Datangnya Bulan Penuh Berkah

Dua bulan sudah hidup Raga dan Nabila luntang lantung tak memiliki tujuan. Setiap hari hanya melakukan aktivitas yang sama, dan dalam keadaan yang sama. 

Raga dan Nabila menjadi penghuni bawah jembatan setelah air bendungan kembali surut. Tidur di pasar membuat mereka tak nyaman, karena terkadang ada preman yang sering berkumpul dengan suara berisik membuat Nabila sering ketakutan.

"Udah malam, kamu belum ngantuk, Dek?" Raga melihati Nabila yang terlihat sedang memikirkan sesuatu. Tubuh adiknya hanya berguling-guling saja dan terkadang Nabila memainkan senter kecil yang digantung tepat di atas kepala adik kecilnya itu. 

Senter kecil seibu jari yang sengaja dibeli Raga untuk penerangan mereka ketika langit menggelap. 

"Bila dengerin suara orang ngaji, nggak lama lagi lebaran, ya, Kak?" Nabila berbalik memberi pertanyaan. 

Mereka memang tinggal jauh dari pemukiman warga, tetapi suara dari toa masjid masih bisa didengar dan saling bersahutan. 

Satu hari lalu memasuki bulan suci ramadhan. Bulan yang selalu dinantikan oleh setiap umat islam, bulan penuh berkah dan barokah. Untuk itu, terhitung sudah dua malam ini para muslim berlomba-lomba mencari pahala dengan membaca al-quran ketika malam hari. 

Tahun lalu bulan penuh rahmat itu menjadi penyemangat dan kebahagiaan tersendiri bagi Raga dan Nabila, ketika mereka harus berebut untuk mendapatkan tempat di masjid dengan sarung dan kerudung usang. Bapak dan Amak selalu menyediakan makanan untuk sahur dan berbuka, meski dengan menu sederhana. Kenangan yang hanya bisa diingat, tanpa bisa dirasakan ulang. 

"Masih ada 28 hari lagi menuju hari raya, Dek."

"Hari raya biasanya Bapak beli nasi bungkus ada lauk rendang," gumam anak kecil itu yang masih bisa terdengar oleh Raga.

Jiwanya meronta ingin sekali menggantikan peran bapak dengan membelikan yang diinginkan adiknya. Namun sayang, sampai detik ini dia belum berhasil mengumpulkan uang sebesar 25 ribu untuk seharga nasi bungkus berlauk daging. Uang yang terkumpul selalu terpakai untuk keperluan lain, seperti membawa adiknya ke Puskesmas karena kesehatan Nabila sering menurun.

Terakhir, satu minggu lalu Raga mampu membelikan Nabila nasi bungkus berlauk ati ampela dengan harga 12 ribu rupiah. Ada sisa dari uang pendapatan dia belikan sabun, sikat gigi, pasta gigi, dan lotion anti nyamuk. 

"Doakan Kakak dalam 28 hari bisa mengumpulkan uang untuk beli nasi bungkus berlauk rendang. Selain itu, Kakak juga pengen belikan kamu kerudung baru biar kita bisa shalat idul adha di Masjid." 

"Bila selalu doakan Kakak agar dapat uang banyak." 

"Kalau Bila sudah berdoa, tinggal tunggu Allah mengabulkan," ujar Raga.

Malam kian larut, mata Nabila terpejam dengan sendirinya. Raga pun turut merebahkan diri di samping si adik, memejamkan mata dan berharap mendapat mimpi indah.

"Sahur! Sahur …! Sahur … sahur!" Raga terbangun saat rungunya lamat-lamat mendengar seruan dari Masjid membangunkan orang muslim untuk sahur.

Dia bangun dan duduk, mengucek mata lalu tiba-tiba tersenyum sendiri. "Sahur-sahur-sahur dulu, mumpung masih ada waktu." Lagu yang sering dia, Amir, dan teman lainnya nyanyikan untuk membangunkan orang-orang sahur masih tercetak jelas dalam ingatan meski sudah satu tahun berlalu. Ah, lagi-lagi hanya sebuah kenangan. 

Kini, Raga kembali ke masa sekarang. Dia mengambil botol air mineral dan satu bungkus roti untuk menu sahurnya. Sengaja tidak membangunkan Nabila, karena dia tidak ingin adiknya ikut puasa. Keadaan Nabila yang ringkih dan sering sakit, membuat Raga tak tega bila Nabila ikut menahan lapar. 

Mentari mulai muncul dari awan timur, Raga menggendong tubuh Nabila untuk diajak ke pasar kecil seperti biasanya.

