Puncak Segala Rasa Sakit

Tes ... tes ....

Bulir-bulir itu bukan rintik gerimis dari langit, melainkan rintik hujan dari sudut netra Raga. Tak terhitung beberapa kali terjatuh, namun genangan di sudut mata tak jua surut. Sebaliknya, semakin bertambah dan melimpah.

"Dek, yang kuat," bisik Raga dengan bibir bergetar, pun tubuhnya gemetar hebat.

"K-a-k ...."

Pluk ....

Tangan Nabila melemah dan jatuh di dada bidang Raga. Jantung Raga seolah berhenti berdetak. Diam terpaku, begitu tak percayanya. Tidak! Itu tidak mungkin!

"Bila ... Bila ... jangan bikin Kakak takut, Dek! Bangun!" Raga mengguncang tubuh adiknya yang lemas dan dingin. Sebagian baju Nabila juga basah karena terkena percikan air hujan. Angin berhembus kencang, seolah menembus tulang belulang. Namun kerisauan hati Raga terletak pada wajah pucat adiknya.

Raga berlari masuk lagi ke dalam klinik. Mencari kamar-kamar rawat kosong untuk membaringkan adiknya di sana, agar tubuh Nabila tidak terendus angin lagi.

Perawat mengikuti langkahnya dan mencegah. "Hei kamu mau kemana? Sudah aku katakan, tunggu pemilik klinik datang!" hardiknya dengan wajah garang.

"Sampai kapan saya harus menunggu?! Liat adik saya, dia sudah sangat pucat! Saya mohon obati dia." Raga sampai bersujud di bawah lutut perawat itu sambil mendekap tubuh adiknya yang sudah tidak ada pergerakan lagi.

Perawat itu mengamati wajah Nabila dengan tatapan aneh. "Baik, letakan adikmu di sana." Menunjuk brankar dan dia segera keluar memanggil dokter umum. Raut wajahnya berubah, seolah sedang memikirkan sesuatu.

"Dek, Kakak sayang kamu. Bangun, ya, nanti kita makan nasi bungkus ini sama-sama." Air mata Raga mengalir lebih deras. Bukan dia tak tahu kalau tubuh adiknya semakin dingin. Dia menarik selimut sampai sebatas leher Nabila. Kedua tangan mengusap wajah dengan kasar. Kesal ketika air mata terus saja berjatuhan. Jantungnya tak henti berpacu, demi kemungkinan terburuk yang sebenarnya sudah terlintas. Namun dia terus menyangkal.

Perawat datang bersama dua pekerja medis lainnya dan mengusir Raga untuk menunggu di luar ruangan.

Raga duduk di kursi tunggu. Tertunduk lesu dengan bahu bergetar hebat. Dia menangis tanpa suara, dan itu terasa sangat menyakitkan. "Tidak, Tuhan! Engkau tidak mungkin memisahkan kami."

Ceklek! Pintu terbuka dan menampilkan seorang berseragam putih berdiri di depan Raga.

"Maaf, kamu terlambat membawa adikmu, dia sudah pergi."

Deg ... deg ....

Raga mendongak dengan sekujur tubuh bergetar, namun terasa lemas tak bertulang. "Terlambat?! Bagaimana Anda mengatakan saya terlambat membawa adik saya ke sini? Satu jam saya menunggu di depan, tapi dari kalian tidak ada yang peduli. Lalu Anda mengatakan saya terlambat?!"

"Adik kamu tidak bisa diselamatkan."

"Bukan tidak bisa diselamatkan! Tapi kalian tidak mau menyelamatkannya!" Suara Raga tenggelam dalam tangisan.

Perih sekali menerima kenyataan pahit bahwa Tuhan benar-benar memisahkannya dengan satu-satunya penyemangat hidup.

Tertatih-tatih Raga mendekati tubuh adiknya yang sudah tak bernyawa. Sudah tak terbilang lagi kesedihan dan air mata, hingga lidah pun terasa kelu untuk berucap. Dia terdiam, namun dalam diamnya menanggung sebak amat luar biasa.

Satu jam dia menangis di samping jasad Nabila, sadar jika adiknya harus dilakukan proses pemandian dan pemakaman, dia keluar mencari perawat. Namun, dia terkejut setelah tak sengaja mendengar percakapan dua perawat.

"Sebenarnya waktu datang tadi masih sadar, kemungkinan masih bisa terselamatkan tapi dokter Silvi tidak mau menangani."

"Ya emang sudah takdirnya saja meninggal hari ini. Kita tahu Dokter Silvi itu tidak mau keluar keringat tanpa bayaran."

Kedua telapak tangan Raga mengepal erat. Ya Tuhan, kenapa ada manusia-manusia macam mereka, yang sama sekali tidak memiliki sisi kemanusiaan?

