NovelToon NovelToon

Telah Dikawin Gantung

01. Tamu Asing

Hutan lebat perhutani di kanan kiri jalan, adalah pemandangan biasa bagi Ratria. Gadis cantik yang asli lahir dan tinggal di area terpencil perkebunan teh perhutani, Sirah Kencong, Blitar.

Suasana jalanan telah gelap dan hanya diterangi lampu remang yang tergantung di tiang tinggi tepi jalan. Dengan jumlah yang jarang, sebab jarak antara tiang lampu satu dengan tiang lampu berikutnya sangat saling berjauhan. Tapi Ratria tidak gentar.

Jalan yang membelah perhutani dan menghubungkan antara kota kecil Wlingi dengan perkebunan teh Sirah Kencong di Blitar, sangat lengang malam ini. Ratria sedang berada dalam taksi. Dengan sopir yang biasa mengantar saat berangkat dan menjemput saat pulang.

Hari ini mungkin sedang hoki bagi Ratria. Sopir yang hampir tiap hari menyervis pelanggan dengan motor roda dua, hari ini menjemput pulang Ratria dengan taksi. Mobil simpanan yang hanya dikeluarkan saat genting. Saat mendesak seperti hujan deras, atau mengantar dan menjemput pelanggan dengan tujuan sangat jauh.

(foto: sirah kencong saat pagi pukul 6.00 WIB)

"Tadi ke Telkom, lowongannya apa saja, ning?" tanya pak sopir yang bernama pak Eko.

Pak Eko juga tinggal di lingkungan perumahan dinas di perkebunan teh Sirah Kencong. Sama area dengan perumahan dinas yang ditinggali Ratria. Berlokasi di dataran, tepat di bawah hamparan perkebunan dan pabrik teh Sirah Kencong.

"Banyak, pak Eko. Tapi aku masukin lamaran ke bagian layanan publik. Kayaknya bisa seneng jika dapat bagian itu. Akan berhadapan dengan banyak orang," sahut Ratria. Gadis cantik berhidung runcing dan mungil itu sambil memainkan ujung kerudung biru tosca di kepalanya.

"Tadi ketemu Hendra nggak di sana,?" sambung tanya dari pak Eko.

"Enggak, pak . Yang ngelamar banyak. Aku lihat mas Hendra, tapi mas Hendra nggak lihat aku, pak. Sibuk," jelas Ratria sambil menggeleng. Pak Eko yang melihat dari cermin pantau di atas kepalanya pun mengangguk.

Hendra adalah keponakan pak Eko yang bekerja sebagai pegawai senior di PT Telkom- Wlingi. Dan dari Hendralah pak Eko mendengar adanya lowongan yang kemudian laju dikabarkan pada Ratria. Penumpang langganan yang sedang galau mencari kerja.

Ratria baru saja menamatkan bangku kuliah pada salah satu universitas milik negara di kota Malang. Dengan menyandang gelar S1 di bidang teknik informatika. Yang selesai tepat dalam empat tahun dengan hasil dan nilai yang gemilang. Meski bukan seorang camlaude, tapi bagi Ratria itu cukup memuaskannya.

Perjalanan membelah hutan gelap akhirnya berakhir. Pak Eko telah menyandarkan taksi di depan salah satu pagar rumah dinas. Rumah yang nampak lain dan telah dipugar jadi minimalis dan cantik. Rumah dinas dari neneknya Ratria yang baru tiada dari dunia tujuh bulan yang lalu.

"Terimakasih, ya pak Eko. Salam buat mas Hendra. Terimakasih juga untuknya,,!" seru gadis semampai itu sebelum taksi melaju berlalu. Dan dibalas oleh pak Eko dengan lambaian tangan di jendela.

Rumah mungil yang akan menyala terang selama dirinya belum pulang, nampak indah dan gemerlap, sangat menyenangkan dipandang. Rumah dinas dari perhutani untuk sang kakek yang diwariskan kepada nenek dan sekarang ditempati oleh Ratria.

Dan Ratria merasa tidak berhak memiliki rumah dinas itu. Serta tidak paham bagaimana status dirinya pada rumah itu. Namun merasa begitu cinta pada rumah dinas tempatnya lahir, dan juga sebagai naungan tumbuh kembangnya hingga besar seperti sekarang.

"Assalamu'alaikum," sapa Ratria pada seorang wanita berusia empat puluh tahunan. Wanita berperawakan besar itu sedang membuka pintu untuknya.

