Kenapa Tak Ada yang Memuliakan Kaum Sepertinya.

"Bertahanlah, Dek, Kakak akan bawa kamu ke rumah sakit."

"Kak, sakit, Kak ... sakit sekali perut Bila." Gadis kecil itu terus saja merintih, membuat Raga panik setengah mati. Berbekal senter kecil dan gumpalan uang yang di simpan dalam kantong plastik, Raga nekat akan membawa adiknya ke rumah sakit atau klinik. Dia tidak berpikir panjang, entah nanti pihak rumah sakit mau menerima pasien seperti adiknya atau tidak. Yang terpenting dia berusaha untuk kesembuhan Nabila.

Setahu Raga, sekitar dua kilo dari tempatnya sekarang ada klinik yang buka 24 jam. Dia tahu tentang klinik itu disaat dirinya masih mengenyam bangku sekolah. Waktu itu dia, Amir, dan beberapa teman lain sempat melewati Klinik Kasih Lestari.

Napas memendek setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu kilo dengan berjalan kaki. "Dek, Kakak istirahat sebentar, ya," ujarnya dengan napas tersengal. Dia duduk di tepi trotoar dengan tubuh Nabila yang masih ada di atas punggungnya.

"Ssttth ... stthhh ... Kak ...."

Belum juga lima menit Raga beristirahat, tetapi rintihan Nabila terdengar mencemaskan. Raga buru-buru bangkit dan kini setengah berlari agar lebih cepat sampai. Tak dihiraukan napas yang kian tersengal, bahkan seolah hampir putus. Suasana dingin, akan tetapi tubuh Raga dipenuhi keringat bercucuran.

Di tengah perjalanan, saat dia berlari, naas sandal usang yang dikenakan putus. Raga hampir saja terjungkal bersama Nabila.

"Kak ... sakit."

"Ya Allah, maafkan Kakak, Dek, maafkan Kakak." Di sini, air mata Raga mulai berjatuhan, dibawah pendar neon jalanan wajah adiknya terlihat sangat pucat. Sungguh, hati Raga digelayuti rasa takut. Dia takut terjadi sesuatu pada adiknya. Tidak!

"Kakak sayang kamu, Dek, bertahanlah untuk Kakak." Suara Raga tertahan isak tangis.

"Ja-ngan nang-is, Kak." Nabila masih sadar meski kelopak mata tidak terbuka sepenuhnya.

Di dapan sana, sekira seratus meter, nampak plang besar bertulis 'Klinik Kasih Lestari' Raga semakin cepat mengayuh kakinya.

"Bu, Pak! Tolong ...!" Di halaman klinik, Raga sudah berteriak minta tolong.

Seorang berseragam satpam berlari menghampiri. "Kenapa?"

"Tolong adik saya. Dia sakit. Tolong rawat dia." Raga berbicara dengan intonasi terputus-putus.

Satpam itu justru melihati Raga dan Nabila dengan pandangan ... entahlah.

"Pak!" Raga memanggil dengan suara meninggi. Adiknya membutuhkan penangan segera, tetapi satpam itu justru memberi tatapan menyelidik. Yang hanya membuang-buang waktu saja.

Wiu ... wiu ... wiu ....

Sirine ambulance menyita perhatian Raga dan si satpam. Tak berapa lama keadaan terlihat gaduh dengan datangnya satu mobil ambulance dan satu mobil pickup yang ternyata mengangkut korban kecelakaan beruntun karena korbannya berjumlah tujuh orang.

Raga meninggalkan satpam dan berdesakan masuk dengan para korban. Dia menyentuh baju perawat. "Bu, tolong adik saya."

Perawat itu menoleh. "Kamu tidak lihat saya harus memberi pertolongan pertama kepada para korban kecelakaan! Mereka keluarga pak camat, harus di dahulukan."

Uh, hanya karena penampilan Raga dan adiknya seperti gembel, lantas mereka tak punya kesempatan untuk di dahulukan. Padahal mereka datang lebih dulu dan perawat itu tahu karena sempat melihat ke arahnya.

"Tapi Bu, 'kan kami datang duluan." Raga melayangkan protes.

"Apa untungnya datang duluan? Kamu keluarganya siapa?" Perawat itu memberi pertanyaan menohok yang sulit dijawab oleh Raga.

Keluarga siapa? Bahkan mereka hanya hidup sebatang kara tanpa memiliki silsilah keluarga. Ya Allah, sakit sekali hatinya.

Perawat itu benar-benar tak peduli, meninggalkan Raga dan Nabila begitu saja.

