Telah Dikawin Gantung
Hutan lebat perhutani di kanan kiri jalan, adalah pemandangan biasa bagi Ratria. Gadis cantik yang asli lahir dan tinggal di area terpencil perkebunan teh perhutani, Sirah Kencong, Blitar.
Suasana jalanan telah gelap dan hanya diterangi lampu remang yang tergantung di tiang tinggi tepi jalan. Dengan jumlah yang jarang, sebab jarak antara tiang lampu satu dengan tiang lampu berikutnya sangat saling berjauhan. Tapi Ratria tidak gentar.
Jalan yang membelah perhutani dan menghubungkan antara kota kecil Wlingi dengan perkebunan teh Sirah Kencong di Blitar, sangat lengang malam ini. Ratria sedang berada dalam taksi. Dengan sopir yang biasa mengantar saat berangkat dan menjemput saat pulang.
Hari ini mungkin sedang hoki bagi Ratria. Sopir yang hampir tiap hari menyervis pelanggan dengan motor roda dua, hari ini menjemput pulang Ratria dengan taksi. Mobil simpanan yang hanya dikeluarkan saat genting. Saat mendesak seperti hujan deras, atau mengantar dan menjemput pelanggan dengan tujuan sangat jauh.
(foto: sirah kencong saat pagi pukul 6.00 WIB)
"Tadi ke Telkom, lowongannya apa saja, ning?" tanya pak sopir yang bernama pak Eko.
Pak Eko juga tinggal di lingkungan perumahan dinas di perkebunan teh Sirah Kencong. Sama area dengan perumahan dinas yang ditinggali Ratria. Berlokasi di dataran, tepat di bawah hamparan perkebunan dan pabrik teh Sirah Kencong.
"Banyak, pak Eko. Tapi aku masukin lamaran ke bagian layanan publik. Kayaknya bisa seneng jika dapat bagian itu. Akan berhadapan dengan banyak orang," sahut Ratria. Gadis cantik berhidung runcing dan mungil itu sambil memainkan ujung kerudung biru tosca di kepalanya.
"Tadi ketemu Hendra nggak di sana,?" sambung tanya dari pak Eko.
"Enggak, pak . Yang ngelamar banyak. Aku lihat mas Hendra, tapi mas Hendra nggak lihat aku, pak. Sibuk," jelas Ratria sambil menggeleng. Pak Eko yang melihat dari cermin pantau di atas kepalanya pun mengangguk.
Hendra adalah keponakan pak Eko yang bekerja sebagai pegawai senior di PT Telkom- Wlingi. Dan dari Hendralah pak Eko mendengar adanya lowongan yang kemudian laju dikabarkan pada Ratria. Penumpang langganan yang sedang galau mencari kerja.
Ratria baru saja menamatkan bangku kuliah pada salah satu universitas milik negara di kota Malang. Dengan menyandang gelar S1 di bidang teknik informatika. Yang selesai tepat dalam empat tahun dengan hasil dan nilai yang gemilang. Meski bukan seorang camlaude, tapi bagi Ratria itu cukup memuaskannya.
Perjalanan membelah hutan gelap akhirnya berakhir. Pak Eko telah menyandarkan taksi di depan salah satu pagar rumah dinas. Rumah yang nampak lain dan telah dipugar jadi minimalis dan cantik. Rumah dinas dari neneknya Ratria yang baru tiada dari dunia tujuh bulan yang lalu.
"Terimakasih, ya pak Eko. Salam buat mas Hendra. Terimakasih juga untuknya,,!" seru gadis semampai itu sebelum taksi melaju berlalu. Dan dibalas oleh pak Eko dengan lambaian tangan di jendela.
Rumah mungil yang akan menyala terang selama dirinya belum pulang, nampak indah dan gemerlap, sangat menyenangkan dipandang. Rumah dinas dari perhutani untuk sang kakek yang diwariskan kepada nenek dan sekarang ditempati oleh Ratria.
Dan Ratria merasa tidak berhak memiliki rumah dinas itu. Serta tidak paham bagaimana status dirinya pada rumah itu. Namun merasa begitu cinta pada rumah dinas tempatnya lahir, dan juga sebagai naungan tumbuh kembangnya hingga besar seperti sekarang.
