"Hah?"
Aku tak percaya, apa yang sir Liam katakan terdengar sedikit mustahil untuk ku. Dia? Dan aku? Dulunya pasangan kekasih? Yang benar saja, kau serius?
Seperti tahu dengan apa yang sedang aku pikirkan sir Liam mengangguk. Lelaki itu kemudian berkata—
"Kita pasangan yang sangat romantis dulu, tapi sayang kau tiba-tiba menghilang begitu saja. Bak ditelan bumi... aku berusaha mencarimu tapi selalu berakhir nihil, kau tidak ada dimanapun itu membuatku nyaris putus asa..." ucapnya, menyakinkan diriku. Dengan gugup ku tatap tiap inci dari wajah tampan tersebut, berusaha mencari secuil kebohongan yang mungkin saja lelaki itu lontarkan. Aku akan terima kalau sir Liam hanya bercanda pada ku dengan niat menggoda tapi seperti ditampar oleh kenyataan—tidak ada sedikitpun raut dusta dari wajah lelaki itu.
Bagai dipasak mati oleh paku, aku mematung. Bisu dalam keterdiaman yang menyakitkan. Apa yang sir Liam katakan tidak membuat ku bisa mengingat sesuatu; terlalu ragu.
Ini mencurigakan. |
Sungguh!
Haruskah aku percaya? Kalau dia dan aku benar-benar adalah pasangan kekasih; 3 tahun sebelum aku kehilangan ingatan milik ku?
"Hosh..."
Hela napas panjang terdengar, wajah lelaki itu menjadi lebih sedih dari pada yang tadi. Aku harus apa? Dia tiba-tiba mendekat, menggapai tanganku lalu membawanya menuju celah bibir berbau tembakau itu.
Cup~
Kecupan hangat mendarat tepat dipunggung tangan.
Glek!
Tanpa sadar ku telan saliva kasar, sedikit terkejut atas tindakan sir Liam. Apa yang coba dia lakukan? Kenapa? Kenapa lelaki itu bertingkah romantis? Sial, ini membuat ku takut.
Benar-benar takut. |
...______________________...
...B e n a r k a h ?...
...______________________...
..._____________...
..._____...
..._...
Dari apa yang lelaki itu ceritakan, dari apa yang lelaki itu tunjukkan. Perlahan berhasil mengeruk habis keraguan dalam hatiku. Liam—bisa ku percaya pada mu?
.
.
.
.
.
"Rea!" Aku menoleh, rutinitas membacaku di perpustakaan terganggu. Sosok yang jarang sekali menjajakan kakinya kemari; Fian—tampak tengah berjalan mendekatiku. Untuk apa dia kemari? Batinku penasaran.
Wanita itu duduk tepat didepan bangku sana, dia menekuk wajahnya lesu sambil melenguh panjang dihadapanku.
"Ada apa Fian?" tanyaku, menutup kembali buku yang ada ditanganku. Kupindahkan fokus secara penuh kearah wanita cantik tapi nakal tersebut. Dia tampak menahan tangis, hei? Hei? Serius apa yang terjadi?!
Siapa yang berani membuat temanku merasakan kesedihan? Akan ku pukul dia!
"Sir Liam..." gumamnya tiba-tiba. Aku tersentak, tunggu? Wanita ini ingin membicarakan apa soal Liam? Aku berdiri, berpindah duduk tepat disampingnya. Topik pembicaraan perihal lelaki itu sedikit menarik perhatian ku. Kalian tahu, setelah kejadian romantisme; dalam tanda kutip—entah dapat dari mana lelaki itu nomor teleponku dia terus-terusan berusaha menghubungi diriku.
Awalnya semua tindakan berlebihan yang Liam lakukan itu membuatku takut, bukan apa-apa. Bayangkan saja ada seseorang yang tidak kalian kenal tiba-tiba muncul dan meneror kalian. Jelas menakutkan. Semua yang dia lakukan terlalu asing untuk ku yang tidak bisa mengingat apapun tentang dia. Aku menolaknya, hanya membiarkan dering telepon ku berbunyi sepanjang malam. Deretan pesan berantai sering kali masuk, berisikan tentang masa lalu yang Liam katakan secara sepihak. Sesekali aku memilih membacanya dikala bosan, hal ini yang berhasil membuatku goyah.
Apa yang dia ceritakan seperti memang benar adanya; itulah kenyataan. Apapun usaha ku untuk berdalih hasilnya akan tetap sama—percuma. Lewat 2 minggu akhirnya aku mulai mau mengangkat panggilan dari sosok tersebut sampai diriku tak menyadari, kalau kami perlahan menjadi lebih dekat.
...***...
"Fian bilang kau menolaknya..." ucapku, lelaki yang tengah memeluk tubuh ramping ini dari belakang mendongak. Dagunya bersandar tepat dibahu ku sambil bergumam.
