"Dek-Dek, lihat, Kakak bawa apa?" Setelah menerima buah jeruk dan anggur, Raga langsung menemui Nabila.
"Apa itu Kak? Ugh, yang warna kuning aku pernah makan, tapi yang kecil-kecil itu aku nggak tahu."
"Yang kuning ini buah jeruk, kalau yang ungu namanya buah anggur. Enak dan seger, kamu pasti suka." Raga memberikan semuanya pada Nabila. "Mau coba? Yang jeruk atau anggur?"
"Yang anggur aja, Kak."
Raga memisah anggur dari tangkai, lalu memberikan pada adiknya. "Sisanya disimpan dulu, ya, Kakak mau kerja lagi." Bukan Raga tidak mengizinkan Nabila memakan lebih banyak, tetapi lebih waspada pada anak-anak nakal yang bisa saja merampas buah berharga bagi mereka itu.
Raga berjalan memasuki area pasar lagi. 'Ya Tuhanku, terima kasih untuk rezeki hari ini.'
•
Sore hari, Raga mencuci pakaian di air bendungan, menjemur beberapa helai kain di ranting-ranting yang kering. Bibirnya mengembang saat mendengar Nabila bernyanyi dan tertawa riang bermain sendiri.
Sungguh, tak ada yang membuat Raga bahagia selain melihat tawa dan kebahagiaan Nabila. Apapun akan dia usahakan untuk adik kecilnya.
"Bila, kamu gak mandi, Dek?"
"Sebentar, Kak, aku masih gambar ikan."
Raga duduk di dahan pohon yang sudah tumbang. Punggung lelahnya bersandar pada dinding kokoh sebagai penyangga jembatan, sedangkan Netra jernihnya memandangi jingga keemasan di arah barat.
Sore ini Raga begitu tenang, mereka sudah memiliki jatah makan lumayan cukup. Satu buah nasi uduk dengan lauk ayam potong, buah jeruk dan anggur pemberian ibu baik hati dan dua roti untuk jatah sahur. Menu sederhana, tapi membuat mereka bersyukur.
Ketika malam hari, Nabila menggigil kedinginan. Raga terbangun karena terusik dengan gerakan adiknya, dia berinisiatif untuk membenarkan sarung di atas tubuh adik kecilnya. Saat menyentuh tangan Nabila, Raga berjingkat bangun, ternyata suhu tubuh adiknya kembali naik.
"Astagfirullah, kamu demam lagi, Dek." Tentu saja Raga panik. Dia mengobrak abrik isi tas, mencari sisa obat dari bidan di Puskesmas. Alhamdulillah, masih ada sisa dua kali minum.
Setelah membantu Nabila meminum obat, Raga menunggui adiknya sampai datang waktu sahur. Dia teringat tentang janjinya akan membangunkan Nabila untuk sahur, tapi bagaimana jika kondisi Nabila sedang demam.
Keesokan paginya, meski badan Nabila lemas dan suhu badannya masih hangat-hangat kuku, Raga terpaksa harus membawa Nabila kembali ke pasar. Mau bagaimana lagi, hanya di sanalah tempatnya mengais rezeki.
Rasanya enggan beranjak, tak tega meninggalkan adiknya sendirian di dekat tong sampah dalam keadaan kurang baik. Raga menggenggam telapak tangan kurus Nabila, dan menatap wajah lesu adiknya.
"Bila nggak pa-pa, Kak," ujar anak kecil itu, seolah tahu kerisauan kakaknya.
"Kakak segera kembali. Ingat, makan dulu rotinya, baru boleh makan jeruk dan anggur. Dhabisin gak pa-pa, soalnya Kakak gak suka." Raga beralih mengelus pucuk kepala Nabila.
"Kenapa semua makanan yang enak-enak Kakak gak suka? Dulu, waktu Amak dan Bapak ada, Kakak selalu ambil makanan Bila," cecar Nabila.
'Itu dulu, Dek. Sekarang, aku rela kelaparan asal perutmu kenyang,' batin Raga.
"Kakak sekarang sering gak nafsu makan. Kakak lebih suka makan roti dan tepung dari sisa gorengan. Enak dan gurih."
"Emh." Nabila menggaguk. Umur yang belum genap lima tahun masih mudah untuk diberi pengertian.
"Kakak pergi dulu. Kalau panas, kepalanya ditutup pake kardus, ya."
"Iya, Kak."
"Satu lagi, doakan Kakak supaya rezeki hari ini lancar bisa nabung buat beli nasi bungkus lauk rendang sama jilbab," imbuhnya.
