Jangan Turunkan Hujan dari Langit, Cukup Air Mataku saja yang Berjatuhan

Angin berembus kencang. Awan tampak gelap tanpa sinar rembulan, dan terlihat sebentar lagi hujan akan turun. Raga mempercepat langkah agar dia dan Nabila tiba di bawah jembatan sebelum air langit membasahi bumi.

"Tangannya jangan dikeluarin, Dek, sembunyikan dalam sarung," perintah Raga.

Sebelum tadi menyusul Nabila ke klinik, sebenarnya Raga sudah membawa baju ganti; koko usang dan satu sarung yang ujungnya robek. Dia berpikir, adiknya masih boleh dirawat sampai esok hari, maka dia dan adiknya langsung ke Masjid tanpa pulang dulu ke jembatan. Namun angan itu lenyap, setelah perawat mengusirnya tanpa welas asih.

Di atas punggung kakaknya Nabila tak terlihat sama sekali, dari ujung kaki sampai kepala di tutupi dengan sarung milik kakaknya. Baju gamis dipegang erat dalam dekapan. Sesekali gadis kecil itu meringis, menahan dingin dan rasa sakit.

Begitu tiba di lokasi dekat jembatan, Raga terpaku dengan tatapan nanar. Sial, air bendungan sedang naik yang artinya dia dan adiknya malam ini tidak bisa tidur di bawah jembatan.

Miris sekali. Kekecewaan dan kesedihan yang sudah berulang kali membuat Raga tak lagi mengeluh. Bagaimana pun dia mengeluh, keadaan takkan berubah; hanya sia-sia. Pada akhirnya dia hanya bisa berpasrah.

Raga duduk di atas pohon tumbang, yang biasa dia duduki. Dia menurunkan adiknya dengan hati-hati. Sedikit lega karena tidur Nabila tidak terganggu. Dia beralih mendekap di depan tubuhnya dan masih menyelimuti sampai tubuh kurus adiknya tak tertembus dingin.

Semakin lama, angin semakin tak terkendali. Mungkinkah akan ada hujan badai lagi. Gigi-gigi bergemeletuk sangking menahan dingin. Dia hanya mengenakan kaos tipis dan celana selutut, kedua sarung dan baju koko sudah dipakaikan untuk adiknya.

Raga mendongak ke langit. "Jangan turunkan air dari langit, cukup air mataku saja yang berjatuhan. Kasihanilah, aku sudah sangat lelah. Kakiku nggak sanggup untuk berjalan lagi." Entah kepada siapa dia mengadu, andai Tuhan mendengar, semoga saja mengabulkan permintaanya. Pikirannya tertuju pada pasar kecil, tetapi dia sudah tak memiliki tenaga untuk membawa Nabila kesana.

Raganya benar-benar lelah, tetapi dipaksa kuat oleh keadaan. Dia tak pernah memiliki waktu tidur yang cukup. Tak bisa dideskripsikan lagi badan kurusnya yang seperti digebuki masa, terasa sakit di sekujur tubuh. Apalagi kedua kaki yang setiap hari harus menyusuri jalan sepanjang dua kilo meter lebih tanpa alas kaki. Telapak kaki sudah sangat perih karena banyaknya garit-garit luka.

Raga menghela napas lelah. Meski keadaan tidak mendukung, tetapi kedua matanya terpejam. Mungkin sangking lelahnya.

Tiga jam setelahnya. Hingga rintik hujan menyentuh kulitnya, Raga baru membuka mata. Beruntung Nabila tertidur pulas dalam dekapannya, jadi dia tidak begitu khawatir.

"Dek, bangun!" Langit masih gelap, tetapi Raga sudah membangunkan adiknya. "Dek, mau sholat ied di Masjid, tidak. Kalau datang terakhir, kita nggak kebagian saf." Berbisik pelan di dekat telinga Nabila.

"Iya, Kak, Bila mau ikut sholat." Suara serak Nabila menyahut.

"Kamu tunggu di sini sebentar, ya, Kakak mau bersih-bersih dulu." Raga menurunkan Nabila di samping tumpukan kayu. Dia menarik plastik panjang yang biasa digunakan sebagai penutup kayu, kini sebagian digunakan untuk menutupi tubuh adiknya agar rintik hujan tak menembus kulit Nabila.

Raga memaksa diri masuk ke bawah jembatan untuk mengambil sandal dan tas pakaian. Sandal bekas yang dia mulung dari tempat sampah, diperbaiki dan disimpan. Sengaja disimpan untuk dipakai hari ini.

Tidak bagus, warnanya berbeda bahkan ukurannya juga berbeda. Dia menemukan sandal itu bukan satu pasang. Tapi tak masalah! Dia membutuhkan alas kaki bukan untuk bergaya, melainkan untuk menjaga telapak kaki agar tetap bersih sampai di Masjid nanti. Kepunyaan Nabila pun tak jauh berbeda dengannya.

Setelah membersihkan diri dengan air bendungan, Raga memakai koko dan sarung yang digunakan untuk menutupi tubuh adiknya. "Maaf ya Kakak ambil." Dia mengganti dengan beberapa helai baju yang ditumpukan ke atas tubuh Nabila.

"Kamu nggak usah mandi, ya, Dek. Cuci muka, tangan dan kaki saja. Dingin banget, Kakak takut kamu demam lagi."

"Tapi Kak, sholat itu harus bersih. Bila mau mandi."

"Dingin banget, apa kamu kuat?"

"Kuat, Kak."

Raga membantu Nabila untuk membersihkan diri. Setelahnya Nabila tampak antusias memakai gamis dan kerudung baru.

"Kakak, Bila cantik, nggak? Pantes nggak pakai baju ini?"

"Kamu paling cantik, Dek. Pantes, pantes banget pakai baju ini. Di Masjid nanti, pasti adik kakak yang paling cantik." Raga sangat bahagia melihat kesenangan adiknya.

"Hore-hore ... Bila paling cantik. Duh." Nabila bersorak, tetapi setelahnya mengaduh.

"Kamu kenapa, Dek?"

"Nggak pa-pa, Kak."

"Kenapa? Ada yang sakit?" Raga mulai khawatir.

"Enggak, Kak, Bila nggak pa-pa. Bila mau berangkat sekarang."

"Kalau ada apa-apa, bilang ke Kakak."

"Iya."

Setelah mereka bersiap. Nabila kembali naik ke atas punggung Raga dan mereka menuju Masjid At-Taqwa. Masjid terbesar di daerah tempat tinggalnya dulu. Di jalan pun mereka mengikuti alunan takbiran yang terus berkumandang.

"Lebaran pertama kita tanpa Amak dan Bapak, ya, Dek," kata Raga.

"Iya. Kalau besok Bila susul Amak dan Bapak, lebaran selanjutnya Kakak lebaran sendiri."

Langkah Raga terhenti. "Jangan bicara sembarangan, Dek! Nggak bagus. Lebaran selanjutnya kita tetap bersama-sama."

"Maaf, Kak."

"Jangan bicara seperti itu lagi."

"Iya."

Sekitar dua kilo meter perjalanan yang ditempuh, Raga tersenyum melihat bangunan Masjid yang ada di depannya. Belum banyak yang datang karena mereka sampai di awal.

"Kita berangkat cepat, bakal dapat saf di depan, Dek."

"Iya, Kak. Tapi Bila duduk sama siapa, Kak?"

Raga meringis sedih mendengar pertanyaan adiknya. Dulu ada Amak yang menjaga Nabila. Tapi sekarang?

Kamu duduk bersama ibu-ibu yang lain. Yang penting diam saja dan cari tempat dipinggir biar enak kalau mau keluar." Raga memberi pesan.

"Em." Nabila mengangguk.

Di dalam Masjid.

Harusnya barisan saf tidak membedakan antara si tua dan si muda, antara si kaya dan di miskin, antara seseorang yang memakai pakaian bagus atau lusuh. Siapa yang datang di awal, dialah yang mendapat barisan saf di depan. Tetapi ....

"Hei, anak muda, mundur! Orang lebih tua harus di depan," ujar seseorang, membuat Raga terpaksa mundur di saf ke dua. 

Tak lama dari itu, seseorang di samping Raga yang ada di saf kedua kembali menegur. "Em, kamu nggak pakai parfum, ya? Sana, pindah ke belakang saja! Bikin nggak konsen pas sholat."

Bibirnya terkatup rapat dengan menahan kesedihan, Raga terpaksa pindah lagi ke saf belakang. 

"Eh, ngapain duduk di sini. Ini tempat sudah saya sisain buat anak saya. Sana pindah di belakang."

Terpopuler

Comments

firasat bila mo pergi ninggalin Raga,buat nyusul amak dan bapak...😭😭😭😭😭😭

2023-03-12

0

Andin Yafa

Andin Yafa

Tuhan ampunilah author yg bikon mreka susah truss,,hahaha

2023-01-10

0

Kar Genjreng

Kar Genjreng

Tuhan ampunilah orang orang berbuat kejam terhadap hamba Mu yang sengsara...hanya Engkau lah yang punya kuasa jamah lah orang orang... yang kurang beruntung hidupnya...semoga kedepannya author kasih kehidupan yang layak ada yang dermawan...dan tunjukkan kepada orang yang sudah menyakitinya... bukan untuk membalas tetapi tunjukan bahwa Kamu juga ciptaan Tuhan 😭😭😚😚

2022-12-24

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!