Nasi Bungkus Terakhir Untuk Nabila
Raga Argian seorang bocah yang dipaksa dewasa secara singkat karena sebuah tumpuan beban. Satu bulan lalu, secara tragis kedua orang tuanya terlibat kecelakaan ketika sedang memulung barang bekas. Meninggalkan kesedihan teramat dalam baginya.
Bagaimana tidak, Raga yang baru akan menginjak dewasa harus menggantikan tanggung jawab kedua orang tuanya untuk menjaga sang adik.
Nabila Rahma, adik satu-satunya yang dimiliki dan masih berumur empat tahun. Kepergian kedua orang tua mereka yang secara tiba-tiba menjadi pukulan terberat bagi keduanya.
Selama ini, mereka hidup dalam lingkar kemiskinan. Satu hari hanya makan satu kali sudah menjadi kebiasaan mereka asal masih tetap berkumpul bersama anggota keluarga. Namun, sejak satu bulan terakhir, mereka harus menjalani hidup cuma berdua.
Bruk ….
Tas lusuh dibanting ke tanah. Ibu paruh baya menatap tidak suka pada dua bocah berpakaian lusuh di depannya.
"Pergi kalian! Enak saja mau tinggal gratis di gubukku. Gubuk ini sudah di sewa sama pemulung lain," ucap ibu itu. Mengusir Raga dan adiknya tanpa perasaan.
"Bu, kasihani kami, beri saya dan adik saya tumpangan. Kami tidak tau harus kemana."
"Eh, itu bukan urusan saya. Sana, kamu dateng ke panti asuhan. Siapa tau yayasan itu mau menampung kalian berdua."
Tak ada pilihan. Sudah diusir, Raga mengambil tas lusuh berisi beberapa helai pakaiannya dan adiknya. Mereka menyusuri sepanjang jalan rel kereta dengan lelehan peluh membasahi dahi mereka.
Sudah satu kilo meter mereka berjalan, namun sejauh itu tak ada tujuan. Raga sebagai tumpuan pun tak tahu harus membawa adiknya berteduh di mana.
Sekian lautan manusia, tak ada yang memandang mereka. Bahkan acuh ketika melihati penampilan mereka yang lusuh tak terawat.
"Kita berteduh dibawah pohon itu saja," ujar Raga.
"Kakak lapar, tidak?"
Teriris sembilu, itulah rasanya acap kali mendengar keluhan adiknya merintih lapar. Apa yang bisa diperbuat, dia sama sekali tidak memiliki uang.
Uang peninggalan kedua orang tuanya yang berjumlah lima ratus ribu sudah habis untuk makan selama satu bulan. Itu pun mereka sudah sangat hemat. Dan, rupiah itu habis ketika kemarin sore untuk membeli sebungkus nasi dan dimakan berdua.
Hari ini? Naas, sedari pagi sedang bingung karena tidak memiliki sepeser uang, ditambah tiba-tiba ibu pemilik gubuk tempat tinggalnya selama ini justru mengusirnya.
Ya Tuhan, takdir macam apa ini?
Raga mengelap sudut matanya. Dia berpikir keras agar bisa menghasilkan uang.
Memulung barang bekas? Dia sudah tidak ada lahan untuk mengambil barang bekas, karena setiap titik lahan sudah ada jatah masing-masing pemulung.
Pekerjaan lain? Dia tidak tahu harus mengerjakan apa. Sedangkan tempatnya saat ini berada tak jauh dari bentangan besi rel kereta api.
Lahan kumuh dengan orang-orang tak acuh dengan manusia lainnya. Kesulitan hidup, membuat mereka juga tak bisa menolong orang lain.
"Perut Bila semakin sakit, Kak," rintihan itu terdengar pilu. Wajar adiknya mengeluh perutnya semakin sakit, terakhir mereka menyuap bulir nasi adalah kemarin sore. Sedangkan malam sampai siang hari menjelang sore ini mereka belum memasukan apapun ke dalam perut mereka.
'Emak, Bapak.' Setiap kali merasa sedih, pun setiap kali merasa kelaparan, Raga hanya memanggil Emak dan Bapak dalam hatinya.
Kenapa Tuhan harus mengambil kedua orang tuanya, sedangkan beban berat itu berganti dia yang menanggung.