Bergeming dengan kepiluan. Raga berusaha mencegat perawat lain dan memohon pertolongan.

"Tunggu ruang ICU kosong ya, nanti adikmu baru bisa diperiksa."

"Tapi, Bu, adik saya sudah sangat pucat, tolong periksa sekarang." Dia memohon dengan mata berkaca-kaca. Kenapa tak ada yang memuliakan kaum sepertinya.

"Kamu mau tunggu atau tidak?! Kalau nggak sabaran, bawa saja adik kamu ke klinik lain!"

Pupus sudah harapan Raga pada perawat yang dinilainya baik, ternyata tak jauh beda dengan yang tadi.

Tak ada pilihan, Raga membawa Nabila duduk di kursi tunggu yang ada di luar klinik. Dia di usir, mungkin karena penampilan dekil dan bau tubuhnya yang tidak sedap membuat keluarga para pasien tidak nyaman.

Di luar ruangan, Raga mendongak. Kedua pipinya kembali basah dengan air mata. "Tuhan, tunjukan kebaikan-Mu. Tolong kami."

Setelah hampir dua jam, akhirnya Raga dipanggil untuk mengisi formulir pendaftaran dan Nabila mulai masuk ke ruang pemeriksaan.

Sedikit lega karena pihak klinik memberi toleransi tentang pembayaran. Tidak masalah jika setelah ini dia harus berjuang keras mencari rupiah, yang terpenting adiknya sudah di rawat.

Akan tetapi kelegaan itu tak berlangsung lama, ketika dokter memberinya kabar buruk. "Kamu terlambat membawa adikmu berobat. Kondisinya sudah sangat buruk. Kita pasrahkan pada Tuhan."

Tubuh Raga melemas. Seluruh tulang tercabut paksa dari badannya. Tak ada perih yang lebih dalam selain mendapati berita buruk itu.

'Beri kesembuhan untuk adikku, Tuhan. Apapun bisa terjadi atas kehendak-Mu. Takdirmu lebih hebat dari prediksi dokter.'

Hingga ....

Malam itu Raga menginap di klinik. Sampai waktu sahur tiba dia tidak memiliki persediaan makanan. Miris, beberapa petugas klinik dan keluarga pasien yang sedang menyantap makanan tak ada satupun yang sekadar menawari makanan. Bahkan dari mereka malah melempar tatapan merendahkan.

Raga menghela napas dan melanjutkan langkah menuju mushola yang ada di luar bangunan klinik. Selain mengambil wudhu, dia juga menelan beberapa teguk air mentah untuk mengaliri tenggorokannya sebagai pengganti makanan.

Pagi menyambut, Raga berpamitan kepada perawat jika dia harus pergi sebentar untuk mencari uang. Setelahnya dia akan kembali untuk menjemput adiknya. Perawat itu mengangguk, menyetujui.

"Hari ini Kakak janji akan kembali membawa gamis dan kerudung yang kamu suka kemarin. Kakak juga akan belikan kamu nasi bungkus dengan lauk daging. Kakak sayang kamu, Dek, cepet sembuh, biar kita bisa sholat ied bersama. Menyambut hari kemenangan bersama. Nanti setelah kita ziarah ke makam Amak dan Bapak, Kakak bakal ajak kamu main-main ke rumah Amir, Hendri dan temen kakak yang lainnya. Di hari lebaran mereka pasti banyak kue, kamu bisa makan kue sepuasnya. Yang pasti ada jajan astor kesukaanmu." Raga berbisik pelan di samping telinga Nabila. Beberapa kali telapak tangannya mengusap pipinya yang basah oleh air mata. Sungguh tak tega meninggalkan Nabila di klinik sendirian, dia ingin menjaga dan selalu menunggui adiknya. Tetapi dia pun tak bisa melewatkan kesempatan terakhirnya untuk mencari rupiah, itupun demi adiknya.

"Kakak tinggal dulu, ya."

"Hati-hati ya, Kak, Bila sayang Kakak." Dalam tak berdayanya, Nabila mengulas senyum.

Entah mengapa melihat senyum adiknya, hati Raga justru terasa pilu. Seolah senyum kedamaian itu tak akan berlangsung lama.

Terpopuler

Comments

khoirunnisa

khoirunnisa

author jahat😆😆

2023-07-10

0

jebol juga akhirnya mata ini🥺🥺🥺😭😭😭😭😭

2023-03-12

0

Andin Yafa

Andin Yafa

Thorrt km yg jahatt bkn mrekaaa....Hiks..Hiks....

2023-01-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!