"Wa'alaikumsalam. Bagaimana lamarannya, Rat,?" tanya wanita itu sambil memperhatikan Ratria.

Adalah mbak Lusi, yang tiba-tiba datang saat sang nenek mulai sakit dan membantu mengurusi. Wanita itu mengatakan jika dirinya adalah orang suruhan dari pihak perkebunan untuk membantu merawat lansia yang sedang sakit seperti sang nenek. Namun mbak Lusi tetap ada menemani Ratria hingga sekarang.

Dan Ratria tidak lagi menanyakan alasannya kenapa. Merasa sangat terhibur dengan adanya mbak Lusi yang tetap tinggal bersama di rumah dinas. Tidak bisa dibayangkan, betapa kesepian Ratria tanpa mbak Lusi setelah sang nenek berpulang ke sisiNya.

"Belum jadi interview, mbak. Nggak dipanggil, rame," jawab Ratria sambil meletak sepatu di rak susun dekat pintu.

Lalu berjalan tergesa sambil melepas kerudung segi empat dari kepala. Meletak asal di atas sofa begitu saja. Membuka gulungan rambut indahnya yang panjang. Nampak berkilau dengan dibuat bergelombang di ujung. Ratria nampak mempesona dan cantik.

Tubuhnya semampai dengan kulit cerahnya yang mulus. Mengenakan celana kain panjang dan berkemeja lengan panjang. Yang kini telah disingsingkan menjadi pendek-pendek atas bawah. Sangat pas dengan tubuh idealnya yang memabukkan dipandang.

"Semoga masuk saja dulu di tahap penyeleksian, Rat," sahut mbak Lusi kemudian. Memberi segelas air bening untuk Ratria.

"Aamiin. Terimakasih, yo mbak," Ratria sambil mengangguk dan duduk. Mengambil gelas air dan meminumnya sekaligus.

Tok...Tok..Tok..!!

Bunyi ketukan dipintu mengejutkan Ratria. Malam telah gelap. Siapa yang berani bertamu hampir larut begini..

Tetangga di perumahan sebelah bahkan tidak pernah bertandang saat malam. Namum mbak Lusi telah meluncur menuju pintu dan membukanya dengan lebar. Terlihat sama sekali tidak was-was, jauh beda dari apa yang sedang Ratria rasakan. Gadis cantik itu nampak siaga dengan cemas dan berdebar. Makhlum, jika ada apa-apa, hanya ada perempuan saja di dalam rumah itu.

Mbak Lusi telah membawa tamu lelaki asing untuk masuk dan duduk di kursi ruang tamu dengan tenang. Mereka terlihat biasa dan seperti sudah saling mengenali.

"Ratria, kemarilah, nduk,,!" panggil mbak Lusi pada gadis berumur dua puluh tiga tahun itu.

Dengan penuh debar tanya, yang dipanggil segera datang mendekat dan duduk. Kepala cantiknya dibiarkan terbuka tanpa kerudung. Ratria sedang abai dan tidak ingin mengenakannya. Merasa tidak perlu jika sudah mendekam dalam rumah. Tidak peduli meski tamu itu adalah lelaki sekalipun.

Lelaki yang mengenakan hem warna putih dengan kaca mata berbingkai hitam itu mengamati Ratria sejenak. Lalu membuka tas lempengnya yang mungkin hanya berisi lembaran kertas dan tanpa laptop di dalamnya. Mengeluarkan sebuah ponsel yang terdengar berbunyi beberapa detik yang lalu.

"Hem..Selamat malam, dengan nama Ratria Asma Amoro, betul,?" sapa tamu asing lelaki itu memandang Ratria. Gadis yang nampak cerah dengan mata berbinar dan jernih.

"Iya, betul. Bapak siapa?" tanya Ratria terheran. Mengamati lekat pada tamu larut malamnya.

"Perkenalkan, nama saya adalah Andi. Asisten pribadi pak Syahdan Gemilang Ahmad. Dan pak Syahdan adalah suami kamu, Ratria,," ucap tamu asing yang isi katanya tentu sangat mengejutkan perasaan Ratria. Tiada angin tiada hujan, tiba-tiba datang saat malam. Dan membawa berita yang sangat mengejutkan.

"Appa, pak,,?!!" seru Ratria terpekik. Sangat terkejut dengan wacana yang baru diumumkan oleh tamu lelaki yang bernama pak Andi. Seperti akan runtuh saja langit pekat di luar sana. Benar-benar sangat aneh.