Hati dan pikirannya sudah sangat lelah untuk berontak, akhirnya dia melangkah menjauh.

"Kalau mau semuanya dilakukan disini, kamu harus bayar tagihan tiga juta rupiah. Itu harus dibayar sekarang juga."

"Apa tidak ada keringanan? Tolong, Bu. Tolong urus semuanya dan saya akan menemui pak RT untuk mengabarkan berita duka sekalian menyiapkan pemakaman."

"Nggak bisa! Kalau tidak di urus, bawa adikmu pergi dan minta bantuan warga tempat tinggalmu untuk memandikan dan mengkafani adikmu."

Nyes. Hati Raga terkoyak tanpa ampun. Sampai keadaannya demikian, namun orang-orang ahli medis tak memiliki belas kasih sama sekali.

"Tidakkah kalian memiliki hati sedikit saja untuk nasib kami?! Tidak bisakah kalian memberi bantuan memandikan dan mengkafani adikku? Apa dimata kalian hanya uang-uang dan uang? Tidak ada sisi empati terhadap anak-anak malang seperti kami?"

Mungkin hati kalian sudah menjadi batu hingga sedikitpun tidak punya rasa kasihan. Semoga anak-anak kalian, sodara-sodara kalian tidak memiliki nasib sepertiku. Karena ini sangat menyakitkan!" Raga berteriak lantang di depan meja pendaftaran, hingga beberapa orang melihat ke arahnya.

Dia berlari lagi ke ruang Nabila. "Kita pulang, ya, Dek, Kakak akan meminta bantuan warga untuk mengurus pemandian dan pemakamanmu."

Raga kembali membopong tubuh Nabila, namun kali ini tubuh yang sudah dingin tak bernyawa. Melewati ruang demi ruang, bahkan perawat dan dokter hanya termangu melihat kepergian anak-anak malang itu.

Nasi bungkus dan jajanan sisa kemarin tetap tak luput dibawa pergi. Raga kembali menangis mengingat Nabila belum sempat memakan makanan yang dipinta terakhir kalinya.

"Kenapa kamu tidak sabaran pergi, Dek? Padahal kamu belum memakan nasi bungkus ini." Rasa sebak tak bisa ditahan, Raga duduk sebentar di dekat taman klinik yang ada di halaman depan.

Miris sekali, kemana dia harus meminta bantuan untuk mengurus pemakaman adiknya.

Sudah tak tertuliskan lagi bagaimana perasaan dan rasa sakitnya menjadi Raga. Remaja malang yang harus kehilangan satu-satunya sanak saudara secara tragis.

Mobil MPV putih memasuki halaman klinik, seorang wanita paruh baya menyuruh suaminya untuk menghentikan mobil. "Pa, berhenti, Pa."

Wanita itu menyipitkan mata demi memperjelas penglihatannya. "Kamu?"

Raga mendongak dengan tatapan memerah. Tak ada lagi yang diharapkan dari orang-orang maha benar seperti mereka. Raga tak meminta lagi kebaikan pada siapapun. Kaki lemasnya di paksa berdiri dan menjauh dari ibu Lestari tanpa sepatah katapun.

"Nak, tunggu!"

"Bu, rapat sudah mau dimulai. Diharapkan ibu segera masuk." Seorang perawat mencegah langkah ibu Lestari yang akan mengejar Raga.

Di desa sebelumnya.

Raga tampak menyedihkan. Badannya basah kuyup dengan mendekap jasad adiknya yang juga dalam keadaan sama.

Amak Amir, Amak Ali, dan semua menyambut kedatangan Raga dengan tangis pilu. Amir, Hendri, Ali, Anton, semua teman-teman mendekap Raga dan mengucap belasungkawa atas kepergian Nabila.

Tak disangka, secara suka rela mereka melakukan proses pengurusan jenazah. Semua dana yang digunakan meminta bantuan para warga dan kas desa, meski demikian ada juga yang menggerutu dan tidak ikhlas.

.

.

.

Ya Allah, saya ikut nangis tak bersuara, dan itu rasanya menyakitkan. Apalagi sebagai Raga.

Saya mohon maaf, bab ini semata hanya karangan saya jadi jangan kaitkan dengan dunia nyata. Saya takut menyinggung. Mudah-mudahan di dunia nyata tidak ada kejadian seperti ini.

Jangan lupa tinggalkan komen kalian. Terima kasih.

Terpopuler

Comments

Lalisa

Lalisa

ragaa 😭😭

2024-09-19

0

ms. Ella

ms. Ella

ya ampun aku Ampe mewek baca part ini 🤧😭😭😭

2023-08-26

0

Sumarni Sukesman

Sumarni Sukesman

ya Author

2023-05-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!