Munafik

Munafik

Siapa?

Embusan dingin menyapu permukaan kulit wajah ku, terlihat dedaunan kuning dipaksa untuk jatuh dari dahan oleh angin tersebut. Dengan berat hati mereka berguguran, terseret sebentar sebelum mencium sakitnya permukaan tanah yang dilapisi rerumputan.

Aku termenung, duduk disebuah kursi kosong yang disediakan secara gratis oleh taman. Tiada seorangpun disana selain diriku, berdiam dibawah langit yang begitu mendung. Tempat ini, sedikit terasa asing namun juga familiar untuk ku dalam satu waktu. Sekali pandang dapat membuatku rindu tapi pandangan lainnya membuat ku bingung.

Pernahkah diriku kemari?

Pernah?

Jawabannya—tak tahu.

Aku benar-benar tidak bisa mengingat apapun. Siapa aku? Siapa sebenarnya aku dimasa lalu? Kenapa aku, tidak bisa mengingat secuilpun tentang diriku?

Rea.

...___________________...

...S i a p a ?...

...___________________...

...__________...

...____...

..._...

"Rea?!" Aku menoleh, seseorang baru saja memanggil nama ku. Wanita tinggi dengan pakaian terbuka terlihat berlari menyusuli diri ku yang sedang menunggunya di lorong dalam kampus.

"Hosh... hosh..." napasnya terengah. Begitu sampai wanita yang tidak lain bernama Fian itu menekuk-kan tubuhnya; bertumpu pada lutut sambil berusaha menstabilkan tekanan napasnya.

Aku memilih buka suara, terlalu lama jika menunggu wanita itu untuk bicara.

"Ku pikir kau tidak akan datang hari ini," ucapku. Dia bilang kalau dia malam tadi menghadiri pesta disebuah klub malam dan tidak akan bisa menghadiri kelas dikeesokan harinya. Lantas kenapa wanita itu malah kemari? Masih menggunakan pakaian semalam pula.

Fian menyapu kasar bibirnya, tampilan wanita itu sedikit berantakan dari pada biasanya. Bahkan lingkar hitam yang menandakan kalau wanita itu tidak mendapat tidur berkualitas tadi malam terlihat sangat jelas. Bolehkah aku tertawa? Fian benar-benar lucu.

"Jangan tertawa!" dengus wanita itu kesal.

Aku dan dia mulai berjalan, menyusuri lorong kampus menuju kelas kami pagi ini dengan irama yang pelan. Ini masih terlalu pagi, hanya beberapa anak rajin yang mau berhadir lebih dulu didalam ruangan kelas sambil berleha, contonya seperti aku dan? Fian. Dia bercerita kalau tadi malam dia bertemu dengan seorang lelaki gila yang mencoba melecehkan dirinya. Ku hardik pakaian mu Fian, siapa yang tidak bernafsu ketika melihatnya. Perlu ku lepaskan kemeja milik ku lalu menyerahkan benda itu padanya? Percuma, dia senang pamer.

Dasar binal.

"Lalu bagaimana kau bisa lolos dari lelaki hidung belang itu?" tanya ku, dia menoleh. Matanya benar-benar mantap, okay mari kita dengarkan apa yang akan wanita itu ceritakan padaku.

"Ada lelaki asing lainnya yang menolong ku?! Dia benar-benar tampan Rea!!! Oh My—! Jantung ku berdebar tiap mengingatnya..." Aku mengangguk, baiklah-baiklah. Aku sudah bosan dengan pola cerita yang sama. Biar ku tebak, setelah itu kau menghabiskan malam dengan lelaki penolong mu karena wajahnya benar-benar sesuai dengan selera mu 'kan Fian?

Dia hanya terkekeh, padahal aku belum bertanya. Hah~ sudahlah.

"Lebih baik kita," usul ku gantung, aku ingin membawa Fian cepat-cepat ke-kelas; berjalan dengan lambat membuatku lelah—tapi sebelum itu ada sesuatu yang mengganggu pikiran ku. Spontan langkah ku berhenti, diikuti Fian yang menantap ku penuh rasa penasaran.

Aku meneliti dari atas hingga kebawah penampilan dari temanku itu. Baiklah, sudah kuputuskan—

"Kita mampir ke-kamar mandi dulu, benahi riasan berantakan di wajahmu itu Fian... kau mirip orang gila," ungkap ku jujur, berhasil menarik perasaan kesal dari wanita tersebut. Dia mendengus, menyilangkan tangan kedada sambil berjalan cepat meninggalkan ku lebih dulu dengan langkah mengentak. Aku terkekeh, mencoba menyusuli dirinya. Meski begitu—apa hanya perasaanku saja? Rasanya sedari tadi seperti ada seseorang yang menantapku dari kejauhan.

"Rea!"

"Aku datang~"

...***...