"Benar, Ratria. Kamu sudah dinikahkan dengan pak Syahdan saat kecil. Saat ayahmu baru saja tiada. Dan ini adalah lembar bukti pernikahan kalian." Pak Andi menyodorkan selembar kertas pada Ratria.

Serasa tak percaya saat membaca selembar kertas bertajuk Sertifikat Pernikahan. Ada namanya di sana. Telah dinikahkan dengan Syahdan saat lelaki itu berusia dua belas tahun dengan Ratria yang masih berusia lima tahun. Dan disetujui oleh ibunya bersama sang nenek di hadapan penghulu waktu itu.

"Apakah ini seperti kawin gantung,,?" tanya lirih Ratria. Memandang lebar-lebar lelaki berkacamata yang nampak berkharisma meski agak tua.

"Mungkin. Mungkin itulah istilah tepatnya," sahut pak Andi membenarkan.

Ratria mengerutkan dahi rapat-rapat. Masih tidak bisa percaya sedikit pun. Perkara tentang dirinya yang serius dan berat, tiba-tiba datang tanpa ada bisik-bisik gosip tipis sebelumnya. Bahkan ibu dan almarhum nenek juga tidak pernah menyinggung tentang perkara nikah gantung ini sama sekali.

"Monggo, silahkan di minum, pak Andi." ucap mbak Lusi sambil menyodorkan satu cangkir teh ke meja di depan pak Andi.

Mbak Lusi yang tadi pergi ke belakang telah kembali dengan tiga cangkir teh panas. Satu untuk pak Andi dan yang dua cangkir adalah untuk Ratria serta untuk mbak Lusi nikmati sendiri. Hawa perkebunan saat malam begini memang menyaingi temperatur dalam kulkas saja dinginnya.

"Bagaimana, Ratria? Kamu sudah baca sendiri?" tanya mbak Lusi tiba-tiba.

"Mbak, kamu sudah tahu,?" sambut Ratria terheran. Dan mbak Lusi mengangguk membenarkan.

"Sebelumnya embak minta maaf ya Rat. Aku ini sebenarnya pegawai suami kamu, pak Syahdan. Aku bertugas ikut merawat nenek kamu saat sakit dulu. Dan sekarang menyambung tugas menemani kamu untuk tinggal di rumah ini," jelas mbak Lusi yang bagi Ratria kian membingungkan.

"Untuk apa, mbak,?" tanya bingung Ratria. Mata bening itu kian melebar.

"Ya untuk meringankan hari-hari kamu. Sebab, kamu adalah istrinya pak Syahdan. Masak seorang gadis tinggal sendiri di tempat terpencil begini. Kamu nggak ngeri, Rat,?" tanya mbak Lusi bergidik. Cepat-cepat gadis jelita berambut indah itu menggeleng.

02. Telah Dikawin Gantung

Pak Andi menyeruput cangkir berisi teh manis yang tadi berkebul uap panas kini telah menghangat sangat cepat. Hawa perkebunan benar-benar dingin menusuk malam ini.

"Pak Andi, apa penyebab saya dikawin gantung oleh pak Syahdan,?" tanya Ratria terheran. Memperhatikan pria yang berkharisma itu meneguk teh hangat dengan nikmat. Yang kemudian mengangguk padanya.

"Mbak Lusi, tolong ceritakan pada Ratria kronologi waktu itu," ucap pak Andi menoleh dan memandang mbak Lusi.

Ratria menatap mbak Lusi yang sedang juga memandang wajahnya. Wanita berkerudung lebar itu nampak mempersiapkan diri untuk memulai berbicara. Nafas yang tadi begitu jelas panjang ditarik, kini telah kuat dihembuskan dari dua lubang hidungnya.

Dan mbak Lusi mulai bercerita.

Meski pak Andi sudah hafal di luar kepala, tapi wajah berkacamata itu tetap menyimak cerita mbak Lusi dengan serius. Tak kalah dengan Ratria. Gadis itu sangat fokus menatap dan mendengar suara mbak Lusi yang sedang berkisah pada kejadian delapan belas tahun yang lalu. Kejadian menyedihkan yang membuat Ratria direlakan oleh ibu dan neneknya untuk dikawin gantungkan dengan pak Syahdan.

