Sudah Hilangkah Empati Dunia?

Ya Allah, sedih dan pilu sekali Raga menerima perlakuan mereka; orang-orang maha benar. Bahkan di tempat ibadah, kasta tetap dibedakan. Tak ingin di usir lagi, sadar akan kekurangan diri, Raga memilih duduk pada saf terakhir, itupun paling di pojok.

Duduk tepekur, tiba-tiba teringat dengan Nabila. Ya Allah, jangan sampai adiknya mengalami hal yang sama. Cukup dia diperlakukan semenyakitkan demikian, jangan Nabila. Dia hanya anak kecil yang belum tahu perbedaan kasta.

Raga mencoba tenang dan fokus untuk beribadah. Tetapi desas desus pembicaraan orang di sampingnya membuat hatinya kembali teriris.

"Liat, pakaiannya lusuh banget. Sarungnya juga sobek-sobek."

"Iya, begitu nggak malu dateng ke Masjid, berbaur banyak orang. Baunya juga apek. Ih."

'Ya Allah, kuatkan aku.' Hati Raga bergetar, tersayat.

"Kamu geser, aku nggak mau deket-deket sama orang itu, takut ketularan bau apek."

Astagfirullah ....

Raga menunduk dalam. "Ya Allah, salahkah hamba yang ingin beribadah dengan datang ke rumah-Mu? Apakah sepertiku tidak layak datang ke Masjid hanya karena tidak memiliki pakaian baru?" 

Dia teringat kembali dengan Nabila. Bersyukur dia berhasil membelikan Nabila pakaian baru, hingga adiknya tidak mungkin mengalami hal yang sama.

Takbiran sudah berganti dengan ultimatum singkat. Pada saat itu ada seorang laki-laki yang baru datang dan mengambil duduk di samping Raga.

Raga hanya bisa berdoa dalam hati. "Ya Allah, jangan sampai aku diusir lagi. Sudah tidak ada tempat lain untuk melakukan sholat." Dia was-was.

"Maaf, ya, Dek, tidak apa-apa 'kan bapak duduk di sini?"

Raga sedikit tercengang mendapat pertanyaan demikian. "Oh, tidak pa-pa, Pak. Tidak pa-pa." Sampai tergagap Raga menjawabnya.

"Tempat duduk mu masih longgar 'kan?"

"Masih, Pak."

Bapak itu tersenyum teduh, membuat Raga terpana. Dari sekian manusia, masih ada satu manusia yang mau memuliakan dirinya.

Bagian terakhir adalah infak. Kaleng infak sudah sampai di tempat bapak yang ada di sampingnya, tak sengaja Raga melihat bapak itu memasukkan sepuluh lembar uang seratus ribuan. Raga melotot tak percaya. Benarkah uang sebanyak itu untuk infak semuanya. Dermawan sekali orang itu.

Dia berganti melihat dua ribu rupiah yang digenggam. Nilai yang sama sekali tidak sebanding. Lumayan mengerut mental hatinya. Akan tetapi dia percaya, bahwa Tuhan dapat melihat kemampuan dan keikhlasannya.

"Infak itu seikhlas dan semampunya, Dek. Jangan minder melihat orang lain. Percaya, Allah maha tahu segalanya."

Raga terkejut, melihat bapak itu tersenyum, dia pun ikut tersenyum. "Em." Dia mengangguk. Kini, dia tak ragu lagi untuk memasukkan uang dua ribu rupiah ke dalam kaleng infak. Niatnya tulus lillahitaala. 

Terakhir pada saat mereka sudah selesai.

"Bapak Komisaris Jenderal Polisi Bagas Permana, bagaimana Bapak mendapat saf paling belakang? Harusnya Anda di depan tadi," ucap seorang kyai sedang menjabat tangan bapak yang duduk di samping Raga.

"Saya datang terakhir, Pak Kyai, sudah sewajarnya menempati saf terakhir."

Raga menatap Pak Bagas dengan hati mengerut. Ternyata dia duduk di samping abdi negara yang sangat disegani. Jika pun dia tahu itu lebih awal, mungkin hatinya lebih minder lagi.

Di saat tiba gilirannya untuk menjabat tangan Pak Bagas. Raga memilih mengatupkan tangan didepan dada. Namun, tanpa disangka pak Bagas justru menegurnya. "Kita sesama muhrim, kenapa kamu tidak mau menjabat tanganku, Nak?"

Raga menunduk. "Maaf, Pak, saya takut mengotori tangan bapak." Suaranya tercekat dan lirih.

"Kenapa seperti itu?"

"Saya baru tahu kalau Anda seorang polisi."

Tak di sangka lagi, Pak Bagas justru tertawa. "Saya seorang polisi di tempat saya bekerja, tapi di sini saya hanya hamba Allah yang memiliki kesempatan sama seperti orang-orang biasa."

Raga lebih terkejut lagi ketika Pak Bapak memeluknya dari samping. "Kita sama, derajat kita sama. Di sini, hanya amal yang membedakan kita." Sambil menepuk pelan bahu Raga.

Andai semua orang punya pemikiran seperti itu. Maka di Masjid takkan berlaku tentang perbedaan kasta.

Raga orang terakhir yang keluar dari serambi laki-laki, dia langsung menunggu di depan bagian para kaum wanita. Matanya awas melihat anak kecil seumuran adiknya, tetapi tubuh Nabila belum terlihat dari jangkauan matanya.

Tiba-tiba ada yang menarik kecil sarungnya, dan itu Nabila.

"Oh, Dek, Kakak cari-cari kamu. Kamu sudah keluar?"

"Sudah dari tadi, Kak. Kata Kakak, kalau kita datangnya di awal dapat saf pertama, tapi Bila disuruh pindah terus, makanya duduk paling akhir."

Nyes. Hati Raga mencelos perih. Tuhan ... dia pikir hanya dia yang mendapat perlakuan demikian, ternyata Nabila pun sama. Di sisihkan.

"Mereka bicara apa?" tanya Raga. Apakah orang-orang juga menghina dan mengejek adiknya, seperti orang-orang maha benar tadi memperlakukannya? Oh, dia tidak sanggup membayangkannya.

"Mereka tanya, Amak kamu mana? Bila jawab, Amak nggak ada. Terus mereka suruh Bila pindah di pojok belakang."

Raga menghela napas panjang. "Sholat di bagian Saf terakhir nggak pa-pa, Dek, yang utama adalah niatnya. Sabar, ya, suatu saat kita pasti bisa menempati saf pertama." sambil dia mencari sandal Nabila yang ternyata sudah terlempar sangat jauh. Mungkin karena sandal Nabila jelek, mereka mengira sandal itu tidak dipakai dan ditendang-tendang sampai kejauhan sana. 

"Kamu tau, Dek, Kakak juga duduk di saf terakhir, tapi Alhamdulillahnya malah duduk didekat pak polisi." Raga bercerita.

"Wah, hebat. Cita-cita Kakak juga ingin jadi polisi 'kan?"

Raga mengulas senyum getir. Sekarang, dalam angan pun dia tak berani memiliki cita-cita sebagai polisi. Masih bertahan hidup dengan makanan sisa pun sudah patut disyukuri.

"Iya, doakan saja terjadi keajaiban dan Kakak bisa jadi polisi."

"Aamiin."

"Eh, Kak, Bila tadi juga duduk di samping Bu Dokter. Orangnya baik dan lembut, cuma Bu Dokter yang tidak memarahi Bila sama sekali." 

Raga menyipit. "Jadi, kamu tadi dimarahi? Dimarahi siapa? Bagaimana mereka memarahi mu?!" Dadanya bergemuruh. Sungguh, jika dia yang dihina dan dimarahi, tidak masalah. Tetapi Nabila? Rasanya dia tidak terima. Salah apa anak sekecil itu harus diperlakukan kasar. "Kamu bohong sama Kakak?" cecarnya.

Nabila menunduk dan mencebik. "Maaf, Kak."

Raga langsung memeluk Nabila dengan satu tetes air mata yang lolos begitu saja. Sudah tak terbilang lagi kesedihan yang dirasakan.

Di sini, Raga mulai benci dengan orang-orang maha benar. Sudah hilang kah empati dunia terhadap anak malang seperti mereka.

Terpopuler

Comments

Nur Kamelia

Nur Kamelia

ya ALLAH kk mei sampai nyesek dada ku yg baca😭😭😭

2022-12-24

0

Kar Genjreng

Kar Genjreng

aduhhhh Mei bener bener bikin pembacanya ...sedihhh pakai banget....bisakah Polisi' dan Dr itu suami istri...dan menolong mereka berdua...jadikan putra dan putrinya...ya Thor ..😭😭😭👍👍👍

2022-12-24

0

Sumi Sumi

Sumi Sumi

dari awal sampai sini masih az bantak bawang nya 😭😭😭

2022-12-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!