"Siapa itu?"
Aku meringis, dia bahkan tidak bisa mengingat satu-satunya teman yang kumiliki. Hela napas panjang keluar dari sela bibirku, perlahan ku coba menjabarkan ciri fisik dari sosok bernama Fian tersebut. Awalnya Liam terdiam, kepalanya seperti berusaha keras mengobrak-abrik data yang dia punya didalam otak sampai dia menemukannya.
"Ah! Aku tahu, wanita binal itu 'kan?" Aku mengangguk, meski kesan pertama Liam terhadap Fian tidak terlalu bagus tapi syukurlah dia dapat mengingatnya.
"Ada apa dengan wanita itu?" Tanya Liam kemudian, dia merapatkan tubuhku kedalam pelukan. Sudah lebih tiga hari aku membolehkan lelaki ini masuk kedalam apartemen milikku. Pertanyaannya kenapa? Karena dia tahu-tahu sudah berdiri diluar pintu apartemen. Dapat dari mana lelaki itu alamatku, jelas jawabannya adalah kampus.
Setelah aku menerima panggilan yang dia lakukan beberapa kali, seperti yang ku katakan sebelumnya bahwa hal tersebut berhasil membuatku luluh—tanpa di sadari perlahan kami malah menjadi lebih dekat. Anehnya kontak fisik yang Liam lakukan tidak membuatku risih sama sekali.
Seperti sebuah keharusan. |
Inilah titik puncaknya, keraguan itu sirna digantikan oleh perasaan menerima. Banyak yang lelaki itu ceritakan, tentang diriku dimasa lalu serta tentang hubungan kami ketika itu. Mendengarnya membuatku senang.
"Dia menangis, karena kau menolaknya..." Kulihat gurat bingung muncul, sebelah alisnya terangkat. Pelukan ditubuhku merenggang.
"Lalu kenapa? Banyak wanita diluar sana mengalami hal yang sama, aku menolaknya karena aku tidak menyukai mereka—dihatiku cuma ada satu yaitu kamu Rea..." ucapnya lagi.
Sial, ini membuatku malu. Setengah wajahku pasti sudah memerah karenanya. Apa-apaan lelaki ini? Dia hebat dalam bercanda.
Ku dengar kekehan lucu, Liam seperti menikmati proses menggodaku, Damn it!—dia benar-benar mengesalkan karena berhasil membuatku tersipu malu.
Menyudahi perbincangan diatas tadi aku jadi teringat akan satu hal, pikiran ini terlintas begitu saja didalam benakku ketika memikirkan tentang Fian dan Liam.
Temanku itu pernah bercerita, kalau mereka menghabiskan malam bersama. Tanpa ku sadari ada sedikit rasa nyeri dihatiku saat mengingat kembali cerita itu, perlu ku tanya langsung pada Liam?
Benarkah demikan? Soal dia yang tidur bersama dengan Fian. Aku bersandar, tepat ditubuh lelaki itu. Kurasakan sedikit sentakan kecil darinya, dia tampak terkejut atas tindakan impulsif yang diriku lakukan. Kenapa begitu?
Padahal aku terlihat biasa saja ketika dia menyentuhku, seakan semua itu adalah hal yang wajar.
Dia bilang kami dulu pasangan kekasih, hal-hal seperti ini pasti sudah lumrah kami lakukan. Sekali lagi, pertanyaan mencuat—benarkah kami pasangan?
Atau? Kurasa bukan itu rumusan masalahnya. Mungkin lebih kearah, sekarang hubungan kami itu apa?
Antara aku dengan pengajar ku.
"Liam?" gumaman itu berhasil memanggil sosoknya, dia berdehem menanggapi panggilanku.
Ku angkat tangan ke-udara sambil menantap kelima jari yang sengaja ku renggangkan. Dulu aku tidak memperhatikan tapi ternyata ada bekas cincin disana. Warnanya berbeda dengan kulit asliku, tepat di jari manis sebelah kanan.
Aku termenung, memikirkan sebuah pertanyaan.
"Sekarang? Kita ini apa?" tanyaku pada lelaki yang tidak lain adalah pengajarku. Dia dosen, pantaskah kami memiliki semacam hubungan? Antara guru dan seorang murid.
Hah~ ini melelahkan, banyak hal yang aku pikirkan. Fian, Liam, diriku dimasa lalu dan hubungan janggal ini.
Lagi-lagi otak ku bertanya, benarkah? Kami itu pasangan kekasih?
...***...
...T b c...
...Cerita bersifat fiksi atau karangan saja, jika terdapat kesamaan dalam bentuk apapun—mungkin karena ketidak sengajaan semata....
...Jangan lupa like, vote, dan comments diakhir cerita sebagai wujud apresiasi terhadap karya penulis....
...Terima kasih,...
...Ketemu lagi nanti...
...Bye...
...:3...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments