NovelToon NovelToon

Munafik

Siapa?

Embusan dingin menyapu permukaan kulit wajah ku, terlihat dedaunan kuning dipaksa untuk jatuh dari dahan oleh angin tersebut. Dengan berat hati mereka berguguran, terseret sebentar sebelum mencium sakitnya permukaan tanah yang dilapisi rerumputan.

Aku termenung, duduk disebuah kursi kosong yang disediakan secara gratis oleh taman. Tiada seorangpun disana selain diriku, berdiam dibawah langit yang begitu mendung. Tempat ini, sedikit terasa asing namun juga familiar untuk ku dalam satu waktu. Sekali pandang dapat membuatku rindu tapi pandangan lainnya membuat ku bingung.

Pernahkah diriku kemari?

Pernah?

Jawabannya—tak tahu.

Aku benar-benar tidak bisa mengingat apapun. Siapa aku? Siapa sebenarnya aku dimasa lalu? Kenapa aku, tidak bisa mengingat secuilpun tentang diriku?

Rea.

...___________________...

...S i a p a ?...

...___________________...

...__________...

...____...

..._...

"Rea?!" Aku menoleh, seseorang baru saja memanggil nama ku. Wanita tinggi dengan pakaian terbuka terlihat berlari menyusuli diri ku yang sedang menunggunya di lorong dalam kampus.

"Hosh... hosh..." napasnya terengah. Begitu sampai wanita yang tidak lain bernama Fian itu menekuk-kan tubuhnya; bertumpu pada lutut sambil berusaha menstabilkan tekanan napasnya.

Aku memilih buka suara, terlalu lama jika menunggu wanita itu untuk bicara.

"Ku pikir kau tidak akan datang hari ini," ucapku. Dia bilang kalau dia malam tadi menghadiri pesta disebuah klub malam dan tidak akan bisa menghadiri kelas dikeesokan harinya. Lantas kenapa wanita itu malah kemari? Masih menggunakan pakaian semalam pula.

Fian menyapu kasar bibirnya, tampilan wanita itu sedikit berantakan dari pada biasanya. Bahkan lingkar hitam yang menandakan kalau wanita itu tidak mendapat tidur berkualitas tadi malam terlihat sangat jelas. Bolehkah aku tertawa? Fian benar-benar lucu.

"Jangan tertawa!" dengus wanita itu kesal.

Aku dan dia mulai berjalan, menyusuri lorong kampus menuju kelas kami pagi ini dengan irama yang pelan. Ini masih terlalu pagi, hanya beberapa anak rajin yang mau berhadir lebih dulu didalam ruangan kelas sambil berleha, contonya seperti aku dan? Fian. Dia bercerita kalau tadi malam dia bertemu dengan seorang lelaki gila yang mencoba melecehkan dirinya. Ku hardik pakaian mu Fian, siapa yang tidak bernafsu ketika melihatnya. Perlu ku lepaskan kemeja milik ku lalu menyerahkan benda itu padanya? Percuma, dia senang pamer.

Dasar binal.

"Lalu bagaimana kau bisa lolos dari lelaki hidung belang itu?" tanya ku, dia menoleh. Matanya benar-benar mantap, okay mari kita dengarkan apa yang akan wanita itu ceritakan padaku.

"Ada lelaki asing lainnya yang menolong ku?! Dia benar-benar tampan Rea!!! Oh My—! Jantung ku berdebar tiap mengingatnya..." Aku mengangguk, baiklah-baiklah. Aku sudah bosan dengan pola cerita yang sama. Biar ku tebak, setelah itu kau menghabiskan malam dengan lelaki penolong mu karena wajahnya benar-benar sesuai dengan selera mu 'kan Fian?

Dia hanya terkekeh, padahal aku belum bertanya. Hah~ sudahlah.

"Lebih baik kita," usul ku gantung, aku ingin membawa Fian cepat-cepat ke-kelas; berjalan dengan lambat membuatku lelah—tapi sebelum itu ada sesuatu yang mengganggu pikiran ku. Spontan langkah ku berhenti, diikuti Fian yang menantap ku penuh rasa penasaran.

Aku meneliti dari atas hingga kebawah penampilan dari temanku itu. Baiklah, sudah kuputuskan—

"Kita mampir ke-kamar mandi dulu, benahi riasan berantakan di wajahmu itu Fian... kau mirip orang gila," ungkap ku jujur, berhasil menarik perasaan kesal dari wanita tersebut. Dia mendengus, menyilangkan tangan kedada sambil berjalan cepat meninggalkan ku lebih dulu dengan langkah mengentak. Aku terkekeh, mencoba menyusuli dirinya. Meski begitu—apa hanya perasaanku saja? Rasanya sedari tadi seperti ada seseorang yang menantapku dari kejauhan.

"Rea!"

"Aku datang~"

...***...

Sudah lewat 3 tahun aku tinggal dan menentap di-kota kecil ini. Tidak ada hal menarik dari kota tersebut, selain fakta diriku yang kehilangan ingatan karena sebuah kecelakaan lalu lintas. Kepala ku terbentur, cukup keras hingga memerlukan waktu lama untuk pengobatan.

Tidak punya keluarga atau benar-benar jauh dari keluarga, hanya itu opsi yang dapat ku pikirkan. Orang-orang bilang kalau aku ini adalah pendatang, tidak punya kenalan ataupun saudara. Benar-benar sendirian saat itu, hanya ada beberapa berkas soal aku yang mengambil kuliah di-kota kecil ini. Alih-alih di ibu kota, bahkan catatan tentang masa lalu ku seperti ludes dimakan api. Tak bersisa, sebelum kemari? Dimana dulu aku tinggal?

Meski sedikit kesulitan beradaptasi, aku akhirnya bisa beraktivitas dengan normal. Sendirian. Setelah masa pemulihan berakhir aku langsung mengambil putusan untuk kembali kuliah, tertunda satu tahun lebih sudah cukup membuatku takut. Aku hidup dari uang beasiswa, jika itu ditarik aku akan benar-benar habis. Menjadi gelandangan disudut jalan sambil meringkuk kedinginan tanpa seorangpun yang dapat mengenali diriku atau sebaliknya.

Masa depan yang ironis. |

Untungnya aku bertemu dengan Fian, walau dia wanita yang sedikit nakal. Solidaritas dia terhadap teman cukup tinggi, ketika aku bilang kalau kepala ku terasa sakit dan nyaris menangis dia akan dengan lantang menyeretku keluar menuju rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan medis. Boleh ku sebut sebagai keluarga? Fian, dia berharga.

Untuk sosok yang bahkan tidak bisa mengingat siapa dirinya sebenarnya sepertiku.

Cekrek!

Spontan aku melirik, suara janggal apa itu? Aku tengah berdiri di balkon apartemen milikku. Dengan penuh inisiatif aku menoleh kebawah, kalau-kalau sumber suara janggal itu berasal dari sana. Seperti suara jepretan kamera? Ada yang sedang memotret?

Tapi? Ketika ku tilik kesana-kemari, tak ada apapun disana. Hanya balkon-balkon kosong milik tetangga, hanya perasaan ku saja 'kah?

Lagi-lagi aku merinding. Sungguh, demi Tuhan—aku benar-benar merasa seperti tengah diperhatikan.

Siapa itu?

"Siapa disana?" gumamku penasaran. Bertanya pada udara, walau hanya ada deburan angin malam yang menyapu permukaan kulit wajah ku sebagai jawaban. Mengigit dengan rasa dingin mereka.

Ergh!

Lebih baik masuk kedalam. Aku berbalik, melenggang pergi dari area balkon menyisakan sedikit kesunyian disana.

CEKREK!

.

.

.

.

.

"REAAAAA!"

"AKU MENCINTAI MU, JADI KU MOHON—!"

Bugh!

Aku tersentak, mataku spontan terbuka.

"Kau tertidur Rea..." ucap Fian, aku menggeleng. Hanya terpejam sebentar dengan ingatan yang aneh, mungkin?

"Apa kelas sudah selesai?" Fian mengangguk, ah~ sial. Aku lengah, bisa-bisanya tertidur ditengah kelas yang masih berlangsung. Ini gara-gara kejadian tadi malam, aku benar-benar merasa sedang diintai. Suara jepretan kamera membuat ku gelisah, walau hanya sugesti semata. Hal itu berhasil membuatku ketakutan.

Perlukah aku meminta Fian untuk menginap, setidaknya untuk meyakinkan diriku kalau suara-suara janggal itu hanya tercipta dari khayalan ku.

Tapi kalau bukan? Bagaimana?

Merinding, aku merinding membayangkannya.

Siapa?

Siapa orang jahil yang kekurangan kerjaan lalu memotret diriku seenak jidatnya?

Sungguh tidak sopan.

Aku serius. |

...***...

...T b c...

...Cerita bersifat fiksi atau karangan saja, jika terdapat kesamaan dalam bentuk apapun—mungkin karena ketidak sengajaan semata....

...Jangan lupa klik like, vote, dan comments diakhir cerita sebagai wujud apresiasi terhadap karya penulis....

...PERINGATAN!...

...Cerita mungkin berisi beberapa konten yang bersifat mengganggu dan bisa menimbulkan efek trauma untuk sebagian pembaca. Diharapkan menjadi pembaca yang bijaksana....

...Sekali lagi, cerita ini dibuat semata-mata untuk hiburan. Tidak membenarkan atau mewajarkan suatu tindakan, harap jadilah pembaca yang bijaksana....

...Terima kasih,...

...ketemu lagi nanti...

...Bye...

...:3...

Lelaki Asing

"Permisi?" Aku dibuat menoleh, lelaki tinggi dengan tampilan mencurigakan sedang berdiri tepat dibelakang tubuhku. Apa yang dia lakukan disana?

Ku geser sedikit kakiku supaya dia bisa maju mensejajarkan dirinya. Ya? Gumamku menyahuti lelaki tersebut, meski aku yakin itu tidak akan terdengar dengan jelas. Aku sengaja, pria ini terlalu bergelagat aneh. Sungguh. Dia merapatkan topi hitam yang menutupi separuh wajahnya.

Sial, kenapa aku harus terjebak didalam situasi ini? Seharusnya aku tidak bersi keras untuk menantap di perpustakaan terlalu lama. Sampai langit berganti malam dan aku tidak menyadari kalau ini waktunya untuk pulang. Jika saja para petugas tersebut tidak menegur ku, mungkin aku masih terlalu asik mengerjakan tugas-tugas.

Tapi apa boleh dikata, nasi sudah menjadi bubur. Sekarang aku berada disituasi ini, berdiri di halte bus sambil menunggu benda beroda 4 itu untuk datang dengan seorang pria asing yang benar-benar terlihat men-curiga-kan.

Bisa tolong menjauh? Pintaku dalam hati, meski sia-sia karena aku tidak dapat menyuarakannya langsung. Antara takut dan mencoba untuk tetap santai, panik hanya akan merugikan mu Rea. Tapi kenapa dia malah mendekat? Sial. Aku dapat mencium aroma tubuh dari lelaki itu.

Ini menakutkan.

Bisa langsung tunjukan saja niat mu tuan?

Setelah mengucapkan kata permisi dan aku memberi sahutan berupa isyarat lelaki itu tidak bersuara lagi, hanya satu hal yang dapat ku pastikan dari keterdiaman lelaki tersebut. Dia, dia tengah menantap ku dari sudut matanya dibalik topi hitam mencurigakan itu.

Aku mencoba menjaga jarak. Cukup lama diam dalam keheningan akhirnya aku dapat bernapas lega, saat benda yang ku tunggu-tunggu tertangkap oleh mata. Roda bus melambat, suara rem terdengar berbarengan dengan pintu bus yang terbuka. Tanpa basa-basi aku angkat kaki dari sana. Pikiran soal lelaki itu yang sama seperti ku; menunggu bus tiba-tiba sirna. Dia tidak ikut naik, hanya memandangi dari kejahuan sampai badan bus itu bergerak. Aku menilik dari balik kaca jendala. Lelaki itu berbalik, pergi meninggalkan halte lalu menghilang diantara kegelapan.