"Dek, Kakak mau cari air minum. Kamu tunggu sini, jangan kemana-mana," pesan Raga.
Bocah perempuan berumur tujuh tahun itu mengangguk patuh. "Kakak cepat kembali, ya."
Kini berganti Raga yang mengangguk. Lalu anak laki-laki itu berjalan menuju jalan raya.
Sekira tiga puluh menitan, Raga sudah kembali. Dia bernapas lega melihat adiknya masih bersandar dibawah pohon Aksia.
"Kakak." Nabila melambaikan tangan gembira menyambut kedatangan kakaknya. Matanya awas melihati sang kakak datang membawa sesuatu. "Kakak bawa makanan?" Bertanya sumringah.
"Hem. Kakak bawa roti buat kamu, Dek." Raga mengusungkan seperempat roti di depan adiknya. Di pinggiran roti itu terlihat kotor, buru-buru Raga membersihkannya. Pada saat itu, hampir saja air matanya lolos. Namun sekuat tenaga dia menahannya.
"Rotinya tinggal segitu. Sudah Kakak makan?" tanya Nabila dengan kening berkerut keheranan. Roti yang diberikan sang kakak bahkan lebih kecil dari ukuran telapak tangannya. Terlihat tak ada selai coklat atau toping apapun, hanya ujung roti yang benar-benar tak ada pemanisnya sama sekali.
"Uang Kakak gak cukup buat beli roti yang besar. Hari ini makan ini dulu gak apa, ya. Rotinya tadi juga gak sengaja jatuh, tapi Kakak sudah bersihkan. Dimakan yang ada, yang penting perut mu gak sakit." Raga hanya menghibur diri. Padahal semua yang dikatakan adalah kebohongan. Dari mana dia bisa membeli roti, padahal uang sepeser pun dia tak punya.
Roti itu dia pungut di tanah ketika ada anak kecil tak sengaja menjatuhkannya. Tak ada pilihan lain, dia mengambil potongan roti yang sudah terhempas ke tanah itu untuk diberikan kepada adiknya.
Itu sebabnya kenapa potongan roti tadi bercampur pasir kecil.
Setengah botol air mineral juga dia ambil dari tong sampah. Setidaknya air bekas minum seseorang itu bisa mengaliri tenggorokan dia dan adiknya.
Rendah. Benar yang dilakukan sangat rendah, namun dia terpaksa melakukan karena tak ada pilihan lain.
Tuhan pasti tahu, dia hanya menyelamatkan adiknya yang kelaparan.
Sudut bibir Nabila terbesit senyum. "Makasih, ya, Kak."
Ya Tuhan, bagaimana tidak teriris lagi hati Raga saat mendengar ucapan terima kasih dari sang adik. Dia meringis sedih, bahkan roti itu tak layak dimakan.
Raga menelan liur. Perutnya yang lapar juga terasa semakin melilit, tapi sekuat tenaga dia menahan. Akhirnya dia meraih botol air mineral yang tinggal sedikit untuk diminum. "Kakak minta dikit air minumnya, ya."
"Hem." Nabila mengangguk sambil mengunyah roti.
Belum usai dengan keletihan, Raga masih harus berpikir keras untuk mencari tempat tinggal baru bagi mereka. Dia tidak tega jika adiknya tidur di tempat terbuka dan terkena dinginnya angin malam. Dia harus segera mencari tempat aman.
"Dek, ayo, kita jalan lagi. Kalau kamu capek, naik ke punggung Kakak biar Kakak gendong."
"Bila mau digendong. Bila capek."
"Em. Ayo." Raga terpaksa mengulas senyum di depan adiknya. Berjalan dan berkeliling tanpa tahu arah tujuan. Raga terus mengucap pertolongan kepada Tuhan agar memberinya kemudahan.
Letih yang teramat tak dihiraukan, dia harus kuat demi satu-satunya teman hidupnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Lalisa
mewek bacanya 😭😭😭😭
2024-09-19
0
Boy Warrior
baru baca ud ngenes
2023-05-19
0
bayangin 2 kakak beradik berjaln menyusuri rel di siang hari,dalm keaadan lapar,haus,capek..duh thor...bikin nyesek bnget
2023-03-12
0