"Sekarang? Kita ini apa?" gumamku, dia bersandar. Ikut menantap kelima jari yang kuangkat keudara.
"Bukannya sudah jelas—" sahut lelaki itu gantung. Aku melirik, dari balik ekor mataku. Menunggu jawaban apa yang ingin lelaki ini katakan, Liam.
"—kita itu pasangan, dulu maupun sekarang." sambungnya dengan nada penuh keyakinan yang berhasil membuatku meremang.
Benarkah?
...____________________...
...W a n i t a...
...____________________...
...__________...
..._____...
..._...
Bodoh, orang bisa dikatakan bodoh karena mereka lamban mengerti akan sesuatu; bisa juga karena tindakan yang mereka lakukan. Seperti berulah tanpa pikir panjang, lalu menyesalinya. Contoh sederhana dari orang yang bisa dikatakan bodoh itu sendiri adalah—aku.
Terlena akan kepak-kan sayap kupu-kupu yang beterbangan didalam perutku, aku terlalu senang mendengar penuturan Liam soal hubungan kami. Dia dan aku adalah pasangan kekasih, seperti kepingan kosong dalam hatiku yang telah lama hilang kembali terbentuk. Di-isi-i oleh kebahagian sampai membuatku lupa, lupa akan diri sendiri dan sekitarku.
Satu hati milik temanku telah patah, karena keserakahanku.
Fian.
Ku harap kau tidak mengetahui hubungan kami, agar aku tidak kehilangan dirimu.
Bodoh-kan?
"Ya~"
"Hah?" Fian membeo, dia menoleh tepat kearahku. Wanita itu bertanya—
"Kau bicara apa barusan? Rea?" Aku menggeleng, tidak-tidak aku tidak sedang bicara. Ku balas tatapan itu dengan senyuman sambil berkata;
"Aku hanya bergumam..." Wanita itu mengangguk, mulut kecilnya terbuka sambil membisikkan kata 'oh' dengan nada yang panjang. Kami berdua melanjutkan langkah, kelas pagi ini sebentar lagi akan dimulai. Sosok Liam tampak muncul diujung jalan, sama seperti sebelumnya—seakan tidak jera Fian kembali memujanya. Memantik sedikit api kecemburuan didalam hatiku.
Tapi semua itu sirna, ketika senyuman tipis milik Liam terpampang jelas hanya untukku.
...***...
Fush~
Embusan dingin menyapu permukaan kulit wajah ku, terlihat dedaunan kuning dipaksa untuk jatuh dari dahan oleh angin tersebut. Dengan berat hati mereka berguguran, terseret sebentar sebelum mencium sakitnya permukaan tanah yang dilapisi rerumputan.
Aku termenung, duduk disebuah kursi kosong yang disediakan secara gratis oleh taman. Tiada seorangpun disana selain diriku, berdiam dibawah langit yang begitu mendung. Tempat ini, sedikit terasa asing namun juga familiar untuk ku dalam satu waktu. Sekali pandang dapat membuatku rindu tapi pandangan lainnya membuat ku bingung.
Pernahkah diriku kemari?
Pernah?
Jawabannya—tak tahu.
Aku benar-benar tidak bisa mengingat apapun. Siapa aku? Siapa sebenarnya aku dimasa lalu? Kenapa aku, tidak bisa mengingat secuilpun tentang diriku?
Deg!
"Rea? Apa yang kau lamunkan?" Pertanyaan muncul, menggelitik kecil daun telingaku. Rasa dingin dari kaleng soda memberi efek kejut, aku menoleh—mendapati sosok Liam yang berdiri tak jauh dari posisi tempat ku duduk. Dia menempelkan kaleng itu kepipi.
"Tidak. Hanya heran saja dengan tempat yang kita kunjungi, ini sedikit tidak asing..." sahutku sambil menjumput kaleng soda yang ia berikan, Liam duduk; tepat disampingku. Lelaki itu bersandar, membuka kaleng minuman miliknya lalu menenggak habis isi dari kaleng tersebut.
Ku tatap buka-an mirip cincin dari kaleng yang berada tepat ditanganku, badannya berkeringat. Dingin.
Saat ini kami sedang jauh dari kota; tempat tinggalku selama 3 tahun. Liam bilang ingin mengajakku pergi, jalan-jalan kesuatu tempat dengan dalih berkencan. Dengan bodohnya aku mau mengikuti lelaki itu siapa kira, dia malah mengajak aku ketempat yang katanya adalah tanah kelahiran kami.