"Asiap! Bila pasti doakan Kakak terus." Terukir senyum dari bibir Nabila, membuat Raga ikut tersenyum dan sedikit lega.
Akhirnya Raga beranjak meninggalkan Nabila dan masuk ke dalam pasar.
Tak lama dari itu, Nabila berpindah posisi dan melongok ke sekitar. Selalu terdiam saat melihat pemandangan yang membuat hatinya menjerit karena rasa iri.
Anak kecil seusianya terlihat bahagia mendekap mainan dan aneka jajanan lezat. Memakai baju bagus, dan sepatu mengkilap, bando kuda poni yang membuat semakin cantik. Tak hanya itu, tetapi Nabila lebih iri ketika anak seusianya masih bisa bergandeng tangan dengan ibunya, digendong dan dijaga.
"Amak …." Nabila mencebik dengan air mata memenuhi sudut mata. Dia sangat merindukan Amak. Hidup keluarganya dulu memang serba kekurangan, tetapi dia dan kakaknya tidak pernah kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Hal itu yang membuat Nabila sangat merindukan belaian tangan Amak ketika menggendong dan mengusapnya saat akan tertidur.
"Hei anak kecil! Ngapain di sini? Mau diangkut mobil sampah juga? Minggir-minggir!" Seseorang membentak Nabila dengan suara keras, membuat anak kecil itu menggigil ketakutan sambil menggeleng kuat-kuat.
"Bau mu sudah seperti sampah, sangat busuk!" Pria yang satunya ikut melontar hinaan. Kedua pria itu ternyata petugas kebersihan.
Nabila mundur sampai mentok di tembok, tempat biasa yang direkomendasikan kakaknya untuk bersembunyi. Itu salahnya yang ingin melihat kondisi sekitar, dan kini orang lain dapat melihat keberadaanya.
Nabila mengambil kardus untuk menutup dirinya. Dia sangat ketakutan, andai dua pria dewasa itu membawanya dan dia akan terpisah dengan kakaknya.
Tubuh ringkihnya masih bergetar. Menahan isak tangis sambil memanggil nama kakaknya.
Dari kejauhan, Raga yang baru saja menurunkan satu kantong belanjaan tak sengaja melihat tong sampah di pojok pasar sedang dikerubungi orang-orang pekerja pembersih sampah. Setelah menerima upah dua ribu rupiah, dia gegas menuju tong sampah.
"Permisi, Kak," kata Raga. Tubuh adiknya tak terlihat, tapi di balik kardus yang berdiri itu terlihat jemari kecil Nabila yang menyembul.
"Dek," panggilnya.
"Kakak … hua … Bila takut, Kak."
Raga terkejut mendengar Nabila menangis. "Ssttth, ini Kakak. Ini Kakak. Kenapa?" Dia menyingkirkan kardus dan langsung mendekap tubuh adiknya.
"Pantes bau sampah, kakaknya juga mirip-mirip sampah," ujar seseorang membuat Raga menoleh. Namun wajah pria-pria itu tak terlihat, tertutup tong sampah besar.
Debaran jantung Raga berdegup kencang, ingin sekali meneriakkan makian untuk pria yang merasa dirinya bersih, tetapi lagi-lagi dia disadarkan oleh kenyataan pahit. Jika dia melawan, maka rezekinya akan terputus. Bisa saja dia diharamkan menginjakkan kaki di pasar kecil itu.
Raga beralih lagi menolehi adiknya. Dia bergumam, "Dek, Allah lebih tahu, mana orang-orang berbau harum surga dan mana orang-orang yang hanya merasa maha benar."
"Kakak …." Isak tangis Nabila masih terdengar.
"Ya udah, yuk, kita pergi dari sini. Biar orang-orang itu bersihin tempat ini dulu. Besok kalau kamu duduk di sini udah gak begitu bau sampah."
"Naik ke punggung Kakak!" perintah Raga.
Nabila berdiri dan sudah akan naik ke punggung Raga. "Kak, jeruk dan anggurnya jatuh. Plastiknya bolong," ujarnya.
Raga memungut semuanya dan dimasukan ke dalam kantung bajunya. Lalu mengajak Nabila menjauh dari tong sampah.
.
.
.
Kenapa di part ini saya mewek parah, ya. Kalian mewek gak, sih?
Yang lihat dua anak ini, tolong mereka diadopsi dong. Hehe … canda ya.
Lanjut gak nih?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
sama anak yatim piatu kok padha ga berbelas kasih ya..(hnya bbrp saja)
2023-03-12
0
anggy tabitha
mirisssss....
2023-01-17
0
giartikiki
ayo Thor ditunggu jangan lama3 ya
2022-12-14
0