Sudah lewat 3 tahun aku tinggal dan menentap di-kota kecil ini. Tidak ada hal menarik dari kota tersebut, selain fakta diriku yang kehilangan ingatan karena sebuah kecelakaan lalu lintas. Kepala ku terbentur, cukup keras hingga memerlukan waktu lama untuk pengobatan.

Tidak punya keluarga atau benar-benar jauh dari keluarga, hanya itu opsi yang dapat ku pikirkan. Orang-orang bilang kalau aku ini adalah pendatang, tidak punya kenalan ataupun saudara. Benar-benar sendirian saat itu, hanya ada beberapa berkas soal aku yang mengambil kuliah di-kota kecil ini. Alih-alih di ibu kota, bahkan catatan tentang masa lalu ku seperti ludes dimakan api. Tak bersisa, sebelum kemari? Dimana dulu aku tinggal?

Meski sedikit kesulitan beradaptasi, aku akhirnya bisa beraktivitas dengan normal. Sendirian. Setelah masa pemulihan berakhir aku langsung mengambil putusan untuk kembali kuliah, tertunda satu tahun lebih sudah cukup membuatku takut. Aku hidup dari uang beasiswa, jika itu ditarik aku akan benar-benar habis. Menjadi gelandangan disudut jalan sambil meringkuk kedinginan tanpa seorangpun yang dapat mengenali diriku atau sebaliknya.

Masa depan yang ironis. |

Untungnya aku bertemu dengan Fian, walau dia wanita yang sedikit nakal. Solidaritas dia terhadap teman cukup tinggi, ketika aku bilang kalau kepala ku terasa sakit dan nyaris menangis dia akan dengan lantang menyeretku keluar menuju rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan medis. Boleh ku sebut sebagai keluarga? Fian, dia berharga.

Untuk sosok yang bahkan tidak bisa mengingat siapa dirinya sebenarnya sepertiku.

Cekrek!

Spontan aku melirik, suara janggal apa itu? Aku tengah berdiri di balkon apartemen milikku. Dengan penuh inisiatif aku menoleh kebawah, kalau-kalau sumber suara janggal itu berasal dari sana. Seperti suara jepretan kamera? Ada yang sedang memotret?

Tapi? Ketika ku tilik kesana-kemari, tak ada apapun disana. Hanya balkon-balkon kosong milik tetangga, hanya perasaan ku saja 'kah?

Lagi-lagi aku merinding. Sungguh, demi Tuhan—aku benar-benar merasa seperti tengah diperhatikan.

Siapa itu?

"Siapa disana?" gumamku penasaran. Bertanya pada udara, walau hanya ada deburan angin malam yang menyapu permukaan kulit wajah ku sebagai jawaban. Mengigit dengan rasa dingin mereka.

Ergh!

Lebih baik masuk kedalam. Aku berbalik, melenggang pergi dari area balkon menyisakan sedikit kesunyian disana.

CEKREK!

.

.

.

.

.

"REAAAAA!"

"AKU MENCINTAI MU, JADI KU MOHON—!"

Bugh!

Aku tersentak, mataku spontan terbuka.

"Kau tertidur Rea..." ucap Fian, aku menggeleng. Hanya terpejam sebentar dengan ingatan yang aneh, mungkin?

"Apa kelas sudah selesai?" Fian mengangguk, ah~ sial. Aku lengah, bisa-bisanya tertidur ditengah kelas yang masih berlangsung. Ini gara-gara kejadian tadi malam, aku benar-benar merasa sedang diintai. Suara jepretan kamera membuat ku gelisah, walau hanya sugesti semata. Hal itu berhasil membuatku ketakutan.

Perlukah aku meminta Fian untuk menginap, setidaknya untuk meyakinkan diriku kalau suara-suara janggal itu hanya tercipta dari khayalan ku.

Tapi kalau bukan? Bagaimana?

Merinding, aku merinding membayangkannya.

Siapa?

Siapa orang jahil yang kekurangan kerjaan lalu memotret diriku seenak jidatnya?

Sungguh tidak sopan.

Aku serius. |

...***...

...T b c...

...Cerita bersifat fiksi atau karangan saja, jika terdapat kesamaan dalam bentuk apapun—mungkin karena ketidak sengajaan semata....

...Jangan lupa klik like, vote, dan comments diakhir cerita sebagai wujud apresiasi terhadap karya penulis....

...PERINGATAN!...

...Cerita mungkin berisi beberapa konten yang bersifat mengganggu dan bisa menimbulkan efek trauma untuk sebagian pembaca. Diharapkan menjadi pembaca yang bijaksana....

...Sekali lagi, cerita ini dibuat semata-mata untuk hiburan. Tidak membenarkan atau mewajarkan suatu tindakan, harap jadilah pembaca yang bijaksana....

...Terima kasih,...

...ketemu lagi nanti...

...Bye...

...:3...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!