertekuk di depan dada. Kedua kaki pun sama. Meringkuk seolah menahan rasa dingin yang teramat. Dua buah sarung sudah dijadikan selimut, tetapi gadis kecil itu masih mengeluh dingin.
Raga melongok langit, antara gelap dan terang diperkirakan masih pukul setengah enam pagi.
Pagi itu, bagi Raga mentari sangat lama muncul di atas permukaan bumi, dia tidak sabar ingin melarikan Nabila ke puskesmas. Dia takut terjadi sesuatu dengan Nabila karena sebelumnya suhu tubuh adiknya tidak sepanas ini.
"Sabar, Dek, tunggu sebentar lagi. Kakak akan bawa kamu periksa." Baju-baju dikeluarkan dari tas, ditumpuk ke atas badan Nabila. Bahkan beberapa kardus juga ditambahkan, namun tetap saja Nabila masih merintih.
"Kakak ...."
"Iya, apa ... kamu ingin minum? Makan roti? Atau ... tunggu-tunggu! Kakak rebus air hangat untukmu." Raga beranjak keluar dari kolong jembatan, mengambil ranting pohon kering yang sebelumnya sudah ditumpuk dipinggir dinding dan ditutup plastik putih. Dia menghidupkan api dengan batu. Sulit dan butuh perjuangan, selain angin berembus kencang, pekatnya embun pagi juga turun membasahi bumi.
Raga sangat berusaha keras untuk menghidupkan api. Tiga batu besar diletakan dipinggir api dan di atasnya terdapat kaleng bekas biskuit untuk merebus air. Bersih dan higienis? Dua kata itu ada diurutan nomor sekian, yang utama bagaimana membuat tubuh Nabila tidak kedinginan lagi.
Menunggu air hingga mendidih pun terasa sangat lama. Sebentar-bentar dia menengok adiknya dan kembali lagi untuk menunggu rebusan air. Benar bibir terkatup rapat, tetapi hatinya tak putus merapal doa.
Semenjak kedua orang tuanya almarhum, seolah kesulitan hidup begitu nyata dan enggan beranjak dari mereka. Letih dan sedih terus menggelayuti. Lelah untuk tetap menjadi tetapi Tuhan tak memberinya pilihan.
"Dek, minum air hangat biar tubuhmu hangat dan nggak dingin lagi."
Tak hanya diminumkan, Raga juga menyeka seluruh tubuh Nabila dengan air hangat menggunakan botol bekas sirup.
Matahari hampir sejengkal, Raga menggendong Nabila menuju puskesmas yang tidak jauh dari pasar kecil. Dia berharap puskesmas sudah beroperasi dan siap memeriksa adiknya.
Di gendongan Raga, tubuh Nabila lemas tak bertenaga. Kedua netranya masih terpejam, membuat hati Raga dihinggapi rasa takut kian membesar.
"Bu! Bu! Tolong periksa dan obati adik saya!" Raga berteriak di depan pintu puskesmas yang baru dibuka beberapa menit lalu.
Seorang wanita mengenakan pakaian rapi terlihat menyembul keluar. Memicing, memberi tatapan remeh ke arah kakak beradik itu. "Kenapa?" tanyanya tanpa keramahan.
"Adik saya demam tinggi, tolong periksa dan obati dia." Cuaca belum begitu terik, tetapi keringat bercucuran di wajah Raga. Kedua matanya sendu meminta belas kasih.
"Kenapa nggak agak siang aja datangnya, baru buka sudah dapat pasien seperti ini." Gumaman yang masih bisa di dengar Raga, tetapi bocah beranjak dewasa itu tidak peduli. Dihina, diremehkan seperti apapun tidak akan dihiraukan. Yang terpenting Nabila mendapat penanganan dan obat. Sikap buruk dari orang-orang maha benar sudah tidak mempan menyakiti hati. Dia anggap baik, selagi mereka mau menangani adiknya.
"Aduh, lumayan buruk kondisinya. Ini harus dibawa ke klinik atau rumah sakit besar biar mendapat penanganan yang tepat. Di sini alat medis kurang lengkap. Radang tenggorokannya sudah parah." Keterangan dokter membuat Raga mendadak lemas. Rumah sakit besar atau klinik tentu membutuhkan dana berkali-kali lipat dari pengobatan di puskesmas.
Ya Tuhan ... cobaan apa lagi yang harus dilewati.
.
.
.
Ada yang tanya ; Kak, kok sedih mulu'? Kapan bahagianya?
Akak Mei belum bisa memastikan. Kalau masih penasaran, ikuti terus per bab berikutnya, ya. Siapa tahu Akak Mei berubah pikiran dan mengirim tas rahasia berisi uang milyaran, auto mendadak kaya 'kan mereka. Semua nggak ada yang mustahil di dunia novel, asal kalian sabar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
mom's Arthan
datangin org baik akak Mei, biar bisa bawa Nabila berobat ke klinik/RS...😭😭😭
2022-12-16
0
Kar Genjreng
Thor Mei yang baik hatiii...banget 😄😄...jangan pisahkan berdua tetapi Ak juga berdoa thor Mei banyak M M..uangnya kan tidak tau itu dari mana...ya Thor 😂😂...ada Perry yang baik..
2022-12-16
0
klu bisa jgn buat nabila meninggal, buat mereka bahagia walaupun diawal sedih, sakit yg penting bahagia tp selalu bersama sama
2022-12-16
0