Bahagia yang Sederhana

Mengikuti arahan pak satpam, Raga pergi ke apotik untuk membeli sirup penurun panas. Di sana harganya lebih murah lima ratus rupiah dari yang dikatakan tadi. Setelah itu Raga mencari warung nasi.

"Bu, beli!"

Bukan warung kemarin yang sempat disinggahi, kali ini Raga menghampiri warung yang sedikit jauh dari lokasi pasar.

"Beli apa?" Gadis yang diperkirakan seumuran dengannya tampak keluar dan menanyainya. 

Raga merasa enggan, tetapi menuruti malu, perut adiknya akan kelaparan. "Beli nasi lima ribu, boleh?" Bertanya lirih dan hati-hati, atau … lebih tepatnya malu. 

"Sebentar, ya." Gadis belia itu masuk ke dalam. "Bi, ada yang beli nasi lima ribu."

Pertanyaan ulang itu masih bisa didengar oleh Raga. Dia meringis. Umumnya penjual nasi ibu-ibu sudah berumur, tapi gadis itu masih sepantaran dengannya. Baru kali ini seorang Raga mengenal malu.

Tak berapa lama gadis belia tadi muncul kembali. "Ini, sudah dibungkusin langsung."

"Gak pa-pa. Terima kasih." Raga memberikan uang dan segera pergi.

"Kak, yang ini masakannya lebih enak. Ada ikan lelenya," ucap Nabila sambil memakan nasi dan lauk ikan lele goreng. Walau ukurannya kecil, setidaknya bisa merasakan gurihnya daging lele dibalur bumbu penyedap. 

Namun Raga hanya menanggapi dengan senyuman. Dia mendapat bagian kepala dan duri-durinya saja.

"Dek, abis ini Kakak mau tidur bentar. Kamu jangan kemana-mana, ya," pesan Raga. Badannya lelah dan rasa kantuk seolah tak bisa ditahan. Maklum, sebab jika malam hari Raga justru keseringan begadang menjagai Nabila. 

Tiba sore hari, Nabila mengguncang tubuh kakaknya, membangunkan raga dan merengek ingin jalan-jalan ke sekitar rel kereta, tempat tinggalnya dulu. Bocah kecil itu merindukan suasana di sana.

Dari tempat mereka berdiri sekarang, keduanya sama-sama mengamati gubuk yang pernah mereka tinggali bersama almarhum kedua orang tua mereka.

"Bila pengen bareng sama Amak dan Bapak, Kak. Bila kangen, pengen digendong."

Mendengar kesah sang adik membuat hati Raga pilu. "Kakak bisa gendong kamu terus. Suatu saat kita bareng Amak dan Bapak lagi, tapi bukan sekarang, Dek." 

"Enggak, Kak, tadi malam Bila bermimpi Amak datang ke Bila, katanya, sebentar lagi Bila mau dijemput." Nabila bercerita sekedar apa yang diimpikan tadi malam.

"Ssstttt! Itu cuma mimpi, Dek. Jangan diingat-ingat." Raga menggandeng tangan Nabila untuk pergi. Mereka melangkah pelan dan menikmati senja sore di bantaran rel kereta.

Dulu, sepulang sekolah, Raga membantu Bapak memilah barang rongsok yang laku dijual atau harus dibakar. Setelahnya, ia bermain bola di lahan kosong dengan teman-temannya. Masa indah, namun begitu singkat. Kini, dalam sekejap saja waktu telah mengubah nasibnya. 

"Ga! Oooii … bagian gelandang kosong, sini masuk!" Terdengar teriakan dari salah satu anak-anak yang berkumpul.

"Itu Kak Amir, Kak," ujar Nabila. Raga mengangguk.

"Enggak, Mir, aku liat aja."

"Gak seru! Ayo, masuk!" Anak bernama Amir itu menghampiri Raga. Amir dan yang lain memang teman Raga waktu tinggal di dekat rel kereta. Mereka sering main bersama.

"Kakak ikut Kak Amir, aku tunggu di sini," kata Nabila lagi.

Raga tersenyum sebentar dan mengikuti Amir menuju lahan kosong. Teman yang lain cukup terbuka menerima Raga bergabung bersama mereka.

Hanya permainan bola sederhana, tetapi mampu membuat Raga tertawa lepas seolah tanpa beban. Sejenak melupakan kesusahan yang diemban. 

Matahari condong ke arah barat, sebentar lagi nyaris tenggelam. Raga dan yang lain menghentikan permainan dan rehat sejenak.

"Ga, kamu sekarang tinggal dimana? Jarang liat kamu," tanya Amir.

"Aku … aku tinggal lumayan jauh dari sini, deket pasar kecil."

"Lumayan jauh gimana, itu jauh banget, Ga. Pantes jarang liat lagi," sahut Bagus.

