Pagi menyambut dengan keadaan kurang baik. Sedari pagi Nabila batuk diselingi bersin tak henti-henti. Ketika Raga inisiatif mengecek kondisi Nabila, suhu badannya lumayan tinggi dari biasanya.
"Ya Tuhan, kenapa Nabila harus demam?" gumamnya.
Mungkin karena cuaca semalam sangat dingin ditambah hujan rintik-rintik mengguyur sepanjang malam, membuat Nabila menggigil kedinginan. Malang karena mereka tak memiliki selimut untuk menghalau angin, hanya dua sarung lusuh saja yang dapat digunakan, itu pun sudah robek sana sini.
Netra tanpa cahaya itu melongok langit, cuaca benar-benar tak mendukung karena mendung masih bergelayut. Raga berganti melihat Nabila yang meringkuk dengan sesekali mengigau menyebut 'Mak, Bapak' yang membuat hatinya merasa pilu.
Cukup lama Raga terdiam, menimang keputusan akankah membawa Nabila ke pasar atau meninggalkan adiknya di tempat itu. Lagi-lagi ketakutannya terpaku pada hewan, juga air bendungan yang bisa saja naik dengan cepat dan menghayutkan adiknya. Tidak, jangan sampai itu terjadi, atau dia akan menyesali seumur hidup.
Pada akhirnya Raga menggendong tubuh adiknya menggunakan sarung. Menempuh jarak satu kilo lebih, terkadang tangannya kebas bila harus menggendong Nabila sampai pasar.
Berjalan tanpa alas kaki sudah menjadi hal biasa. Kerikil tajam seringkali melukai telapak kakinya, namun Raga sudah lelah mengeluhkan nasibnya, kini hanya berpasrah kepada Tuhan.
Dan, tak ada tempat lain selain dekat dengan tong sampah. Raga menidurkan adiknya di sana. Sebelum masuk ke dalam pasar, dia sempat mengulas doa kepada Tuhan. "Untuk hari ini, hamba yang lemah ini meminta rezeki lebih agar bisa membelikan Nabila obat. Engkau Maha Baik, kabulkan doa hamba."
Raga masuk ke dalam pasar, hari ini dia lebih giat menawarkan jasa untuk menjadi buruh panggul. Dan seolah doa yang diucap tadi mampu menembus langit, Tuhan Maha Baik memberi rezeki lebih. Bila kemarin mendapat dua ribu, hari ini mendapat sepuluh kali lipatnya.
Hari semakin siang saat Raga memanggul beras dua puluh kilogram ke tempat parkir. Wanita yang memberikan upah tiga ribu rupiah itu menjadi pelanggan terakhirnya.
"Terima kasih banyak, Bu," ucapnya setelah menerima upah. Bibir itu tak henti mengulas senyum, rezeki hari ini lumayan cukup untuk membeli nasi bungkus beserta obat demam untuk Nabila.
Raga berjalan menuju pojok pasar, tetapi langkahnya dihentikan oleh suara seseorang. "Hei, mau kemana kamu anak kecil?"
"Ma-mau pulang, Bang." Sepertinya yang menghadang Raga adalah pemilik wilayah. Dua pria berbadan besar dan penuh tato, wajahnya terlihat garang dan bengis. Cukup keder Raga berdiri di depan mereka.
"Kamu mencari penghasilan di pasar sini tanpa meminta izin kami. Kamu melanggar aturan!"
"Tapi saya sudah minta izin kepada pak satpam."
"Haha … pak satpam? Ah, lu kira yang punya wilayah sini, dia? Gue acungi tangan juga takut." Yang satunya ikut menyahut.
"Semua yang mencari uang di sini harus bagi hasil sama kita, kalau, gak, minggat!"
"Tap-tapi … Bang?"
"Tapi apa, hah? Lu berani ngelawan kita? Duit lu ilang, nyawa lu juga melayang. Mau lu?!" Pria berambut panjang menggertak.
"Serahin duit hasil mu," perintah yang satunya.
"Jangan, Bang, tolong kasihani saya. Saya perlu beli makan dan obat buat adik saya. Saya cuma dapat sedikit, besok saja Abang minta jatah, jangan hari ini."
"Eh, ngatur-ngatur. Sini duitnya!" Satu dari mereka menahan badan Raga, dan yang satu merebut paksa uangnya.
"Bang, tolong, jangan diambil. Tolong, Bang."
"Ah, diem bacot!"
Uang receh sudah berpindah dari tangan Raga ke preman berambut panjang. "Cuma dua puluh tiga doang, Cir."
"Ambil yang dua puluh, sisain tiga ribu aja!"
