"Kenapa kamu mencuri?" Tidak garang seperti pria-pria yang memukulnya tadi. Satpam itu bertanya dengan nada biasa.
"Aku tidak mencuri, Pak. Roti ini aku ambil di atas tanah, dan sudah kotor. Kasihan adik saya kelaparan."
Tatapan satpam itu melunak. Terlihat merogoh saku celana dan menyodorkan uang satu lembar lima ribuan. "Beli roti yang baru buat adikmu. Yang itu buang saja," ujarnya.
Sekian lautan manusia yang dijumpai, hanya satu yang masih memiliki hati. Raga terlihat ragu untuk menerima.
"Ini saya kasih." Satpam itu menyelipkan uang lima ribu ke kantong baju Raga.
Raga buru-buru mengambil dan menggenggamnya. Takut jatuh dan hilang, karena lagi-lagi kantong bajunya bolong, dia belum sempat ganti baju.
"Roti yang hancur itu buang saja," perintah pak satpam untuk kedua kalinya.
"Tidak, Pak, ini masih bisa dimakan. Terima kasih uangnya, semoga hidup Bapak berkah dan Tuhan senantiasa memberi ganti rezeki. Aamiin."
"Aamiin."
Tak apalah dia babak belur, sudut bibir yang sedikit mengeluarkan darah itu dipaksa tersenyum saat mendekati tong sampah besar. Uang lima ribu digenggam erat-erat, karena satu lembar uang itu bisa dibelikan nasi bungkus sederhana untuk adiknya.
"Dek." Raga melongok ke belakang tong sampah. Seulas senyum getir kembali mengembang mengetahui adiknya tertidur.
"Dek." Dia membangungkan Nabila.
"Kakak?"
"Iya."
"Kakak kenapa?" Mata kecil Nabila meneliti wajah kakaknya.
"Kakak tadi terjatuh. Gak apa, ayo kita beli makan," ujar Raga enggan menjelaskan. Dia meraih tangan Nabila untuk di gandeng dan pergi dari tempat berbau busuk itu.
Siapapun tak akan tega meninggalkan adik kesayangan di dekat sampah dengan bau busuk menyengat, namun lagi-lagi tak ada pilihan. Bagi Raga, tempat itu paling aman untuk menyembunyikan adiknya dari orang-orang jahat.
Menggenggam lima ribu rupiah, Raga mengajak Nabila menuju warung nasi yang ada di ujung jalan.
"Bu, beli!" teriaknya memanggil pembeli.
Seorang wanita kurus baru keluar dari warung kecilnya dan langsung menyambut dengan tatapan sinis. "Apa?! Mau minta-minta?! Gak ada! Pergi sana. Minta-minta di jalan. Enak aja mau makan gratis," sungutnya.
"Saya tidak mau minta-minta. Saya mau beli nasi," sahut Raga.
"Heh, emang kamu punya uang?" Masih dengan nada sinis.
Raga menyodorkan uang lima ribu kepada wanita itu. "Cuma ini, beli sebolehnya saja."
Wanita itu menyahut uang kertas. Sebelum masuk ke warung, kembali bersuara. "Eh, kamu sama adikmu tunggu di pojok warung yang agak jauh sana. Bau kalian bikin pelangganku tidak nyaman. Bisa-bisa mereka pada kabur. Nanti nasinya aku antar kesana! Cepetan, sana-sana."
Raga menahan sakit hati, teriris dengan sikap orang-orang sempurna yang justru menganggap mereka bak sampah menjijikan. Kenapa tidak ada yang memuliakan anak-anak kurang beruntung seperti mereka? Dimanapun selalu terusir dan dikucilkan.
Raga membawa Nabila duduk di pojok warung. Lebam yang mulai terasa nyeri dan panas terpaksa ditahan. Dia tak mau melunturkan senyum sang adik.
Setelah menepi di tempat sepi, Raga segera membuka nasi bungkus yang dibeli tadi.
"Bila senang Kak, hari ini bisa makan nasi."
Raga mengelus rambut kecoklatan milik Nabila. Rambut yang seperti di pirang, namun rambut itu berubah karena seringnya terkena sinar matahari.
"Ada ikannya gak, Kak?"
"Kakak gak tahu." Nasi itu belum sepenuhnya dibuka. Raga sendiri tidak tahu apa isinya.
Nasi sekepal orang dewasa, orek tempe dan telur dadar di atasnya. Sesederhana itu isinya. Namun Raga sudah sangat bersyukur, setidaknya hari ini bisa menikmati sesuap nasi.
