Jangan Bikin Kakak Takut

Raga menggandeng tangan adiknya ketika mereka pulang dari bersilahturahmi di rumah Amir, Hendrik dan beberapa teman lainnya.

Tangan kiri Nabila menggenggam plastik erat-erat berisi kue dan cup minuman pemberian Amaknya Amir dan Amaknya Ali. Bibir kecilnya menyungging senyum dan sesekali berceloteh. Namun, Raga hanya menanggapi dengan singkat. Lelaki beranjak dewasa itu tengah terpikir obrolannya bersama Amir.

"Kenapa kami tidak boleh main ke tempat barumu, Ga?"

"Tempat tinggal ku sekarang sangat jauh. Lagian, aku tidak punya apa-apa, Mir, tidak ada yang bisa aku hidangkan buat kalian."

"Kita tidak mengharap hidangan darimu, Ga, cuma pengen tau kamu tinggal dimana. Kami bisa mengunjungimu kapanpun." Amir ngotot ingin tahu dimana Raga tinggal, tetapi Raga pun tak kalah memberi alasan agar teman-temannya mengurungkan niat.

Apa yang membuat Raga kepikiran? Yaitu tentang ekspresi Amir dan teman-teman lainnya, sebab setelah perdebatan kecil itu, Amir dan teman-teman nampak kecewa.

"Dek, istirahat sebentar nggak apa 'kan? Kakak capek banget," ucapnya berhenti di bawah pohon Mahoni.

Nabila duduk di dekat sang kakak. "Kakak haus? Minum dulu, Kak." Tangan mungilnya menyodorkan satu cup minuman teh gelas di depan kakaknya.

"Makasih, Dek, nggak pa-pa 'kan Kakak minum?" Raga takut Nabila tidak kebagian. Jika begitu, dia akan merelakan untuk adiknya saja.

"Nggak pa-pa Kak, masih ada satu lagi. Jajannya juga banyak, Kakak makan juga."

Di tengah kesedihannya, Raga berusaha mengulas senyum di depan Nabila. Dia mengambil jajanan pilus dan memakannya perlahan.

Raga termenung kembali, kini angannya melayang jauh tentang kehidupan selanjutnya. Sampai kapan dia dan adiknya harus bernasib menyedihkan? Apakah selamanya mereka luntang lantung tak memiliki harapan.

"Kakak terlihat sedih. Kakak capek jagain Bila terus?"

Raga menoleh dan mengelus pucuk kepala Nabila yang tertutup kerudung putih. "Bagaimana kamu berbicara seperti itu, Dek? Sampai kapanpun, bahkan sampai Kakak tua, tidak ada kata lelah untuk menjagamu. Kakak sangat menyayangimu, kamu keluarga Kakak satu-satunya bagaimana pun sulitnya keadaan kita, Kakak tetap menjagamu. Ingat itu, Dek."

Netra kecil Nabila membalas tatapan sang kakak dengan sorot tak terbaca. Bibir mungilnya terus mengulas senyum. Namun tidak berbicara lagi.

Senja mulai menyapa, Raga mengajak Nabila untuk melanjutkan langkah menuju tempat tinggal mereka. Bawah jembatan.

Malam hari, benar air bendungan sudah surut, tetapi malam panjang kembali dilalui dengan kecemasan. Sempat beberapa kali Nabila mengeluhkan perutnya sakit, Raga sudah meminumkan obat sisa dari klinik kemarin, satu jam sakit perut mereda, tapi selanjutnya kambuh lagi. Terhitung sampai empat kali Nabila meringis menahan sakit.

Raga sudah tidak memiliki uang, maka dari itu tidak memiliki nyali untuk datang kembali ke klinik. Takut ditagih untuk mencicil biaya pengobatan.

Sepanjang malam Raga dikalungi kecemasan. Malam terasa sangat panjang ketika dia sedang mengharapkan pagi. Pasar kecil harapan satu-satunya dia mendapat rezeki, bahkan sempat terbesit untuk mencari sosok hati bernurani. Iya, Raga berdoa supaya bisa dipertemukan kembali dengan ibu Lestari. Dia akan memberanikan diri untuk meminjam sejumlah uang.

Keesokan harinya.

Raga menggendong tubuh Nabila yang lemas dan pucat. "Demammu belum juga turun, Dek," gumamnya sambil mengusap wajah gusar.

Wajah Nabila sangat pucat, bibir mungilnya tampak kering dan kebiruan. Telapak tangan yang dingin masih menggenggam plastik berisi kue kemarin.

Raga melajukan langkah dengan tergesa-gesa menuju pasar kecil, dia sangat berharap bertemu dengan ibu Lestari.

"Kakak! Kakak ...!"