"Jadi, ayahku sakit dan kemudian meninggal, setelah merawat keluarga mereka, mbak,?" tanya Ratria dengan wajah yang sedih.

"Iya, Rat. Ayahmu adalah mantri muda yang sangat baik, tidak peduli saat itu tengah lockdown. Ayahmu datang demi mendengar ada keluarga pendatang yang terisolir dan sedang sakit di villa pabrik." Mbak Lusi menjelaskan kembali.

Mata Ratria berkaca air, mencoba mengingat kejadian sedih kala dirinya masih kecil. Seperti yang baru mbak Lusi katakan. Saat sebuah wabah virus yang dianggap ganas menyerang seluruh pelosok negeri. Tak terkecuali seluruh penjuru di Blitar.

Yang akhirnya pemerintah mengambil tindakan darurat sementara. Yaitu tindakan lockdown serentak di seluruh daerah tanah air. Begitu dianggap menyeramkan ancaman keganasan wabah virus waktu itu.

Hingga seluruh pemerintahan mematuhi aturan pembatasan dari pusat sampai ke pelosok terpencil sekalipun. Tak terkecuali di lingkungan masyarakat yang tinggal di daerah perhutani Sirah Kencong.

Dan tibalah hari itu, hari-hari yang lengang di saat berlaku masa lockdown. Hari saat bos besar sekaligus pemilik pabrik teh di perkebunan turun ke kampung dan mencari bantuan. Ada tiga anggota keluarganya yang tiba-tiba sakit dan mungkin sedang kritis.

Dokter pribadi keluarga yang ditelepon, sedang di luar negri dan terpaksa tidak bisa menolong. Dan seluruh pegawai pabrik dan villa, serta sopir keluarga yang berasal dari luar kota juga sedang diliburkan.

Bos besar mendatangi rumah ketua kampung. Dan oleh ketua kampung diajak mendatangi rumah ayah Ratria yang seorang mantri muda sekaligus perawat tetap di RSUD kota Wlingi.

Singkat cerita, ayah Ratria berhasil menyembuhkan pasangan suami istri yang merupakan anak dan menantu dari bos besar perkebunan dan pabrik teh. Namun sayang sekali, istri dari bos besar yang mulanya memang sudah sering sakit. Tidak mampu diselamatkan lagi oleh ayah Ratria.

Satu minggu setelah peristiwa, ayah Ratria ternyata juga sakit keras tanpa disangka dan tidak berhasil mengobati dirinya. Nyawanya tidak tertolong lagi meski sudah dilarikan oleh ambulance ke rumah sakit umum daerah di kota Wlingi.

Dan lebih menyedihkan, belum ada satu bulan, kakek Ratria juga sakit keras dan meninggal dunia secara mendadak sebelum sempat dilarikan ke rumah sakit.

Jadilah sejak saat itu, Ratria tinggal bersama ibu dan sang nenek di rumah dinas. Rumah peninggalan kakek yang seorang pegawai perhutani Sirah Kencong. Rumah yang hanya boleh ditinggali tapi tak bisa dimiliki.

Beberapa minggu setelahnya, boss besar perkebunan tiba-tiba datang mencari ayah Ratria. Ternyata ingin menyampaikan terimakasih. Merasa sangat terkejut, bukan ayah Ratria yang ditemui namun justru kabar duka yang dijumpainya.

Dan hati tuanya tersentuh dengan pemandangangan mengharukan. Gadis cilik yang sangat cantik tengah menangis tersedu dengan dipangku sang ibu, menyebut rindu sang ayah. Yang ibunya juga tak kalah sedunya menangis, menyebut sedih sang suami.

Sang nenek pun tak kalah mengharukan. Menangis sesenggukan mengingat dua lelaki tercinta yang lebih dulu berpulang meninggalkannya. Sosok suami dan juga sosok anak lelaki semata wayangnya.

Dan bermula dari pemandangan sedih itulah kesepakatan kawin gantung antara gadis mungil, Ratria, dengan lelaki kecil, Syahdan itu terjadi. Persetujuan dua keluarga untuk menikahkan anak-anak kecil mereka demi rasa terimakasih tak bertepi dari bos besar, dalam sebuah ikatan yang kekal dan abadi.

"Jadi kata pak Andi itu benar, mbak? Aku telah dikawin gantung dengan cucu pemilik perkebunan dan pabrik,?" tanya Ratria pada mbak Lusi. Meski sudah paham dengan alasan dan mulai percaya, gadis itu ingin memastikan akan kebenaran hal itu sekali lagi.