Sial, membuat merinding saja.

Kuharap aku tidak akan pernah bertemu lagi dengan lelaki itu. Itu yang ku pikirkan, sebelum aku bertemu dengannya langsung.

Ha-ha |

...***...

"Dia adalah lelaki yang menolongku waktu itu Rea!" ucap Fian senang. Dia menggoyangkan tubuhku kuat sambil menunjuk sosok lelaki yang berdiri tepat dibelakangku tadi malam. Kali ini dia tidak menggunakan pakaian gelap serta mencurigakan seperti sebelumnya, bahkan wajah lelaki itu terlihat lumayan tampan.

Aku sedikit dibuat terkejut, pasalnya lelaki itu sedang berdiri didepan kelas sambil memperkenalkan dirinya kepada kami semua.

"Saya pengajar baru yang akan mengampu mata kuliah ini, kalian bisa panggil saya Liam. Salam kenal dan mohon kerja samanya untuk satu semester kedepan~" Bibirku terbuka, dia benar-benar seorang dosen diumurnya yang muda itu. Sial, ini membuatku malu karena menuduhnya yang tidak-tidak.

Tolong sembunyikan aku dalam sebuah lubang besar. Ku mohon |

Ini memalukan. Tapi omong-omong Fian pernah bilang kalau lelaki itulah yang menolongnya dulu; ingat kejadian di klub malam ketika wanita itu ingin dilecehkan oleh seseorang?

"Kau yakin kau tidur dengannya?" tanyaku penasaran sekaligus tak percaya, oh ayolah... aku tidak bisa membayangkan kalau temanku menghabiskan malam dengan seorang pengajar. Lebih lagi dia yang akan mengajarkan kami selama satu semester penuh, aku tidak ingin Fian terjerat rumor palsu soal dia yang menjadi ayam kampus.

Meski dia binal, Fian bukan jala*ng.

Sayangnya anggukan dari wanita itu membuatku patah semangat. Dia benar-benar tidur dengan sir Liam, aku tak habis pikir. Mari sembunyikan saja wajah hingga kelas berakhir. Persetan untuk semuanya!

Aku lelah.

.

.

.

.

.

"Uhuk! Uhuk!" aku terbatuk, sial. Siapa yang merokok didalam ruangan tertutup seperti ini? Halo! Ini perpustakaan, tempatnya membaca bukan area khusus merokok. Aku mendelik, siap memberikan sumpah serapah kepada sang pelaku pencemaran udara itu. Tapi kata-kata ku tertahan setelah manik mata ini mendapati sosok pengajar baru bernama sir Liam.

Dia lagi-lagi berdiri tepat dibelakangku sambil menghisap rokoknya.

Dikeadaan seperti inilah yang membuat diriku mengharapkan kehadiran sosok Fian, wanita itu membenci perpustakaan makanya dia selalu enggan bila diajak kesana. Tapi ku mohon, kali ini saja—Fian tolonglah datang dengan alasan apapun dan selamatkan temanmu ini dari pengajar baru yang merupakan mantan one night stand mu! Argh! Sial.

Berharap-pun sia-sia.

"Kau sering menghabiskan waktu di perpustakaan ternyata... sama seperti dulu," ucapnya, berhasil menarik sudut alis ku terangkat. Apa yang sir Laim bicarakan? Batinku penasaran. Dia bicara seolah-olah seperti orang yang sudah lama mengenal diriku.

Aku menjaga jarak dengannya, terlihat lelaki itu menghisap hikmat rokok ditangannya sambil membalas tatapan mata yang kulayangkan.

Dia terkekeh, mengetahui diriku yang tidak tahan dengan asap rokok. Apa-apaan lelaki asing ini?! Aku kesal. Persetan soal jabatan dia yang merupakan seorang pengajar, tindakan lelaki itu sudah terbilang tidak sopan. Masuk ke-perpustakaan dengan rokok ditangan lalu mengembuskan asapnya kemana-mana.

Benar-benar tidak mencerminkan sosok yang patut untuk ditiru.

"Sudah lama ya Rea... aku tidak mengira akan bertemu dengan mu lagi disini, ku pikir tadi malam hanya seseorang dengan tampilan yang mirip dengan mu. Tapi ternyata itu benar-benar kau..." ungkapnya lagi. Tunggu? Aku sungguh tidak dapat mencerna apa yang lelaki itu katakan.

Bertemu? Rea? Sosok yang mirip? Tunggu-tunggu? Apa maksudnya? Aku tak paham.

Ku miringkan kepala bingung, mencoba mencari celah untuk bicara.

"Siapa kau? Apa aku mengenalmu?" tanyaku padanya.

Kuharap akan mendapat jawaban dari mulut lelaki itu, tapi apa yang ku dapatkan hanyalah raut kaget disusul dengan ekspresi menyedihkan. Dia tampak ingin menangis? Ada apa dangan raut sedih itu?

Berhenti menantapku begitu!

"Aku tidak menyangka kalau kabar soal kau yang kehilangan ingatan itu benar adanya," ungkap sir Liam gantung. Ku tatap dalam wajah lelaki itu. Dia mematikan rokoknya lalu membuang benda tersebut ke-tong sampah yang kebetulan berada di dekat sana, siapa meletakan benda itu di perpustakaan. Tak heran aku selalu mendapati sampah makanan, dangan adanya benda itu sudah memberi isyarat kepada pengunjung kalau mereka boleh membawa makanan masuk kedalam.

"Padahal kita cukup dekat dulu..." sambungnya. Fokusku langsung teralihkan. Dulu? Apa dia bagian dari tokoh yang hidup di masa lalu ku?

Apa aku dengannya memiliki hubungan dimasa lalu? Tanpa sadar perasaanku menjadi sedikit senang.

"Benarkah?!" bibir ini malah membeo; bersemangat dari pada biasanya. Dia mengangguk, meneruskan apa yang ingin dia ucapkan.

"Bisa dibilang kita itu pasangan kekasih."

Degh!

Apa? Tunggu dulu?

"Hah?"

..._______________________...

...L e l a k i - A s i n g...

..._______________________...

..._____________...

...______...

..._...

...T b c...

...Cerita bersifat fiksi atau karangan saja, jika terdapat kesamaan dalam bentuk apapun—mungkin karena ketidak sengajaan semata....

...Jangan lupa klik like, vote, dan comments diakhir cerita sebagai wujud apresiasi terhadap karya penulis....

...Terima kasih,...

...ketemu lagi nanti....

...Bye...

...:3...

Benarkah?

"Hah?"

Aku tak percaya, apa yang sir Liam katakan terdengar sedikit mustahil untuk ku. Dia? Dan aku? Dulunya pasangan kekasih? Yang benar saja, kau serius?

Seperti tahu dengan apa yang sedang aku pikirkan sir Liam mengangguk. Lelaki itu kemudian berkata—

"Kita pasangan yang sangat romantis dulu, tapi sayang kau tiba-tiba menghilang begitu saja. Bak ditelan bumi... aku berusaha mencarimu tapi selalu berakhir nihil, kau tidak ada dimanapun itu membuatku nyaris putus asa..." ucapnya, menyakinkan diriku. Dengan gugup ku tatap tiap inci dari wajah tampan tersebut, berusaha mencari secuil kebohongan yang mungkin saja lelaki itu lontarkan. Aku akan terima kalau sir Liam hanya bercanda pada ku dengan niat menggoda tapi seperti ditampar oleh kenyataan—tidak ada sedikitpun raut dusta dari wajah lelaki itu.

Bagai dipasak mati oleh paku, aku mematung. Bisu dalam keterdiaman yang menyakitkan. Apa yang sir Liam katakan tidak membuat ku bisa mengingat sesuatu; terlalu ragu.

Ini mencurigakan. |

Sungguh!

Haruskah aku percaya? Kalau dia dan aku benar-benar adalah pasangan kekasih; 3 tahun sebelum aku kehilangan ingatan milik ku?

"Hosh..."

Hela napas panjang terdengar, wajah lelaki itu menjadi lebih sedih dari pada yang tadi. Aku harus apa? Dia tiba-tiba mendekat, menggapai tanganku lalu membawanya menuju celah bibir berbau tembakau itu.

Cup~

Kecupan hangat mendarat tepat dipunggung tangan.

Glek!

Tanpa sadar ku telan saliva kasar, sedikit terkejut atas tindakan sir Liam. Apa yang coba dia lakukan? Kenapa? Kenapa lelaki itu bertingkah romantis? Sial, ini membuat ku takut.

Benar-benar takut. |

...______________________...

...B e n a r k a h ?...

...______________________...

..._____________...

..._____...

..._...

Dari apa yang lelaki itu ceritakan, dari apa yang lelaki itu tunjukkan. Perlahan berhasil mengeruk habis keraguan dalam hatiku. Liam—bisa ku percaya pada mu?

.

.

.

.

.

"Rea!" Aku menoleh, rutinitas membacaku di perpustakaan terganggu. Sosok yang jarang sekali menjajakan kakinya kemari; Fian—tampak tengah berjalan mendekatiku. Untuk apa dia kemari? Batinku penasaran.

Wanita itu duduk tepat didepan bangku sana, dia menekuk wajahnya lesu sambil melenguh panjang dihadapanku.

"Ada apa Fian?" tanyaku, menutup kembali buku yang ada ditanganku. Kupindahkan fokus secara penuh kearah wanita cantik tapi nakal tersebut. Dia tampak menahan tangis, hei? Hei? Serius apa yang terjadi?!

Siapa yang berani membuat temanku merasakan kesedihan? Akan ku pukul dia!

"Sir Liam..." gumamnya tiba-tiba. Aku tersentak, tunggu? Wanita ini ingin membicarakan apa soal Liam? Aku berdiri, berpindah duduk tepat disampingnya. Topik pembicaraan perihal lelaki itu sedikit menarik perhatian ku. Kalian tahu, setelah kejadian romantisme; dalam tanda kutip—entah dapat dari mana lelaki itu nomor teleponku dia terus-terusan berusaha menghubungi diriku.

Awalnya semua tindakan berlebihan yang Liam lakukan itu membuatku takut, bukan apa-apa. Bayangkan saja ada seseorang yang tidak kalian kenal tiba-tiba muncul dan meneror kalian. Jelas menakutkan. Semua yang dia lakukan terlalu asing untuk ku yang tidak bisa mengingat apapun tentang dia. Aku menolaknya, hanya membiarkan dering telepon ku berbunyi sepanjang malam. Deretan pesan berantai sering kali masuk, berisikan tentang masa lalu yang Liam katakan secara sepihak. Sesekali aku memilih membacanya dikala bosan, hal ini yang berhasil membuatku goyah.

Apa yang dia ceritakan seperti memang benar adanya; itulah kenyataan. Apapun usaha ku untuk berdalih hasilnya akan tetap sama—percuma. Lewat 2 minggu akhirnya aku mulai mau mengangkat panggilan dari sosok tersebut sampai diriku tak menyadari, kalau kami perlahan menjadi lebih dekat.

...***...

"Fian bilang kau menolaknya..." ucapku, lelaki yang tengah memeluk tubuh ramping ini dari belakang mendongak. Dagunya bersandar tepat dibahu ku sambil bergumam.

"Siapa itu?"

Aku meringis, dia bahkan tidak bisa mengingat satu-satunya teman yang kumiliki. Hela napas panjang keluar dari sela bibirku, perlahan ku coba menjabarkan ciri fisik dari sosok bernama Fian tersebut. Awalnya Liam terdiam, kepalanya seperti berusaha keras mengobrak-abrik data yang dia punya didalam otak sampai dia menemukannya.

"Ah! Aku tahu, wanita binal itu 'kan?" Aku mengangguk, meski kesan pertama Liam terhadap Fian tidak terlalu bagus tapi syukurlah dia dapat mengingatnya.

