Sebungkus Roti yang Hancur

(Sebelum membaca harap siapkan tissue 2 bungkus. Air mata kalian akan tumpah ruah. Yang gak kuat harap skip)

Raga terbangun dari lelap saat daun kering jatuh menimpa wajahnya. Dia melihat ke samping, dimana adiknya juga ikut terlelap, namun jantungnya berdebar kencang saat tidak mendapati Nabila ada disana.

"Dek?" Raga terperanjat, dengan cepat bangun dan mengawasi sekitar. Kosong, tak nampak sama sekali. "Nabila ...!" Berteriak kencang dan mulai panik. Ya Tuhan, Nabila adalah satu-satunya yang dimiliki. Jangan biarkan dia terpisah dengan sang adik.

Gegas Raga mencari jejak Nabila, di susuri kemana langkah kaki kecil itu berjalan. Mulutnya tak henti berteriak memanggil Nabila dengan tangan kiri memegang kantong baju, takut buntalan daging ikan terjatuh. Dia baru ingat, baju lusuh yang digunakan ternyata kantongnya bolong. Dia tak mau makanan lezat itu sampai terjatuh. 

Lumayan jauh Raga mencari adiknya, tetapi belum ketemu. Hampir putus asa, dengan sudut mata menggantung cairan bening. "Ya Tuhan, kemana kamu, Dek?"

Cairan bening itu menetes, dia segera menghapus dan kembali mencari. "Nabila …!"

"Iya, Kak!"

Raga terhenti dan memasang telinga untuk mendengar sahutan dari adiknya. "Dek!"

"Kakak, sakit, Kak!"

"Nabila?" Raga menuju semak-semak setinggi orang dewasa, dia menduga adiknya berada di sana.

"Dek!" Raga terkejut melihat Nabila meringkuk ketakutan dikelilingi satu ular piton berukuran satu meter. Raga mencari kayu panjang dan berusaha mengusir ular. 

Tidak sengaja untuk menyakiti tetapi Raga melakukan itu demi menyelamatkan adiknya. Dia memukul ular sampai tak berdaya, lalu menggendong Nabila keluar dari semak belukar. Dia menciumi kepala Nabila dengan perasaan sayang. Dia benar-benar takut terjadi sesuatu pada adiknya.

"Kenapa kamu sampai di sini?" Bertanya dengan lembut. Dia tahu Nabila masih sangat ketakutan.

"Maaf, Kak, aku cari ini." Satu kresek berisi botol bekas dan cup minuman. 

Raga menatap barang bekas dengan pandangan nanar. Bagaimana adiknya berpikir untuk mulung. Satu kresek tidak penuh, tetapi Raga menghargai jerih payah adiknya. 

"Tidak perlu cari itu lagi, Dek. Bahaya. Jangan jauh-jauh dari Kakak."

"Kalau dijual kita bisa dapat uang, seperti Bapak dan Amak dulu. Nabila pengen beli jajan Astor, Kak."

Raga ingin menjerit kuat. Hatinya berserak tak berbentuk, adiknya menginginkan jajanan seharga dua ribu rupiah tapi dia tidak bisa membelikan. Rasanya tidak berguna sebagai seorang kakak. Dia mendekap tubuh kurus Nabila dan menangis. "Kakak janji, Kakak akan berusaha cari uang dan Kakak akan belikan jajan astor buat kamu, Dek. Tapi kamu jangan jauh-jauh dari Kakak. Kakak takut kamu kenapa-napa."

"Iya, Kak, maaf."

Keesokan paginya. Mentari telah menyingsing dari arah timur. Raga melamun dengan pikiran tak menentu. Tiba-tiba dia teringat pasar kecil yang lumayan jauh dari tempatnya saat ini. Dulu, dia pernah melihat anak tetangga sedikit lebih tua darinya bekerja di sana. Siapa tahu nasib baik akan berpihak dan dia juga bisa menjadi kuli panggul, atau bekerja apa saja. Yah, dia merasa menemukan sebuah ide.

"Dek, bangun!" Raga buru-buru membangunkan adiknya. Nabila menggeliat dan perlahan mengerjap. 

"Yuk, ikut Kakak."

"Kemana?"

"Ke pasar. Kakak mau cari kerja."

Nabila mengucek mata sambil menguap. Tak tega melihat adiknya masih mengantuk, Raga memilih memposisikan Nabila ke atas punggungnya.

Satu kilo lebih perjalanan yang Raga tempuh untuk sampai di pasar kecil itu. Pasar kecamatan yang hanya buka sampai pukul dua belas siang saja. 

Di depan sana, Raga terdiam dengan mengamati keramaian orang-orang bertransaksi kebutuhan hidup. Sandang, pangan, semua ada disana.