"Benar sekali, Rat. Mungkin kamu sudah lupa, saat kamu umur hampi tujuh tahun, ibumu menikah lagi dengan ayahmu yang sekarang itu. Aku datang mengasuhmu selama dua tahun. Sebab kamu hanya diasuh oleh nenekmu yang saat itu agak kerepotan," terang mbak Lusi.

"Jadi sebelum ini, mbak Lusi pernah datang dan tinggal bersama kami?" tanya Ratria.

"Iya, Rat. Mengasuh kamu selama dua tahun.Dari umur tujuh sampai sembilan tahun." terang mbak Lusi. Dan Ratria terdiam, tidak bertanya apa-apa lagi.

"Pak Andi," panggil Ratria pada lelaki yang konon adalah asisten pak Syahdan.

"Siapa sebetulnya yang memintamu datang ke sini malam-malam begini? Bukankah kudengar, bos besar perkebunan telah meninggal hampir tiga minggu yang lalu?" tanya Ratria.

"Pak Syahdan yang memintaku untuk menerangkan ini, Ratria. Sebab dalam waktu dekat, entah besok atau lusa, pak Syahdan akan datang dan membawa kamu ke villa di pabrik," jelas pak Andi.

"Apakah pernikahan ini berguna untuk pak Syahdan, pak? Bagaimana jika aku keberatan? Sebab aku merasa masih sangat muda, belum ingin menikah, baru lulus sekolah dan masih ingin merasa bagaimana mencari rupiah. Aku benar-benar kaget dan shock, pak Andi," terang Ratria menyiratkan keberatan dirinya. Dan pak Andi mengangguk.

"Maaf, Ratria. Aku paham maksudmu. Tapi di sini, peranku hanya sekedar menyampaikan padamu. Tentang keberatan dan pendapatmu, kamu bisa membicarakan hal itu dengan pak Syahdan secara langsung. Mencoba tidak ada salahnya, Ratria," jawab pak Andi mendukung. Memahami perasaan gadis muda yang baru menyelesaikan bangku kuliahnya bulan lalu.

"Baiklah, sebab malam sudah larut, kurasa kedatanganku cukup seperti ini dulu sementara. Aku akan datang kembali dengan membawa pak Syahdan. Beliau sedang pulang sebentar ke kota Malang," terang Pak Andi sambil menutup rapat tas hitam miliknya. Bersiap berdiri untuk segera pergi keluar dari rumah.

"Jika tiba-tiba ada yang membingungkan, kamu bisa menanyakan apa saja pada mbak Lusi. Barangkali dia bisa menjawab segala apapun rasa ingin tahu kamu sementara," sambung pak Andi menerangkan dengan berdiri.

Ratria hanya memandang lekat dengan mematung dan bungkam. Masih begitu bingung dan bimbang. Hingga pak Andi benar-benar telak menghilang dari pandangan, dan pintu telah ditutup kunci lagi oleh mbak Lusi rapat-rapat.

🍃🌱🍃🍃🍃🍃

Vote me, please... Love you...

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

03. Boss Baru

Belasan jam lalu pada hari yang sama di pabrik teh perkebunan..

Seorang lelaki berkacamata berusia hampir enam puluh tahun, sedang berkeringat di pelipis meski hawa di bukit perkebunan sangat sejuk saat itu. Menemui boss baru pengganti boss lama yang baru saja meninggal dunia karena sakit mendadak. Mereka tengah berada di ruang kerja milik almarhum boss besar di pabrik.

"Keuangan atas nama Yakub Achmad di Bank Central Asia, tidak bisa dikeluarkan untuk akhir bulan ini, Pak Syahdan," lapor lelaki berkacamata pada lelaki tampan dan tampak maih muda.

Lelaki itu berkerut dahi sejenak.

"Kenapa, bukankah pembayaran untuk seluruh karyawan pabrik biasanya dikeluarkan oleh bank itu? Sedang aku sudah bertanda tangan di peluncuran salary bulan ini," ucap lelaki bernama Syahdan dengan tenang.

"Pihak bank mengatakan, tanda tangan Anda belum sah. Untuk mendapat penjelasan, Anda harus bertemu dengan pengacara pribadi kakek Anda, Pak Syahdan," terang Pak Andi pada boss barunya.

"Tolong panggilkan pengacara pribadi kakekku secepatnya, Pak Andi," kata Syahdan pada Pak Andi yang berusia jauh lebih tua darinya.

