Beratapkan gelapnya langit malam dan beralaskan bentangan kardus, Raga menidurkan Nabila di bawah jalan layang. Kondisi gelap, hanya sesekali tersorot dari lampu kendaraan yang lewat. Tak ada siapapun di sana, pun tak ada yang peduli dengan keadaannya.
Begitu kejam kehidupan saat ini. Hanya satu bulan kebahagian itu terenggut. Singkat, bahkan sangat singkat seperti kedipan mata. Kini tinggal sengsara yang tak tahu dimana dan kapan ujungnya.
"Aku gak bisa berdiam diri. Besok harus bisa cari uang buat kami bertahan hidup." Di tengah malam mencekam, suara jangkrik dan burung hantu sesekali hinggap di telinga namun tak dihiraukan. Meski ada rasa merinding, namun lebih besar lagi kerisauan hatinya.
Hampir sepanjang malam Raga tidak tidur dengan benar. Tidurnya terganggu dengan suara Nabila yang merintih kedinginan. Dia hanya bisa berdoa, semoga esok hari Nabila tidak demam. Karena ini pertama kali adiknya tidur di tempat terbuka. Beruntung Nabila kuat, tidak merengek maupun menangis. Nabila memang tidak cengeng, tapi malah Raga sendiri yang tadi sempat terisak. Sedih menangisi takdir hidupnya dan adiknya.
Keesokan harinya dia terbangun karena suara bentakan dari tukang sapu jalanan. Lagi-lagi tanpa perasaan dia diusir.
"Anak jalanan, sampah masyarakat!"
Sudah berjalan berjarak dua meter, namun telinga Raga masih mendengar hinaan dari si tukang sapu. Dia hanya membatin, apa di lingkungan itu sudah tidak ada manusia yang punya hati. Dia dan adiknya adalah dua bocah terlantar, namun tak ada satu manusia pun berbaik hati menolong atau sedikit meringankan beban hati. Justru selalu dihina dan dipandang rendah.
"Bila? Kamu tidak sakit 'kan?" Raga menatap khawatir pada Nabila yang terlihat lemas tak bertenaga.
"Tidak, Kak. Tapi Bila pengen makan." Lagi-lagi kata itu seperti taring hewan buas yang mengoyak hati hingga hancur berkeping-keping. Kemana harus melangkah hanya untuk mencari sesuap nasi.
Srak … srak ….
Rungu Raga mendengar sapu lidi beradu dengan daun kering dan tanah. Dia menoleh dan melihat pria tua bertubuh tambun dengan rambut beruban sedang menyapu halaman kantor yang Raga sendiri belum jelas itu kantor apa.
Raga berpikir, biasanya di tempat berkumpulnya para pejabat ada sisa makanan yang dibuang ke tong sampah. Buru-buru dia mendekat. "Permisi, Pak. Apa saya boleh memeriksa kotak sampah?"
Pria tua itu menoleh dan menghentikan aktivitasnya. "Kotak sampah sudah dibersihkan! Sana pergi! Bikin kotor saja."
"Tapi, Pak …."
"Masih ngeyel? Mau sapu ini melayang di kepalamu! Pergi!" bentaknya disertai bola mata melotot.
"Hua … Kakak, Bila takut." Nabila yang digendong di punggung menangis ketakutan. Raga mengelus dan menenangkan adiknya.
Lagi, telapak kaki telanjang itu harus melangkah tanpa tujuan. Dia tidak masalah bila orang-orang menghinanya, tapi Nabila, dia masih terlalu kecil untuk menghadapi kejamnya orang-orang tak memiliki nurani.
Riak air sungai gemericik memenuhi indra pendengaran. Raga menurunkan adiknya di tepi sungai berbatu. "Dek, kita bersih-bersih dulu, ya. Sekalian Kakak mau cari apa saja yang bisa kita makan."
"Kak, Bila minum sedikit airnya, ya. Haus."
"Hem. Jangan lupa baca bismillah."