"Telur, ya, Kak, bukan ikan? Gak apalah, Bila juga suka telur," ujar gadis itu kentara sedikit kecewa.
"Makan ini dulu, ya, besok-besok kalau Kakak dapet uang banyak, Kakak belikan daging." Raga berusaha menghibur. Meski yang diucapkan tak tahu bisa terkabul atau tidak.
Raga hanya memakan sesuap, lebih mementingkan Nabila. Selain itu, perut yang beberapa kali terkena tendangan orang-orang maha benar tadi masih terasa sakit, membuat nafsu makannya berkurang.
"Kak, itu apa? Dari tadi Kakak bawa." Nabila terfokus pada bungkusan yang sudah tak berbentuk.
"Oh, ini roti, tadi Kakak nemu di dalam pasar, sayang kalau gak diambil."
"Roti tapi seperti itu?"
"Tadi jatuh juga, jadi hancur. Gak apa, masih bisa dimakan."
•
Malam hari, tempat berteduh paling nyaman adalah di bawah jembatan. Dengan sangat hati-hati Raga menggendong Nabila menuju kesana. Sedikit terpeleset, maka dia dan adiknya akan jatuh ke aliran sungai. Tak ada pilihan tempat, karena bekas yang semalam sudah dihuni beberapa preman. Raga memilih pergi dan mencari tempat baru.
Gerimis mengguyur sejak kumandang adzan maghrib tadi. Suasana semakin mencekam tanpa cahaya. Rembulan tertutup awan mendung, keadaan benar-benar gelap. Hanya di kejauhan sana terlihat lampu dari gedung-gedung pencakar langit. Itupun tak terjangkau karena jaraknya mencapai ratusan meter.
"Kak, Bila takut."
"Tenang ada Kakak. Kakak gak tidur dan akan jagaian kamu." Bukan hantu yang membuat Raga takut, tetapi lebih kepada hewan ular, kalajengking atau juga lintah. Di keadaan gelap, Raga hanya bisa berpasrah kepada Tuhan.
•
Keesokan paginya.
Memar dibagian wajah dan tubuh belum hilang, tapi Raga kembali menginjakan kaki di pasar kecil kemarin. Dimana lagi dia bisa mencari pekerjaan, dia hanya seorang anak kecil yang baru mulai tumbuh dewasa. Tubuhnya yang kurus kering tak ada yang mau mempekerjakannya.
Lagi-lagi Nabila disembunyikan di belakang tong sampah. Dan dia berkeliling untuk mencari orang yang membutuhkan jasa.
"Dek, bisa tolong angkat karung beras ini ke tukang becak di depan?"
"Oh, bisa-bisa." Secepat itu Raga menjawab, tanpa mempertimbangkan berat karung yang harus dipanggul. Beberapa kali mencoba, tubuh Raga hampir oleng, tetapi bayangan wajah Nabila membuatnya semangat.
"Ini upahmu." Ibu tadi memberi upah sebesar dua ribu rupiah untuk karung beras seberat tiga puluh kilogram. Miris, dan tega sekali. Tapi Raga tak bisa meminta lebih. Dua ribu rupiah sudah sangat berarti baginya.
Rezeki yang di dapat benar-benar hanya sampai di situ. Menjelang pasar tutup, Raga hanya mendapat dua ribu rupiah. Dia kembali ke warung yang kemarin, namun kali ini tak mendapat nasi, dan justru mendapat makian beserta usiran.
"Uang dua ribu rupiah dapet apa? Kemarin aja karena kasihan makanya aku jualin pakek telur, eh, lama-lama malah mau ngelunjak. Sana pergi!" usiran yang membuat Raga hampir menumpahkan air mata.
Sampai jam dua belas siang perut mereka baru terisi roti yang hancur kemarin dengan air mineral sisa orang-orang. Hari ini nasib mereka tidak seberuntung kemarin yang bisa merasakan nikmatnya nasi.
Raga menghela napas panjang. Rasanya begitu sulit dan ingin menyerah. Tetapi ada Nabila yang harus diperjuangkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
ſᑎ🎐ᵇᵃˢᵉ
penderitaan yang tiada akhir untuk bila dan raga 🤧🤧🥺🥺🥺
2023-05-16
0
Andin Yafa
Jgn lama2/ thor bikin mreka mnderita,,mewekk tauu thorr
2023-01-10
0
giartikiki
nyesek pool lanjut Thor
2022-12-09
0