"Anda ingin memanggilnya datang atau bertemu di kota,?" tanya Pak Andi memastikan. Mengamati calon boss muda yang juga sedang menatap lekat padanya.

"Minta datang ke pabrik, Pak Andiii," ulang Syahdan seolah sedang menyabarkan diri saat berkata pada asisten warisan sang kakek.

"Baik, Pak Syahdan. Akan segera saya kabari. Permisi." Pak Andi undur diri. Berbalik badan menuju pintu dan lenyap di sana.

Syahdan menatap pintu dengan ekspresi yang seolah bisa menembusi kayu itu dengan kedua bola matanya. Dengan tangan memegang pena yang diketuk-ketukkan ke meja.

Ingin segera menyelesaikan masalah pembayaran pekerja pabrik dan kebun bulan ini. Bulan pertama setelah sang kakek tiada, sebab stroke mendadak setelah terjatuh di kamar mandi.

Syahdan terpaksa datang ke tempat terpencil di area perhutani dengan paksaan dari ayahnya. Demi iming-iming jika kebun dan pabrik telah diberikan seluruhnya pada Syahdan oleh sang kakek. Yang jika diuangkan, tentu tidak akan habis di belanjakan hingga beberapa keturunan.

Namun, ternyata tanda tangan yang dibubuhkan di selembar kertas berisi instruksi kepada bank untuk penarikan dana pabrik sedang bermasalah. Dana yang seharusnya sudah masuk ke rekening tiap-tiap pegawai tengah hari ini sebagai gaji bulanan, terpaksa di pendingkan.

#

Kepala berambut tebal dengan potongan sangat pendek itu perlahan menoleh pada benda yang berbunyi dan menyala di ujung meja. Mengambil dan memegangnya sejenak. Lalu membawanya rapat ke telinga.

"Ya, halo. Assalamu'alaikum, Judith." Syahdan fokus pada suara di ponsel tanpa kedip sekali pun.

"Akan aku usahakan. Sedang ada masalah kecil di perusahaan kakek yang kudatangi ini." Syahdan berkata sambil menyandar. Meletak kepala di pucuk kursi. Kursi kerja kesayangan kakeknya semasa bertahta di perkebunan.

"Iya. Sekali lagi akan aku usahakan. Jika terpaksa tak bisa datang. Kamu harus tetap bersemangat, Judith," ucap Syahdan sambil menghela napas panjang.

"Apa ...? Hanya aku yang membuatmu bersemangat? Ha...ha.... Bukankah Khairy bilang juga datang?" Wajah lelaki dewasa itu tampak pias. Meski lawan bicaranya sedang di seberang, Syahdan terlihat tidak tenang. Lelaki itu berdiri sebentar lalu duduk kembali dan tersenyum.

"Baiklah, tunggu saja. Aku akan datang," tukas Syahdan dengan wajah kian cerah. Terdiam fokus dengan bayang senyum di bibir.

"Iya, Judith. Hati-hati. Wa'alaikumsalam." Syahdan memberi balas salam sebelum menjauhkan ponsel dari telinga. Duduk menyandar dengan memandangi layar ponsel. Ada wajah jelita yang tersenyum manis di layar ponsel. Wallpaper.

🍃🍃🍃🍃🍃

Pengacara pribadi yang masih muda. Bahkan lebih muda dari klien. Pengacara pengganti sang ayah yang sudah angkat tangan dari segala tugas di arsipnya. Kini tengah memandang lurus pada Pak Andi dan Pak Syahdan.

"Seperti itulah," kata pengacara muda itu setelah membunyikan wacana.

"Jadi untuk sementara, harus ada tanda tangan perempuan yang bernama Ratria?" tanya Syahdan pada pengacara muda di depannya.

"Seperti itulah," kata pengacara muda yang dingin dengan kalimat dan nada sama persis.

"Ratria adalah perempuan penting bagi Anda, Pak Syahdan," ucap Pak Andi meluruskan. Syahdan melirikkan mata sekilas.

"Jika aku tidak menikah kembali dengan perempuan itu, apa yang terjadi?" tanya Syahdan dengan ekspresi tidak puas.