"Ada apa dengan wanita itu?" Tanya Liam kemudian, dia merapatkan tubuhku kedalam pelukan. Sudah lebih tiga hari aku membolehkan lelaki ini masuk kedalam apartemen milikku. Pertanyaannya kenapa? Karena dia tahu-tahu sudah berdiri diluar pintu apartemen. Dapat dari mana lelaki itu alamatku, jelas jawabannya adalah kampus.

Setelah aku menerima panggilan yang dia lakukan beberapa kali, seperti yang ku katakan sebelumnya bahwa hal tersebut berhasil membuatku luluh—tanpa di sadari perlahan kami malah menjadi lebih dekat. Anehnya kontak fisik yang Liam lakukan tidak membuatku risih sama sekali.

Seperti sebuah keharusan. |

Inilah titik puncaknya, keraguan itu sirna digantikan oleh perasaan menerima. Banyak yang lelaki itu ceritakan, tentang diriku dimasa lalu serta tentang hubungan kami ketika itu. Mendengarnya membuatku senang.

"Dia menangis, karena kau menolaknya..." Kulihat gurat bingung muncul, sebelah alisnya terangkat. Pelukan ditubuhku merenggang.

"Lalu kenapa? Banyak wanita diluar sana mengalami hal yang sama, aku menolaknya karena aku tidak menyukai mereka—dihatiku cuma ada satu yaitu kamu Rea..." ucapnya lagi.

Sial, ini membuatku malu. Setengah wajahku pasti sudah memerah karenanya. Apa-apaan lelaki ini? Dia hebat dalam bercanda.

Ku dengar kekehan lucu, Liam seperti menikmati proses menggodaku, Damn it!—dia benar-benar mengesalkan karena berhasil membuatku tersipu malu.

Menyudahi perbincangan diatas tadi aku jadi teringat akan satu hal, pikiran ini terlintas begitu saja didalam benakku ketika memikirkan tentang Fian dan Liam.

Temanku itu pernah bercerita, kalau mereka menghabiskan malam bersama. Tanpa ku sadari ada sedikit rasa nyeri dihatiku saat mengingat kembali cerita itu, perlu ku tanya langsung pada Liam?

Benarkah demikan? Soal dia yang tidur bersama dengan Fian. Aku bersandar, tepat ditubuh lelaki itu. Kurasakan sedikit sentakan kecil darinya, dia tampak terkejut atas tindakan impulsif yang diriku lakukan. Kenapa begitu?

Padahal aku terlihat biasa saja ketika dia menyentuhku, seakan semua itu adalah hal yang wajar.

Dia bilang kami dulu pasangan kekasih, hal-hal seperti ini pasti sudah lumrah kami lakukan. Sekali lagi, pertanyaan mencuat—benarkah kami pasangan?

Atau? Kurasa bukan itu rumusan masalahnya. Mungkin lebih kearah, sekarang hubungan kami itu apa?

Antara aku dengan pengajar ku.

"Liam?" gumaman itu berhasil memanggil sosoknya, dia berdehem menanggapi panggilanku.

Ku angkat tangan ke-udara sambil menantap kelima jari yang sengaja ku renggangkan. Dulu aku tidak memperhatikan tapi ternyata ada bekas cincin disana. Warnanya berbeda dengan kulit asliku, tepat di jari manis sebelah kanan.

Aku termenung, memikirkan sebuah pertanyaan.

"Sekarang? Kita ini apa?" tanyaku pada lelaki yang tidak lain adalah pengajarku. Dia dosen, pantaskah kami memiliki semacam hubungan? Antara guru dan seorang murid.

Hah~ ini melelahkan, banyak hal yang aku pikirkan. Fian, Liam, diriku dimasa lalu dan hubungan janggal ini.

Lagi-lagi otak ku bertanya, benarkah? Kami itu pasangan kekasih?

...***...

...T b c...

...Cerita bersifat fiksi atau karangan saja, jika terdapat kesamaan dalam bentuk apapun—mungkin karena ketidak sengajaan semata....

...Jangan lupa like, vote, dan comments diakhir cerita sebagai wujud apresiasi terhadap karya penulis....

...Terima kasih,...

...Ketemu lagi nanti...

...Bye...

...:3...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!