"Assalamu'alaikum," sapa Ratria pada seorang wanita berusia empat puluh tahunan. Wanita berperawakan besar itu sedang membuka pintu untuknya.
"Wa'alaikumsalam. Bagaimana lamarannya, Rat,?" tanya wanita itu sambil memperhatikan Ratria.
Adalah mbak Lusi, yang tiba-tiba datang saat sang nenek mulai sakit dan membantu mengurusi. Wanita itu mengatakan jika dirinya adalah orang suruhan dari pihak perkebunan untuk membantu merawat lansia yang sedang sakit seperti sang nenek. Namun mbak Lusi tetap ada menemani Ratria hingga sekarang.
Dan Ratria tidak lagi menanyakan alasannya kenapa. Merasa sangat terhibur dengan adanya mbak Lusi yang tetap tinggal bersama di rumah dinas. Tidak bisa dibayangkan, betapa kesepian Ratria tanpa mbak Lusi setelah sang nenek berpulang ke sisiNya.
"Belum jadi interview, mbak. Nggak dipanggil, rame," jawab Ratria sambil meletak sepatu di rak susun dekat pintu.
Lalu berjalan tergesa sambil melepas kerudung segi empat dari kepala. Meletak asal di atas sofa begitu saja. Membuka gulungan rambut indahnya yang panjang. Nampak berkilau dengan dibuat bergelombang di ujung. Ratria nampak mempesona dan cantik.
Tubuhnya semampai dengan kulit cerahnya yang mulus. Mengenakan celana kain panjang dan berkemeja lengan panjang. Yang kini telah disingsingkan menjadi pendek-pendek atas bawah. Sangat pas dengan tubuh idealnya yang memabukkan dipandang.
"Semoga masuk saja dulu di tahap penyeleksian, Rat," sahut mbak Lusi kemudian. Memberi segelas air bening untuk Ratria.
"Aamiin. Terimakasih, yo mbak," Ratria sambil mengangguk dan duduk. Mengambil gelas air dan meminumnya sekaligus.
Tok...Tok..Tok..!!
Bunyi ketukan dipintu mengejutkan Ratria. Malam telah gelap. Siapa yang berani bertamu hampir larut begini..
Tetangga di perumahan sebelah bahkan tidak pernah bertandang saat malam. Namum mbak Lusi telah meluncur menuju pintu dan membukanya dengan lebar. Terlihat sama sekali tidak was-was, jauh beda dari apa yang sedang Ratria rasakan. Gadis cantik itu nampak siaga dengan cemas dan berdebar. Makhlum, jika ada apa-apa, hanya ada perempuan saja di dalam rumah itu.
Mbak Lusi telah membawa tamu lelaki asing untuk masuk dan duduk di kursi ruang tamu dengan tenang. Mereka terlihat biasa dan seperti sudah saling mengenali.
"Ratria, kemarilah, nduk,,!" panggil mbak Lusi pada gadis berumur dua puluh tiga tahun itu.
Dengan penuh debar tanya, yang dipanggil segera datang mendekat dan duduk. Kepala cantiknya dibiarkan terbuka tanpa kerudung. Ratria sedang abai dan tidak ingin mengenakannya. Merasa tidak perlu jika sudah mendekam dalam rumah. Tidak peduli meski tamu itu adalah lelaki sekalipun.
Lelaki yang mengenakan hem warna putih dengan kaca mata berbingkai hitam itu mengamati Ratria sejenak. Lalu membuka tas lempengnya yang mungkin hanya berisi lembaran kertas dan tanpa laptop di dalamnya. Mengeluarkan sebuah ponsel yang terdengar berbunyi beberapa detik yang lalu.
"Hem..Selamat malam, dengan nama Ratria Asma Amoro, betul,?" sapa tamu asing lelaki itu memandang Ratria. Gadis yang nampak cerah dengan mata berbinar dan jernih.
"Iya, betul. Bapak siapa?" tanya Ratria terheran. Mengamati lekat pada tamu larut malamnya.