"Tujuh puluh persen dari perkebunan serta aset pabrik yang harusnya jadi milik Anda, akan batal. Harus di bagi rata dengan ketiga saudara anda yang lainnya. Namun, selama Anda belum mengambil keputusan, segala hal yang berkaitan dengan dana di kebun dan pabrik, harus ada tanda tangan dari pemilik nama Ratria di bawah nama anda." Pengacara muda itu mengambil lembaran kertas berlaminating dari meja. Berisi mandat almarhum boss besar yang baru saja dibaca oleh Syahdan.

"Semua lembar dana apa pun, harus ada tanda tangan perempuan itu? Bukankah sangat merepotkan?" tanya Syahdan bergumam.

"Seperti itulah," sahut pengacara dingin, kembali dengan kalimat yang sama. Dua kata lempeng itu terdengar menyebalkan di telinga lebar Syahdan.

"Jadi, silahkan anda memilih bagaimana baiknya, Pak Syahdan," kali ini adalah suara pak Andi. Tapi tetap terdengar tidak nyaman bagi Syahdan.

"Tak ada kebaikan yang patut kupilih, Pak Andi," kata Syahdan dengan sinis.

"Jangan lupa. Ratria adalah anak gadis dari seseorang yang sangat berjasa untuk Anda. Jika bukan karena ayahnya Ratria, mungkin sekarang Anda tidak memiliki orang tua. Bahkan Ratria juga kehilangan ayah serta kakeknya setelah datang dan merawat keluarga anda waktu itu, Pak Syahdan. Selain sebab takdir dari yang di atas tentunya." ulas panjang sang pengacara dingin.

"Lalu, apa hak gadis itu setelah menikah denganku? Selain seluruh biaya hidup dan sekolah yang sudah ditanggung oleh kakekku?" tanya Syahdan dengan wajah yang masam.

"Akan memiliki hak penuh pada rumah dinas yang ditempatinya itu. Tentu anda wajib memberinya nafkah lahir dan batin." Pengacara berbicara dengan acuh sambil menunjuk lembar lainnya pada Syahdan.

Syahdan menyambar cepat dan laju membaca. Berisi kepemilikan rumah dinas yang ditempati Ratria. Berbunyi sama dengan yang baru dijelaskan oleh pengacara padanya.

"Bagaimana jika gadis itu menolak?" tanya Syahdan dengan wajah agak cerah. Berharap ada celah penyelamat agar terbebas dari syarat berat sang kakek.

"Seperti tadi, sama dengan jika Anda menolak. Hanya gadis itu masih berhak tinggal di rumah dinas hingga dia menikah dan ikut suaminya," jelas pengacara dingin.

"Kenapa kakek menyulitkanku?" tanya Syahdan nampak kesal.

"Bukan menyulitkan Anda. Tapi hanya mengajarkan Anda untuk lebih memahami balas budi," tegas pengacara.

"Kenapa aku, bukankah ada adik-adikku yang juga lelaki?" tanya Syahdan kurang puas.

"Apa anda tidak malu... sebagai anak lelaki tertua, membiarkan adik anda yang memikul beban keluarga?" tegas pengacara kembali.

"Apa ditulis di sana, jika yang menikah dengan gadis itu adalah salah satu dari adikku?" tanya Syahdan. Kembali mencari celah.

"Tidak. Tapi saya akan memberi solusi dengan sama jika anda menolaknya," sahut tegas pengacara.

Syahdan menghempas punggung di sandaran kursi kerja. Memandang tajam pengacara yang nampak acuh dan terus membuka lembar-lembar yang entah apa isinya. Lalu memandang asisten Andi cukup lama. Syahdan tengah berfikir dengan gundah gulana.

"Pak Andi, temui gadis itu di rumah dinas secepatnya. Aku akan ke Malang habis ini. Setelah itu ke Surabaya. Mungkin akan datang kembali besok dan paling lambat lusa." kata Syahdan dengan tegas.

"Tapi para pekerja harus segera mendapat gajinya, Pak Syahdan." Pak Andi keberatan.

"Akan kupercepat kedatanganku," kukuh Syahdan tak terpatahkan.

"Baiklah, Pak Syahdan. Akan kuberitahu gadis itu di rumahnya," sahut Pak Andi dengan pasrah. Berharap para pekerja kebun dan pabrik mau bersabar. Setidaknya mengundur pembayaran keringat mereka dua hari ke belakang. Dan siang ini akan ditemuinya Ratria.

Sedang gadis yang bernama Ratria dan akan ditemui pak Andi, tengah turun ke kota untuk melamar kerja di PT Telkom Wlingi..

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!