"Allahu akbaru allahu akbaru allahu akbaru, laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar, allahu akbaru wa lillaahil hamd."
Suara takbiran menggema di setiap tempat ibadah ; Masjid dan Mushola. Bergembira untuk menyambut hari raya esok. Pun tak terkecuali dengan Raga yang terus menyungging senyum terbaik di bibirnya. Kelopak mata berbinar tatkala melihat Nabila bersorak bahagia sedang menjajal gamis dan kerudung yang dia belikan.
"Kak, ini bagus sekali. Bila sangat suka. Terima kasih, Kak, Bila sayang banget sama Kakak."
Ucapan terima kasih dan ungkapan rasa sayang membuat hati Raga bahagia tak terkira. Dia berhasil menepati janjinya, dia berhasil menggantikan peran Amak dan Bapak sekadar membelikan baju baru untuk Nabila. Meski hal itu tak luput dari kebaikan seseorang.
Kebahagiaan yang terpancar membuat kondisi Nabila terlihat membaik. Raga lumayan lega dengan itu, dia berharap Nabila segera sehat dan bisa meninggalkan klinik.
Tok! Tok!
Ketukan pintu membuat Raga menoleh. Seorang perawat memanggilnya untuk ikut.
"Dek, Kakak tinggal sebentar, ya."
"Iya, Kak."
Raga keluar ruangan, dan sudah ada perawat tadi berdiri di sisi pintu dengan membawa kertas dan pena. Menyodorkan di depannya.
"Ini tagihan yang harus dibayar. Satu hari dua malam adik kamu di rawat, kamu belum membayar tagihan sama sekali."
Raga menelan ludah susah payah, bagaimana bisa dia melupakan hal itu. "Be-berapa tagihannya?"
"500 ribu."
Bola mata Raga melotot hampir keluar. 500 ribu seperti angka keramat yang menakutkan. Sebanyak itu harus mencari di mana. Baru saja satu bebannya berakhir, kenapa ada beban lain yang harus ditanggung dan itu lebih berat.
"Bu, tolong kasih keringanan. Apa Ibu tidak melihat keadaan kami?"
"Tapi ini kebijakan dari klinik, saya hanya menjalankan tugas. Kalau pun ingin meminta keringanan, harusnya kamu meminta surat keterangan warga miskin dari kelurahan."
"Kami hanya tinggal di bawah jembatan. Kelurahan mana yang harus saya mintai bantuan. Saya tidak tahu bagaimana caranya mengurus hal-hal semacam itu." Raga menunduk, berbicara lirih. Apakah dia harus menemui pak lurah di desa sebelumnya.
Perawat itu menghela napas panjang, seperti kasihan bercampur kesal.
"Bolehkah saya berhutang. Saya janji akan mencicilnya," pinta Raga dengan wajah mengiba.
Perawat itu mengernyit dalam. "Kamu kira klinik ini tempat kredit yang bisa dibayar dengan mencicil," ucap perawat dengan setengah mencibir.
"Sekarang saya benar-benar belum ada uang, setelah satu hari raya, saya akan mencari uang dan mencicilnya," bujuk Raga.
"Huh, sakitnya orang susah itu merepotkan!" Perawat itu menggerutu kesal karena baginya kaum seperti Raga sangat merepotkan.
Nyes, ada rasa nyeri di ulu hati ketika mendengar gerutuan si perawat. Ya Tuhan, apa kaum melarat sepertinya tidak boleh sakit. Juga tidak boleh merasakan fasilitas medis. Apakah fasilitas seperti itu hanya diperuntukan bagi orang-orang kaya saja? Bukankah itu menyengsarakan kaum miskin. Ah, pertanyaan itu hanya bisa dipendam tanpa bisa Raga menyuarakannya.
Setelah perawat tadi tak melanjutkan pembicaraan, Raga kembali masuk, duduk menyamping di atas brankar Nabila.
"Kakak tadi bawa bungkusan 'kan?" tanya Nabila.
"Oh iya, Kakak sampai lupa." Raga mengambil kantong plastik berisi sebungkus nasi. "Kakak tadi beli nasi dengan lauk rendang. Makanan yang sudah lama kamu inginkan," ujarnya.
"Wah ... rendang? Pasti enak banget, Kak." Nabila kembali berbinar. Wajah pucatnya nampak tak sabaran melihat Raga membuka karet sebagai pengunci nasi bungkus.
"Kakak belinya di warung yang kamu bilang masakannya enak." Harum khas bumbu rendang menguar memenuhi indera penciuman mereka. Satu potong daging yang di iris kotak itu seperti makanan terlezat bagi lidah mereka. Nabila benar-benar nampak tidak sabaran untuk mencicipi.
"Kakak suapi atau makan sendiri?" ujar Raga.
"Suapi Kakak," rengek Nabila dengan manja.
Raga mulai mencuil daging dan menyuapi adiknya. Dia tersenyum bahagia melihat senyum Nabila terus terukir.
"Kamu sudah baikan 'kan, Dek? Berarti besok kita bisa sholat ied bersama, kamu bisa pakek gamis dan kerudung baru."
"Kita sholat di Masjid At-Taqwa ya, Kak, Bila pengen sholat di sana. Di sana ada Kak Tisa, Dea sama Wila." Yang disebutkan Nabila, anak-anak yang dulu pernah menjadi tetangga mereka. Bahkan Dea adalah adiknya Amir.
"Kalau sholat di sana, kita harus berangkat subuh biar kebagian shaf. Pulangnya kita bisa sekalian main tempat mereka. Hari raya di rumah mereka pasti banyak kue."
"Eum, Bila pengen jajan astor sama minum sirup, Kak. Tempat Dea biasanya ada," ujar Nabila.
Raga tersenyum dan mengangguk. "Iya, besok kita ke sana."
"Kak, dari tadi Kakak suapin bila terus. Kakak kapan makannya."
"Kakak udah kenyang tadi makan gorengan." Raga berbohong, padahal dia tadi membatalkan puasa terakhirnya hanya dengan meneguk air mineral. Dia rela memberikan semua nasi beserta rendang itu untuk adiknya, hasrat keinginannya tak perlu dipikirkan.
"Kok Bila nggak dibagi gorengannya?"
"Kakak cuma beli dua, dan Kakak makan semua."
"Kak, Bila pengen liat Kakak makan daging rendangnya juga. Kakak harus cobain, enak banget. Besok kumpulin uang buat beli lagi ya, Kak."
"Udah, kamu aja yang makan. Kakak bisa makan yang lainnya. Kamu yang pengen. Kakak nggak tahu, kapan bisa belikan nasi bungkus lauk rendang lagi. Kamu habisin aja." Raga tetap menolak. Meski ingin, tetapi dia bisa menahan.
Tiba-tiba Nabila merebut nasi bungkus itu dan mengambil daging yang masih sisa setengahnya. "Pokoknya Kakak juga harus makan." Tangan kecilnya menyodorkan potongan daging di depan mulut sang kakak.
Raga membuka mulut dan menggigit ujung daging sedikit. Sangat lezat. Bibirnya tersenyum namun ujung mata berkaca-kaca. Sungguh, Nabila adalah kebahagiaan utama baginya. Senyum Nabila adalah senyumnya. Kebahagiaan Nabila juga kebahagiaannya.
"Kamu benar, Dek, dagingnya enak banget," ujarnya dengan menyusut ujung mata. Kebahagiaan sederhana, akan tetapi sangat bermakna.
Satu jam berikutnya, ketika Raga sedang mengelus kepala adiknya agar Nabila cepat terlelap. Pintu yang tiba-tiba dibuka dari luar membuat Raga terkejut. Ternyata perawat yang tadi datang lagi.
"Kamu boleh mencicil tagihan, tapi sekarang juga kamu harus bawa adikmu pergi."
Raga tercengang. Jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam, tapi pihak klinik menyuruhnya pergi.
"Tapi, Bu, bolehkah besok pagi saja. Kasihan adik saya kalau harus kedinginan."
"Kalau kamu bisa bayar, atau mencicil sekarang, adik kamu masih bisa berbaring di sini."
Raga melihat ke arah Nabila. Baru beberapa saat lalu adiknya terlelap, kini dia harus membangunkan Nabila untuk diajak pergi. Kasihan sebenarnya, tetapi tak ada pilihan lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Dian Rezki Lestari
setiap tenaga kesehatan pasti disumpah untuk mendahulukan keselamatan pasien, tanpa pertimbangan pasien tsb mampu atau tidak mampu.
2022-12-30
0
No Name
siapa y naruhh bawang dan cabe di sini..mataku perih ini thor...klo bisa saranku buat si raga dan bila ada y ngadop orang terkaya y baik hatinya😁
2022-12-23
0
Apriyanti
jahat bgt jd perawat
2022-12-23
0