"Kakak nggak bangunin Bila lagi," rajuk anak kecil itu. 

"Kata bu Bidan kemarin panasmu masih kambuh-kambuhan, nggak puasa dulu gak pa-pa." Sambil menyingkirkan ilalang lebat yang menghalangi langkahnya.

"Bila pengen puasa, Kak. Kata Amak, rajin puasa bisa jadi anak sholehah."

"Insya Allah, nanti malam Kakak bangunin, deh."

Hari masih berselimut kabut, tapi lalu lalang kendaraan sudah memadati jalan raya. Raga sudah berbelok ke jalan beraspal, tetapi perjalannya sampai ke pasar kecil masih cukup jauh. 

Satu kilo meter lebih sudah ditempuh dengan berjalan kaki, kini mereka sudah sampai di tempat biasa. Raga membekali Nabila dengan satu bungkus roti dan air mineral, menu sama seperti yang dia makan ketika sahur.

Memasuki area pasar, Raga tersenyum saat jasanya sudah diperlukan oleh ibu-ibu yang berbelanja lumayan banyak.

"Kenapa kamu berhenti sekolah, Nak?"

Sambil memanggul satu kantong belanjaan, Raga menoleh. Sekian banyak pelanggan, baru ini kali ada yang melayangkan pertanyaan demikian.

"Padahal pendidikan itu sangat penting, tapi banyak anak malas untuk sekolah," imbuh ibu tadi.

"Kalau saya berhenti karena terpaksa, Bu."

Kini ganti ibu itu menoleh pada Raga. Raut wajahnya terlihat penasaran.

"Ada sesuatu yang buat saya berhenti sekolah, tapi saya tidak bisa bercerita."

Ibu tadi mengangguk memaklumi. "Kamu berhenti di kelas berapa?"

"Di kelas 2 SMP."

Ibu itu meneliti penampilan Raga, menduga bahwa ekonomi lah yang menghambat pendidikan bocah beranjak dewasa itu.

"Kalau soal biaya, bukankah itu masih bisa diusahakan. Caranya bisa minta surat keterangan miskin."

"Bukan cuma itu, Bu, tapi ada hal lain."

Pembicaraan mereka terhenti saat Raga menaruh kantong belanjaan di dekat mobil sedan berwarna merah. Seorang pria datang dan langsung memasukan belanjaan ke dalam bagasi mobil.

"Kamu puasa?" Ibu tadi tak puas-puas memberi pertanyaan.

"Puasa, Bu."

"Berapa Ibu harus memberi upah?"

"Seikhlasnya saja."

Ibu itu mengerutkan dahi. Biasanya kuli panggul sering memasang tarif sendiri, bahkan ada yang seperti pemalak dengan meminta upah lebih. Dia juga melihat sikap Raga tulus, tanpa berpura-pura dengan mencari muka.

Ibu itu membuka dompet dan mengambil uang senilai dua puluh ribu rupiah.

"Ini kebanyakan, Bu, saya tidak punya kembalian."

"Semua buat kamu nggak usah ada kembalian."

"Kebanyakan, Bu, biasanya paling banyak upah saya 5 ribu, itu pun belanjaannya sangat banyak. Punya Ibu cuma satu kantong, biasanya 2 ribu saja."

"Nggak pa-pa, Ibu sengaja ngasih lebih buat kamu. Ayo, terima, anggap itu rezeki kamu."

"Ya Allah, ini banyak sekali, Bu. Terima kasih, semoga rezeki Ibu semakin lancar."

"Aamiin. Ohya, sebentar!" Dia membuka plastik dan memberi sesuatu pada Raga. Empat buah jeruk dan beberapa buah anggur.

"Masya Allah, luar biasa rezeki hari ini, sekali lagi terima kasih, terima kasih banyak, Bu," ucap Raga mengharu biru.

"Sama-sama."

"Nabila pasti seneng banget," gumam Raga dengan berjalan menjauh.

Wanita yang masih berdiri di samping mobilnya itu mendengar gumaman Raga. Siapa Nabila? 

Terpopuler

Comments

si nabila punya penyakit kyknya....

2023-03-12

0

Kar Genjreng

Kar Genjreng

Author tega banget si..kepingin tak jitak nih....ha ha ha 🤗🤣🤣🤣 bercanda jangan di kasih tau orang orang ya Thor 😂😂😂

2022-12-12

1

Sidieq Kamarga

Sidieq Kamarga

Authookoor aku berseru padamu, tisuku habis !!! 😭😭😭😭😭😭

2022-12-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!