Raga menurunkan Nabila di dekat tong sampah besar yang ada di sudut pasar. Berniat menyembunyikan Nabila disana agar tidak terpisah lagi. Mewanti agar adiknya tidak pergi kemanapun sampai dia kembali.

Setelah memastikan Nabila aman, Raga mulai melangkah mencari target ibu-ibu yang membutuhkan jasa angkut belanja, alias membutuhkan jasa kuli panggul.

Cukup lama Raga menantikan target, karena dia kalah cepat dengan kuli panggul yang lebih dulu memiliki lahan.

"Bu, butuh jasa kuli panggul? Saya bisa bawakan belanjaan Ibu." Dia menawarkan jasa.

"Maaf, Dek, saya sudah ada langganan. Ituh, Dek Anwar, langganan Ibu."

Seseorang yang ditunjuk tengah memamerkan senyum smirk. Pria yang tak kalah dekil dari Raga itu mendekat. "Apa?! Ini wilayah gue! Lo anak baru? Pergi sana!"

"Maaf, Bang. Tolong berbagi rezeki, Bang," ujar Raga.

"Enak saja berbagi rezeki. Kagak ada! Sono lo pergi!"

Bahu Raga didorong, membuat bocah itu menjauh dan mencari tempat lain.

Tak terasa matahari mulai meninggi, satu target pun tidak ada. Raga hampir menyerah, hanya Nabila yang dia pikirkan. Adiknya pasti sudah lama menunggu, tapi sepeserpun dia tidak mendapat uang.

Raga berwajah lesu, menyusuri gang-gang kecil dalam pasar. Dia harus mendapat uang atau makanan untuk Nabila. Kasihan, Nabila pasti kelaparan.

Kaki telanjangnya sudah tak berbentuk, lumpur dari cipratan dan lubang lapak ikan mengotori hampir sebetis. Dia tidak peduli. Di tengah keputusasaannya, dia melihat sebungkus plastik berisi roti. Melihat sekeliling namun orang-orang sibuk bertransaksi.

Dia mengambil dan mengelap plastik kue karena sedikit kotor terkena lumpur. Lumayan, Nabila pasti senang. Baru beberapa langkah dia berjalan, seseorang meneriakinya.

"Hei, kamu mencuri!"

"Tidak, saya tidak mencuri."

"Roti itu kamu ambil dari kolong meja Haji Marzuki. Pasti kamu mencuri!" tuduh pria itu dengan menunjuk-nunjuk Raga.

"Tidak, Pak. Sumpah, saya tidak mencuri. Roti ini saya pungut dari tanah, saya kira tidak ada pemiliknya."

"Halah, bisanya kamu saja. Kamu pasti mencari kesempatan!" Pria itu mendekat dan tiba-tiba menempeleng kepala Raga cukup kuat. Raga meringis kesakitan.

"Dasar, kecil-kecil belajar mencuri! Orang tuamu tidak mendidikmu!" 

Sakit di kepala tidak sesakit dalam hatinya. Kenapa disangkut pautkan dengan didikan orang tua. Walau dulunya hidup mereka sangat melarat, Bapak dan Amak tidak pernah mengajari mereka mencuri.

Bahkan dia juga tidak berniat mencuri, hanya memungut roti yang sudah terinjak dan separuhnya kotor. Semua dilakukan demi adiknya yang kelaparan. Kenapa orang-orang tak mengerti dan tuli akan teriakannya yang mengiba dan berusaha menjelaskan.

Kini bukan satu orang yang melayangkan pukulan, tetapi pedagang lain ikut menampar, menendang dan menyikut perutnya. Dalam sekarat hidup, tetap Nabila yang terus dipikirkan. "Dek, tunggu Kakak."

Tubuh Raga terjerembab di atas lumpur becek, tak berbentuk lagi. Sudut bibir dan bagian lain membiru dan bengkak karena dipukuli.

Beruntung bungkusan roti tadi tetap aman dalam dekapannya meski sudah hancur karena terlalu kuat dia mendekap.

Keberuntungan kedua kembali berpihak saat satpam pasar datang dan melerai mereka.

"Pak, jangan serahkan saya ke kantor polisi. Kasihani, adik saya menunggu di depan pasar sendirian."

Tanpa menjawab, satpam pasar menuntun Raga menepi di sudut pasar yang lumayan sepi. Pria mengenakan seragam dinas itu menatap kasihan pada Raga.

Terpopuler

Comments

Lalisa

Lalisa

hanya bisa nangis 😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭

2024-09-19

0

Sidieq Kamarga

Sidieq Kamarga

Maaf Thor dari bab 1,2, aku skip dulu bab 3,4 nya ya mau langsung k bab 5 dst. Sepertinya aku gak akan kua 🙏🙏🙏🤔🤔🤔

2022-12-11

0

Sumi Sumi

Sumi Sumi

kenapa mereka ga berperasaan 😭😭

2022-12-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!