Meski tidak dapat mengingat apapun, kesan familiar yang mendatangkan rindu membuatku senang. Liam bercerita, taman ini adalah tempat pertama kalinya kami bertemu. Saat itu kalau tidak salah tepat dihari kelulusan sekolah menengah pertama, dia bilang aku berhasil menggaet hati milik pemuda itu. Dengan alasan sederhana tersebut dia malah mengikuti ku, ke-sekolah menengah atas yang sama. Selama 3 tahun disana kami menjadi pasangan kekasih yang romantis.
Sekali lagi, aku benar-benar senang mendengarnya.
Ah iya, dia juga bilang. Kalau aku sudah kehilangan orang tua ku ketika duduk dibangku kelas 3 sekolah menengah atas, sungguh fakta yang sangat disayangkan. Pantas saja aku hidup sendirian setelah itu, Liam bilang—ini juga faktor yang mempengaruhi perubahan atas sikapku. Sejak hari kematian orang tuaku sampai sebelum waktu menghilang, aku berbeda dari biasanya; ucap Liam.
Mungkin aku mengalami depresi berat dan menganggap semua orang meninggalkan diriku sendirian membuat aku berpikir untuk ikut menghilang. Hah~ Bagaimana bisa? Padahal aku masih memiliki mu Liam.
Kejamnya aku, karena sifat egois tersebut berhasil membuatmu nyaris putus asa. Liam. Terima kasih karena masih mau memperjuangkan cinta mu pada ku.
Cisss—!
Ku buka kaleng soda, suara khas buih-buih benda tersebut terdengar. Liam bersendawa, ku tilik kecil sambil terkekeh.
"Jorok!" sarkasku padanya.
.
.
.
.
.
"Kita akan kemana lagi?" pertanyaan itu muncul, aku melihat Liam menepikan mobil pinjaman yang sedang kami kendarai. Liburan ke-kampung halaman ternyata cukup menyenangkan, meski aku tahu kalau niat Liam kesini sebenarnya berkaitan tentang pekerjaannya.
Dia bilang tidak ingin berpisah, berhubung ini akhir pekan aku jadi mengiyakan untuk ikut dengan lelaki itu selama 3 hari. Setelah ke-taman tempat pertama kali kami bertemu, kupikir kami akan menghabiskan waktu lebih lama lagi. Ternyata tidak dia malah mendapat panggilan mendadak.
"Tunggu aku disini sebentar sayang~" ucapnya, keluar dari mobil, tanpa menoleh. Aku mengangguk. Liam tidak menjawab pertanyaanku, sudahlah. Dia terlalu sibuk. Aku berbalik, bersandar dekat kaca jendela mobil yang terlihat buram dari luar.
"Selain dosen, jenis pekerjaan apa lagi yang kau miliki Liam?" gumamku penasaran. Memainkan tangan dengan cara mengetuk-ngetukan jari kekaca jendela.
Hanyut dalam pikiran, aku melamun. Mataku ku menantap pemandangan luar dari balik kaca jendala tersebut. Indah, kota ini benar-benar—!
DEG!
Bola mataku melotot. Sial, mengagetkan saja?!
Spontan ku jauhkan tubuh dari kaca jendela, seorang wanita tampak tengah menunduk. Menilik jauh kedalam kaca jendala, apa yang coba wanita itu lihat? Kaca dari mobil yang Liam sewa jelas tidak terawang jadi percuma dia melakukan hal tersebut. Lagi-lagi pertanyaan muncul, apa yang sedang wanita itu cari?
Perlukah aku keluar? Lalu bertanya pada wanita yang terlihat sedikit mencurigakan tersebut?
Ku gigit pipi bagian dalam, ragu-ragu melepaskan sabuk pengaman. Tanganku terangkat; ancang-ancang siap membuka daun pintu yang berada tepat disamping tubuhku.
"LIAM!"
Meski gerakan itu tertahan, wanita asing yang celingak-celinguk tadi mendongak. Matanya berkilat sambil berteriak—memanggil satu nama yang tidak lain adalah kekasihku.
Penuh dengan rasa penasaran aku ke sisi lain dari kaca mobil ini, wanita tadi melangkah. Mendekat kearah sosok Liam, terlihat mereka seperti tengah bincang. Apa yang dua orang itu bicarakan?
Jarak antara mobil dengan mereka cukup jauh, ditambah suara-suara luar meredam pembicaraan yang kedua orang itu lakukan.
Sial! Aku penasaran.
Siapa wanita itu?!
Kenapa dia mengangkat tangannya lalu—?
PLAK!
Menampar keras pipi dari kekasihku.
...***...
...T b c...
...Cerita bersifat fiksi atau karangan saja, jika terdapat kesamaan dalam bentuk apapun—mungkin karena ketidak sengajaan semata....
...Jangan lupa like, vote, dan comments...
...Terima kasih...
...Ketemu lagi nanti...
...Bye...
...:3...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments