Keinginan yang Belum Bisa Terpenuhi

Raga membawa Nabila mengitari beberapa kios-kios untuk menemukan persembunyian yang aman. Hari belum terlalu siang, sayang kalau harus meninggalkan pasar. Selain itu, rezeki yang didapat masih empat ribu rupiah, setidaknya dia mencari enam ribu rupiah lagi untuk bekal makan malam dan sahur nanti.

Mata bulat Nabila berbinar kala melihat deretan kios penjual baju anak lengkap dengan sandal-sandal lucu. Sesekali terdengar decak kagum dari mulut kecilnya.

Raga yang sempat menoleh wajah si adik, mendadak merasa nyeri di ulu hati. Bukan dia tak tahu bahwa Nabila pasti menginginkan pakaian baru.

"Insya Allah, lebaran nanti Kakak belikan jilbab baru buat kamu," celetuknya tiba-tiba, padahal Nabila tidak berbicara apapun.

Mendengar kalimat sang kakak, seolah mengucap janji, Nabila langsung mengulas senyum senang. "Nabila mau warna putih, ya, Kak," pintanya.

"Putih? Bukannya kamu suka warna merah muda, yang kamu sebut pink?" tanya Raga sedikit heran, pasalnya selama ini baju ataupun barang-barang yang diminta adiknya selalu request warna pink.

"Iya, tapi Bila ingat kata Amak warna putih melambangkan suci dan bersih, di hari raya nanti Bila ingin terlihat bersih, Kak."

Raga mengangguk. "Baiklah, Kakak akan ajak kamu buat pilih sendiri."

"Eh, Kak, di toko yang terlewat tadi Bila lihat jilbab putih bagus banget," kata Nabila.

"Toko yang sebelah mana, Dek?" Raga berhenti dan melihati kios yang menjual pakaian satu per satu.

"Itu Kak yang depannya ada banyak sendal-sendal." Jari mungil Nabila menunjuk kios ke lima yang sudah mereka lewati.

Raga menimang sejenak, dipikir tak apalah sekedar bertanya harga agar dia lebih semangat untuk mengumpulkan uang. Dia berbalik menghampiri kios yang terlihat lebih lengkap dari kios lainnya.

"Pak, Bu ...!" Raga memanggil pemilik kios, yang entah pemiliknya bapak-bapak atau ibu-ibu.

Keluar seorang ibu dengan wajah cuek dan langsung menghampiri mereka. "Ada apa?" Seperti yang sudah-sudah, selalu bernada sinis. Mungkin, melihat penampilan Raga dan Nabila sudah mendatangkan rasa jijik.

"Dek, kerudung mana yang kamu mau?" Raga menanyai Nabila lebih dulu.

"Itu, Kak," tunjuk Nabila ke atas, kerudung beserta gamis muslim anak kecil tergantung di sana.

"Kerudung itu berapa, Bu?" Raga beralih bertanya pada pemilik kios.

"Yang itu kalau sama gamisnya sembilan puluh lima, kalau jilbab aja empat puluh lima ribu."

"Empat puluh lima ribu, Bu?" ulang Raga memastikan.

"Iya."

"Bu, boleh saya minta tolong simpan dulu setelan pakaian yang itu, kalau uang saya sudah cukup saya akan kembali untuk membelinya." Raga memohon penuh harap, semoga saja pemilik kios mau berbaik hati.

"Terus berapa hari kamu akan kembali? Kalau lama saya nggak bisa janji. Sudah disimpan taunya kamu nggak dateng, kan rugi di saya."

"Saya pasti kembali, Bu. Sebelum lebaran saya pasti sudah membeli setelan itu." Raga meyakinkan.

"Ah, pokoknya nggak bisa janji. Dah lah, sana-sana ... gangguin aja, taunya kagak beli. Udah cuaca panas, bikin tambah panas! Pergi!" usir si pemilik kios sambil mengibas-ibaskan tangannya.

"Ya, Bu, tolong simpan dulu setelan yang itu. Kasihan Bu, untuk adik saya. Dia suka sama yang itu."

"Masa bodok! Kalau laku ya saya jual, kalau masih belum laku ya itu rezeki kamu."

Raga menyeret langkah menjauh. Sedih, tetapi dia bertekad untuk lebih giat mencari rezeki. Hatinya terus bergumam doa, semoga sebelum lebaran nanti uangnya sudah terkumpul. Sembilan puluh lima rupiah adalah nominal sangat besar baginya, yang selama ini paling banyak memegang uang dua puluh tiga ribu saja. Bagaimana caranya dia mendapat uang sebanyak itu?

Walau menjadi beban berat, tetapi dia tidak menyalahkan keinginan Nabila. Dia sangat menyadari karena dia pernah seperti itu kepada orang tuanya.

"Mak, lebaran nanti belikan Raga sarung baru seperti milik Hendri. Dua tahun Raga nggak ganti sarung, sudah sobek juga ujungnya kecantol paku."

Terlihat Amak menghela napas berat. Namun Raga sebagai anak juga hanya ingin mengutarakan keinginannya.

"Doakan Bapak rezekinya banyak, nanti Amak belikan sarung."

Lalu, tiga hari sebelum lebaran kala itu. Amak pulang dari pasar membawa buntalan plastik dan memanggil ke dua anaknya.

"Ini untuk Raga dan Bila."

Raga menjerang sarung itu. "Amak, nggak ada capnya, ini sarung bekas pakai, ya?"

"Maaf, uang Amak cukupnya untuk beli yang sudah bekas pakai. Itu masih bagus, cuma cacat di ujungnya saja, sepertinya terkena putung rokok."

"Ya udahlah, Mak, nggak apa. Raga sudah ganti sarung, Hendrik sama Ilham nggak akan ejek aku lagi."

"Maaf, ya, Ga."

"Nggak apa, Mak, makasih."

Secuil kenangan kembali teringat. Dia dulu pernah mengutarakan keinginan seperti adiknya, untuk itu dia memaklumi dan tidak menyalahkannya keinginan Nabila.

"Harganya mahal ya, Kak."

Pertanyaan Nabila menyadarkan lamunan Raga. "Lumayan mahal, Dek." Sambil melanjutkan langkah.

"Uang Kakak nggak akan cukup untuk beli, ya."

"Insya Allah, Kakak akan tetap berusaha cari uang untuk beli pakaian yang itu, Dek."

"Kak, Bila tunggu Kakak di sana aja."

Tempat yang ditunjuk Nabila belakang pasar dengan rumput liar tumbuh subur. Kumuh dan banyak genangan air, namun cukup jauh dari keramaian orang-orang bertransaksi.

Raga terdiam dengan tatapan sendu melihat tempat yang ditunjuk adiknya. Tempat itu lebih tak layak untuk dijadikan tempat berteduh. "Jangan disitu, Dek."

"Nggak pa-pa, Kak."

"Tapi ...."

"Bila mau disana aja."

Raga menghela napas berat, terpaksa menurunkan Nabila di sana. Berusaha mempercayakan keselamatan adiknya pada takdir Tuhan.

"Kakak nggak lama. Kakak akan segera kembali."

"Iya, Kak."

Malam hari.

Raga mengambil botol air mineral yang isinya bukan lagi air, melainkan beberapa lembar kertas yang dilipat menjadi kecil. Itulah tabungan Raga yang baru berisi sembilan ribu rupiah. Jika dia membelikan setelan pakaian untuk Nabila, berati masih kurang delapan puluh enam ribu lagi.

"Ya Allah, di bulan suci ini aku memohon dengan sungguh-sungguh, mudahkan hamba mencari uang. Demi Nabila. Aku sangat ingin melihat Nabila senang dengan memakai baju yang diinginkan."

Diusapkan kedua telapak tangan ke seluruh wajah, berharap doa yang dipinta dapat menembus langit.

Sudah berdoa, tetapi hati Raga belum sepenuhnya lega. Tetap terpikirkan rupiah yang harus dikumpulkan, lumayan masih sangat banyak. Setitik hatinya ragu, apakah dalam 26 hari dia bisa mengumpulkan sebanyak itu.

Nabila memang masih bisa diberi pengertian, namun dia takkan sanggup melihat wajah sedih adiknya. Apalagi dia juga pernah merasakan sedih saat keinginannya dulu tidak terpenuhi. Dia tak ingin Nabila seperti itu.

Terpopuler

Comments

Kar Genjreng

Kar Genjreng

kabulkan lah doanya Author Mei...Ak nangis hatiku ko sakit ya baca karya Mu mendalam ceritanya bener bener menyayat hati ...miris melas sedih pokonya campur aduk... rasanya 😭😭😭😭😭😭

2022-12-16

0

Sumi Sumi

Sumi Sumi

semoga setiap doanya terkabul ,, semangat akak up yang banyak

2022-12-15

0

kok disini tokoh nabila seperti punya firasat meninggal

2022-12-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!