Raga tahu, air sungai bukanlah yang layak mereka minum. Namun apa daya, hanya air keruh yang tidak steril itu yang bisa mengaliri tenggorokan mereka. "Tuhan, beri kami sedikit rezeki untuk hari ini, kasihani adikku."
Raga meraba-raba tanah becek, berharap menemukan ikan, belut atau hewan air yang bisa dikonsumsi.
"Kak, Bila kangen sama Amak dan Bapak."
Raga tidak langsung menjawab, banyak yang sedang dipikirkan.
"Amak sama Bapak sudah di langit, ya, Kak? Kapan kita menyusul mereka? Bila ingat Bapak pulang mulung selalu bawakan Bila jajan."
Raga mengusap peluh bersama setitik air mata yang masih menggantung di pelupuk mata. Dia juga rindu Bapak, benar yang dikatakan adiknya. Sepulang memulung barang bekas, jika uang yang diperoleh lumayan banyak, Bapak pulang membawa jajan astor yang akan dibagi dengan adiknya.
Keadaan sekarang, kumis tipis belum tumbuh di atas bibir, tapi dia dipaksa dewasa. Dipaksa menjalani dan menanggung kerasnya hidup seorang diri.
Keheningan menyambangi. Nabila sudah berhenti bercerita, bocah itu asik bermain air dan membasuh-basuh ke badannya.
"Jangan ke tengah, Dek, disana dalem. Takut tenggelam!" teriak Raga memperingati Nabila.
"Iya, Kak."
Hari ini Tuhan mengabulkan doa Raga. Dia mendapat satu belut dan satu ikan gabus seukuran pergelangan tangan Nabila. Adik kecilnya menyambut dengan sorak gembira. Raga mengumpulkan daun dan ranting kering, lalu mencari dua batu untuk pengganti pemantik api. Pengalaman itu dia dapat dari Bapak. Bapak selalu mengajarkan banyak hal dalam kesulitan.
Tanpa garam, tanpa penyedap rasa, namun daging ikan dan belut sungguh terasa nikmat. Apalagi untuk perut mereka yang memang sangat kelaparan. Hampir semua daging dipisah untuk adiknya, sedangkan dia hanya menikmati bagian kepala dan sisa-sisa durinya.
"Kakak, kenapa dagingnya dikasih ke Bila semua?"
"Kakak lebih suka kepala dan daging di samping duri, lebih nikmat. Sudah, kamu habiskan semuanya, biar kenyang." Bohong, tentu saja. Siapa yang tidak suka dengan daging ikan yang empuk dan gurih, pastinya. Namun yang ada dalam pikiran Raga hal terpenting adalah adiknya. Dia sendiri? Biarkan saja, masih kuat menahan lapar hingga Tuhan memberi pintu rezeki kembali.
"Kak, Bila kenyang." Nabila mengecap kelima jari yang masih tersisa daging-daging ikan. Di atas daun pisang, tersisa daging belut dan ikan gabus.
"Gak dihabiskan? Nanggung," kata Raga.
Bocah dengan rambut sedikit awut-awutan itu menggeleng. "Sudah kenyang."
"Tunggu sebentar, ya." Raga bangkit dan menyusuri jalanan. Kembali dengan membawa kresek putih, dia memasukan sisa daging ikan dan diselipkan dalam kantong bajunya.
"Kok dimasukin kantong, Kak?" tanya Nabila dengan polosnya.
"Hari masih panjang, Dek. Siapa tahu nanti sore kamu lapar 'kan masih bisa dimakan."
Mereka masih berteduh dibawah pohon besar dekat sungai, angin sepoi-sepoi menghipnotis Raga dan tanpa sadar justru tertidur pulas.
Nabila yang hanya pura-pura tidur terbangun, tanpa membangunkan sang kakak, gadis kecil itu berjalan menyusuri jalanan.
Kemanakah dia?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
buat perkenalan vote minggu ini untuk arga dan bila saja
2023-03-12
0
giartikiki
nangis Thor
2022-12-09
0
Sumi Sumi
ya Allah prihatin banget
2022-12-08
0