Ya Allah, tubuh Nabila mulai kejang-kejang. Raga beralih membopong tubuh adiknya.

"Dek, kamu kuat. Kamu kuat. Jangan bikin Kakak bingung." Raga mendekap Nabila dengan perasaan tak karuan. Sandal Nabila tercecer tapi Raga tidak peduli lagi. Bahkan sandalnya sendiri dilepas agar tidak menyulitkan langkah.

"Akh'!" Dia berteriak dan sempat berhenti untuk mencabut beling yang menusuk telapak kakinya. Darah yang keluar tak dihiraukan, tetap berjalan menuju pasar kecil.

"Sabar ya, Dek, sabar." Hanya itu yang bisa Raga kumandangkan. Keringat dingin bercucuran, sedangkan air mata mulai menggenang.

Setelah kejang beberapa kali, Nabila mulai kehilangan kesadaran. Kedua matanya hampir menutup.

"Jangan bikin Kakak takut, Dek, jangan bikin Kakak takut."

"Bi-la nggak pa-pa, Kak." Salah! Ternyata kesadaran Nabila belum hilang sepenuhnya.

"Ka-kak, be-li ... na-si ... bu-ng-kus, ya."

"Nasi bungkus? Kamu mau nasi bungkus? Iya, Kakak akan belikan. Hari ini juga Kakak akan belikan. Pakek daging? Kesukaanmu pakek daging 'kan? Kakak akan belikan." Raga menghapus air matanya yang mulai berjatuhan. Sebak sekali rasanya.

Pikirannya sangat kacau, apakah harus membawa Nabila langsung ke klinik atau tetap ke pasar kecil untuk mencari bu Lestari?

"Bagaimana ini, Tuhan?" Napas Raga tersengal-sengal hampir putus, tapi langkahnya dipacu lebih cepat.

Dia telah sampai di sudut pasar kecil, nanar melihat dekat tong sampah yang biasa Nabila tempati. Sanggupkah dia meninggalkan adiknya di sana dengan keadaan tidak baik-baik saja.

Raga mencebik. Menangis. Terpaksa sekali dia mendudukkan Nabila di sana dan dia melesat masuk ke dalam pasar. Dia sangat berharap menemukan orang baik hati itu.

Hampir satu jam Raga berkeliling, namun dia harus kecewa karena keadaan tidak memihaknya. Dia tidak menemukan ibu Lestari.

Dia teringat dengan Nabila, dia berlari menuju warung makan untuk membeli nasi bungkus seperti kemarin; berlauk daging. Uang tiga puluh lima ribu hanya tersisa lima ribu setelah menerima sebungkus nasi.

Raga berlari kencang tanpa memikirkan kaki yang terluka, tanpa memikirkan tulang-tulang yang serasa mau patah, tanpa memikirkan napas yang mungkin sudah diujung. Nabila, Nabila dan hanya Nabila yang ada dipikirannya.

Dia harus segera kembali karena mungkin saja adiknya akan membaik setelah memakan nasi bungkus. Mengingat satu hari kemarin perut mereka hanya ternafkahi aneka jajan lebaran pemberian Amaknya Amir dan Amaknya Ali bukan bulir-bulir nasi.

"Bila ... liat Kakak bawa apa?" Tubuh Raga terpaku, Nabila tampak lemas dan tidak bergerak.

"Dek ...?" Dia mendekati Nabila.

"Bi-la ca-pek, Ka-k, ma-u ti-dur."

Nabila masih bersuara meski sangat lirih.

"A-m-a-k."

Raga mendengar adiknya memanggil Amak meski dengan terbata.

Raga bertambah khawatir, dia menggendong Nabila dan bertekad membawa adiknya ke klinik, tidak peduli lagi dengan tagihan yang belum dibayar. Dia harus melakukan apapun untuk adiknya. Akan mengusahakan apapun untuk Nabila.

Di bawah air hujan, Raga terus berlari sekuat tenaga agar cepat sampai di klinik.

"Bu ... Bu ... tolong adik saya! Tolong!"

"Kamu?!"

"Tolong adik saya, Bu! Tolong. Kasihani dia, Bu, tolong obati dia sekarang juga. Demamnya sangat tinggi, saya takut terjadi sesuatu padanya!" Raga berteriak dengan suara lantang. Tidak peduli jika dia membuat kegaduhan.

.

.

.

Ayo dong komenannya supaya Akak Mei lebih semangat ngulek bawang. Kita nangis bombay berjamaah.

Terpopuler

Comments

Lalisa

Lalisa

kebanyakan bawangnya akak😭😭😭😭

2024-09-19

0

Lalisa

Lalisa

ya Allah Nabila yg kuat nak 😭😭😭😭

2024-09-19

0

Sumarni Sukesman

Sumarni Sukesman

bawang

2023-05-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!