"Nih, jatah lu. Besok-besok cari pelanggan yang banyak, biar lu juga dapat bagian banyak."
"Ya Allah, Bang, jangan! Bagi setengahnya, Bang. Kasian, Bang." Raga mengejar dua preman itu, tetapi salah satu preman memberi tendangan hingga tubuh Raga tersungkur. Uang tiga ribu rupiah terlepas, bahkan uang koin seribu rupiah menggelinding jauh. Raga cepat-cepat mengejar dan memungutnya.
Saat dilihat, dua preman tadi sudah hilang entah dipersimpangan yang mana, membuat tubuh Raga melemas. Suasana mendung masih menyelimuti, kini keadaan pasar mulai sepi, bahkan hanya tinggal segelintir pedagang yang belum selesai mengemas barang dagangan.
Sekian dari orang-orang yang terlihat, tak ada yang berani menolong, Raga memaklumi, mungkin mereka juga takut.
Hati Raga menjerit perih, dia terduduk di atas kayu bekas wadah-wadah sayuran. Tak terbendung lagi kesedihan bercampur letih, Raga menenggelamkan wajah pada dua lengan tangannya. Perih rasanya menahan sesak di dada, dia menangis. Menangisi nasib yang begitu pilu untuk dijalani.
Kaum lemah sepertinya seolah sudah nasibnya selalu diinjak-injak. Kesulitan enggan lepas, semakin menyudutkan kesedihan hati.
"Kamu lagi. Kenapa?"
Suara seseorang membuat Raga mendongak. Pak satpam yang baik yang pernah memberinya uang lima ribu rupiah. Raga membersihkan sisa air mata. "Uangku di palak preman yang punya wilayah, Pak," adunya.
"Ck, mereka selalu bikin resah. Sudah pernah ditangkap tapi gak kapok. Lain kali lebih baik menghindar kalau ketemu preman-preman pasar. Semisal tadi Bapak liat, Bapak bisa bantu amanin uang kamu, sekarang mereka sudah gak ada."
"Saya gak tahu, Pak. Besok-besok saya akan hati-hati." Raga berdiri, koin yang dipegang kembali menggelinding. Dia kembali memungut dan berpamitan untuk pergi. "Permisi, Pak, saya mau pulang."
"Tunggu!"
Raga yang semula membelakangi, kini berbalik menghadap pria setengah tua itu. "Kamu sudah ada uang untuk beli makan?"
Raga menunduk, melihat genggaman tangannya terdapat tiga ribu rupiah. "Hari ini tidak masalah tidak makan, saya cuma pengen belikan adik saya obat. Dia sedang demam." Bukan niat mencari simpati, tetapi Raga hanya berkata jujur.
Satpam itu merogoh saku, persis seperti kemarin. Namun kali ini uang yang disodorkan bernilai sepuluh ribu rupiah. "Maaf, Bapak cuma ada ini. Belikan sirup demam di apotik, biasanya ada yang seharga tujuh ribuan."
Mendapat rezeki yang kedua kali, Raga tak mau menyia-nyiakannya. Hanya demi Nabila. "Terima kasih, Pak, terima kasih sekali. Semoga Tuhan mengganti dengan berkali-kali lipat."
Raga menggenggam uang dengan erat. Asa yang beberapa menit lalu redup, kini mulai menyala. Yang utama adalah Nabila, dia bisa membeli obat penurun panas untuk adiknya. Sisa yang tak seberapa akan diusahakan untuk mencari nasi bungkus paling murah.
"Dek, bangun. Ayo kita cari obat dan makanan. Kakak sudah dapat uang." Raga mengambil sarung dan lekas memasang ke bahunya. Menuntun Nabila untuk digendong di punggung.
"Kak, Bila haus."
"Iya Dek, sambil jalan Kakak akan melihat bekas minum orang-orang yang gak habis, nanti sisa itu bisa diminum."
Sayang kalau uang tiga ribu rupiah untuk membeli minuman, karena nominal itu bisa digunakan untuk membeli nasi bungkus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Lalisa
Alhamdulillah
Allah maha baik
2024-09-19
0
Kar Genjreng
Ak juga sering liat anak anak yang seperti itu...cuma kadang kalau tak kasih lebih...ada yang ngliatin... makanya kayanya ketakutan... terkadang berdua adeknya perempuan...tak kasih makanan...ga berani kadih uang....pernah ku beliin sandal yang murah satu minggu kemudian sudah ga pakai di minta 😡😡😭😭 dua dua nya....benar cerita ini...kayanya kusah nyata ya Mei...
2022-12-10
1
Sumi Sumi
😭😭😭😭😭 kejam nya kalian pada anak kecil itu
2022-12-10
0