"Perkenalkan, nama saya adalah Andi. Asisten pribadi pak Syahdan Gemilang Ahmad. Dan pak Syahdan adalah suami kamu, Ratria,," ucap tamu asing yang isi katanya tentu sangat mengejutkan perasaan Ratria. Tiada angin tiada hujan, tiba-tiba datang saat malam. Dan membawa berita yang sangat mengejutkan.
"Appa, pak,,?!!" seru Ratria terpekik. Sangat terkejut dengan wacana yang baru diumumkan oleh tamu lelaki yang bernama pak Andi. Seperti akan runtuh saja langit pekat di luar sana. Benar-benar sangat aneh.
"Benar, Ratria. Kamu sudah dinikahkan dengan pak Syahdan saat kecil. Saat ayahmu baru saja tiada. Dan ini adalah lembar bukti pernikahan kalian." Pak Andi menyodorkan selembar kertas pada Ratria.
Serasa tak percaya saat membaca selembar kertas bertajuk Sertifikat Pernikahan. Ada namanya di sana. Telah dinikahkan dengan Syahdan saat lelaki itu berusia dua belas tahun dengan Ratria yang masih berusia lima tahun. Dan disetujui oleh ibunya bersama sang nenek di hadapan penghulu waktu itu.
"Apakah ini seperti kawin gantung,,?" tanya lirih Ratria. Memandang lebar-lebar lelaki berkacamata yang nampak berkharisma meski agak tua.
"Mungkin. Mungkin itulah istilah tepatnya," sahut pak Andi membenarkan.
Ratria mengerutkan dahi rapat-rapat. Masih tidak bisa percaya sedikit pun. Perkara tentang dirinya yang serius dan berat, tiba-tiba datang tanpa ada bisik-bisik gosip tipis sebelumnya. Bahkan ibu dan almarhum nenek juga tidak pernah menyinggung tentang perkara nikah gantung ini sama sekali.
"Monggo, silahkan di minum, pak Andi." ucap mbak Lusi sambil menyodorkan satu cangkir teh ke meja di depan pak Andi.
Mbak Lusi yang tadi pergi ke belakang telah kembali dengan tiga cangkir teh panas. Satu untuk pak Andi dan yang dua cangkir adalah untuk Ratria serta untuk mbak Lusi nikmati sendiri. Hawa perkebunan saat malam begini memang menyaingi temperatur dalam kulkas saja dinginnya.
"Bagaimana, Ratria? Kamu sudah baca sendiri?" tanya mbak Lusi tiba-tiba.
"Mbak, kamu sudah tahu,?" sambut Ratria terheran. Dan mbak Lusi mengangguk membenarkan.
"Sebelumnya embak minta maaf ya Rat. Aku ini sebenarnya pegawai suami kamu, pak Syahdan. Aku bertugas ikut merawat nenek kamu saat sakit dulu. Dan sekarang menyambung tugas menemani kamu untuk tinggal di rumah ini," jelas mbak Lusi yang bagi Ratria kian membingungkan.
"Untuk apa, mbak,?" tanya bingung Ratria. Mata bening itu kian melebar.
"Ya untuk meringankan hari-hari kamu. Sebab, kamu adalah istrinya pak Syahdan. Masak seorang gadis tinggal sendiri di tempat terpencil begini. Kamu nggak ngeri, Rat,?" tanya mbak Lusi bergidik. Cepat-cepat gadis jelita berambut indah itu menggeleng.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Bunda Nian
Thooor....
Aku baru tau novel baru kamu ini loh, karna ngecek propile kamu. Soal nya penasaran koc gak ada kabar nya. Eeh ternyata sudah sampe episode puluhan.
Mungkin gak kebaca waktu NT kasih notifikasi.
Seperti biasa novel mu selalu beda dan menarik. Jadi penasaran terus.
2023-02-02
1
M akhwan Firjatullah
yuha yuhu akoh Dateng nih Thor...holla hallo tak tunggu Ben kok ga up LG Thor...opo wes tamat Yo....aku tak Rene dulu berkelana bareng ratria ...
2023-01-10
1
Novelable uwwu
pengen mampir krn kangen othornya..
2023-01-07
1