Ada beberapa anak lain yang menatap Raga dengan pandangan iba bercampur enggan. Pasalnya bocah beranjak dewasa itu sangat dekil dan berantakan. Bagian kaki banyak garit-garit luka dan tak ada pelindung sama kali. 

"Kakak, Bila haus." Nabila menyusul Raga dan mengeluh haus.

"Ya udah, ayo, kita pulang," ajak Raga. "Aku pamit dulu, semuanya. Lain kali boleh aku ke sini lagi?"

"Bolehlah, Ga. Kenapa tanya. Kita senang, kalau ada kamu, tim jadi kita lengkap." 

"Terima kasih semuanya." 

Raga menggendong Nabila di punggung dan melangkah pergi. Kebahagiaan yang sebagian orang dianggap sederhana, tetapi luar biasa bagi Raga. Ia tak menyangka, teman-teman yang dulu masih merespon baik kehadirannya.

"Kak, kok belum nemu botol bekas minum, ya. Bila haus banget."

Ucapan Nabila membuat Raga kembali tertohok dengan beban yang sempat dilupakan. Hanya seteguk minuman tanpa warna tanpa rasa pun mereka kesulitan. 

"Di dekat bangku-bangku sana biasanya ada. Kakak akan cari."

Benar yang dikatakan Raga, dekat bangku kosong yang biasanya digunakan untuk singgah pemotor ada barang yang mereka butuhkan. Botol mineral 500 ml masih tersisa setengahnya. Raga buru-buru menurunkan Nabila dan mengambil botol itu untuk dilap dulu menggunakan ujung baju yang dekil. 

"Gak pa-pa, ya, Dek, baca bismillah dulu," katanya.

Nabila mengangguk, membaca basmalah dan meneguk sampai habis karena dia sangat kehausan.

Tak tinggal diam, Raga pun mencari air minum sisa untuk dirinya sendiri.

"Ga! Itu bekas orang, kenapa diminum? Gak sehat itu."

Suara Amir membuat Raga berbalik. Andai Amir tahu kesulitannya, apakah bocah laki-laki seumuran dengannya itu akan tetap berbicara demikian? Sehat adalah nomor sekian yang dipikirkan, yang utama bagaimana cara mereka bertahan hidup. 

"Tempat tinggalku masih jauh. Bila haus banget, aku juga gak punya uang." 

"Nih, aku tadi pulang ambil minum di rumah." Amir memberikan air putih yang ditaruh di plastik bening.

"Makasih, Mir. Ngerepotin kamu."

"Enggak." Amir tak lekas berbalik, namun melihati Raga dengan pandangan entahlah. "Sering-sering main kesini, Ga," ucapnya.

"Kalau ada waktu aku akan sering main kesini."

"Tapi lain kali juga ajak aku ke tempat tinggalmu yang baru," imbuh Amir.

Raga menelan ludah pahit. Tempat tinggal yang baru hanyalah di bawah jembatan, lebih spesifiknya sebuah bendungan air. 

Raga mengangguk samar dan menggendong Nabila untuk dibawa pulang. Berjalan lumayan jauh, mereka tiba di dekat bendungan sudah memasuki waktu isya.

Menemui gelap sudah pasti, tetapi sinar rembulan menemani perjalanan mereka. "Kak, biar Bila jalan kaki saja. Kakak pasti capek."

Benar, Raga sudah sangat letih, tetapi tak mungkin juga membiarkan adiknya berjalan kaki. Takut telapak kaki mungil Nabila tersangkut duri tanaman putri malu ataupun menginjak beling. Jalanan yang mereka lalui bukanlah beraspal maupun berpaving, bahkan dipenuhi rumput ilalang. 

Sebentar lagi mereka sudah sampai, tetapi pemandangan di depan sana membuat Raga menatap nanar.

"Kak, airnya meninggi."

Raga terdiam dan membatu. Satu-satunya barang berharga mereka mungkinkah sudah tersapu air bendungan? 

Terpopuler

Comments

ſᑎ🎐ᵇᵃˢᵉ

ſᑎ🎐ᵇᵃˢᵉ

dari bab 1 kok nyesek terus yah kak🥺🥺😭😭😭

2023-05-16

0

Kar Genjreng

Kar Genjreng

tidak apa susah yang penting masih berdua hingga tua tolong jangan pisah... author Mei...mohon semoga Tuhan bermurah hati...ini sakit dada Qu gila. ....😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭

2022-12-10

0

@alfaton🤴

@alfaton🤴

jangan pisahkan mereka sampai mereka dewasa dan meraih bahagia dan sukses bersama yaa Thor hingga mengarungi bahtera rumah tangga masing masing dengan kedermawanan nya.,...💪💪💪💪

2022-12-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!