Menyebalkan

...Cerita bersifat fiksi atau karangan saja, jika terdapat kesamaan dalam bentuk apapun—mungkin karena ketidak sengajaan semata....

...Jangan lupa klik like, vote, dan comments diakhir cerita sebagai wujud apresiasi terhadap karya penulis....

...Terima kasih,...

...selamat membaca....

...___________________...

...M e n y e b a l k a n...

...___________________...

...__________...

..._____...

..._...

"Menyebalkan, mereka hanya kumpulan makhluk pengecut!"

"Pftt! Bukankah satu-satunya yang pengecut disini itu adalah kau sepupuku??"

BRAK!

"Diam!" aku mendengus, melempar tas yang ada di punggungku saat suara mengejek milik Fian terdengar. Gadis yang jauh lebih muda beberapa bulan tersebut terpingkal, dia menilai—dari ujung kaki hingga ujung kepala sebelum kembali tertawa.

"Menyedihkan!" ucapnya lagi, begitu keras. Tak heran sepupu biadab ku itu bisa terbahak dengan bebas karena penampilan yang ku tampilkan. Pakaian lecek serta wajah penuh lebam, siapa yang tahan? Diriku sebelas dua belas seperti badut dengan hidung merahnya.

"Kenapa kau tidak melawan mereka Liam?! Ah aku tahu—!"

Dia mulai lagi.

"Karena kau tidak mampu! BHWAHAHA!"

Tch! Berisik!

"Enyah kau!" dengusku, kesal. Untuk apa juga gadis ini setiap hari mengunjungi apartemen ku?! Pasti dia diusir lagi oleh paman karena membuat kekacauan. Mengabaikan Fian, aku memilih melangkah masuk kedalam kamar.

Mengempaskan diri diatas ranjang.

Bugh~

Hari ini adalah hari yang melelahkan, lagi-lagi aku dibully mereka. Para tikus got menjijikan yang tidak tahu caranya menggunakan otak; lebih mudah memukul dari pada berpikir—omong kosong.

"Menyebalkan!" jeritku pada bantal.

"Argh–!"

Rasa sakit disekujur tubuh kembali muncul, sial. Gara-gara marah pada Fian tadi aku melupakan fakta kalau tubuh ini menyimpan banyak sekali luka dan dengan bodohnya aku malah bertindak gegabah.

Padahal sudah nyaman sekali tertelungkup diatas ranjang, mau tak mau aku kembali bangkit. Melepaskan seragam dengan jejak sepatu dimana-mana. Ash! Rusuk ku tidak patah bukan? Tanya dewi batinku ketika melihat lebam besar dengan warna kebiruan diarea dada.

Tanpa sadar, tangan ku terangkat—menyentuh pelan benda itu hingga menimbulkan sensasi sakit yang luar biasa.

"Tch!"

Sial! Ini benar-benar sial!

"FIAN!" Aku berteriak, sangat kencang. Menunggu gadis itu untuk datang.

Tap! Tap! Tap!

Derap langkah terdengar dari kejauhan, tak perlu memakan waktu lama sosok yang ku panggil itu akhirnya muncul. Napasnya terlihat kacau—jelas sekali Fian berlari mendatangi kamarku.

"Hosh... hosh... ada apa Liam?" tanya dia, melangkah masuk sambil berusaha mengatur pernapasan.

Aku menunjukan luka disekujur tubuhku, seakan paham apa yang diriku maksud gadis itu langsung bergerak menuju meja belajar; mencari kotak P3K yang selalu berada tak jauh dari sana. Mimik mukanya berbeda dari sebelumnya, dengan patuh sepupu menyebalkanku itu merawat seluruh luka yang ada ditubuh kurus ini.

Dia lalu berkata—

"Kau harus berhati-hati Liam, jika mereka terus-terusan mengganggumu kau bisa meminta bantuan kepada ayahku." ucapnya.

Aku yang mendengar tertawa.

"Dimana wajah mengejekmu tadi sepupuku?"

Fian tidak menjawab, dia memilih membalut luka-luka menganga ditubuhku dari pada meladeni ucapan dari sepupu tersayangnya. Aku tahu Fian sendiri tidak bermaksud mengejek diriku yang lemah ini, dia hanya mencoba membuat ku untuk tetap kuat dan berharap aku akan berubah dangan ejekan yang dia katakan meski sebenarnya itu terdengar sia-sia.

Karena dia membungkam rapat mulutnya, alhasil aku malah mengikuti apa yang gadis menyebalkan itu lakukan. Diam dalam keheningan dan hanya memperhatikan gerakan tangan Fian yang tampak semakin sibuk mengurusi setiap luka.

Cukup lama berlangsung akhirnya sepupuku itu selesai, sekujur tubuh menyedihkan ini sudah ditutupi oleh perban dan pelester luka. Waktunya berpindah kearea wajah, dia mengambil lagi botol berisi alkohol pembersih luka serta kapas baru—meminta aku sedikit menunduk supaya dia bisa lebih mudah dalam merawat luka-ku.

"Ash! Menyeramkan..." komentarnya tiba-tiba. Aku tahu, wajahku pasti benar-benar bengkak sekarang. Mengabaikan hal tersebut, aku mencubit paha Fian—memintanya untuk tetap fokus dalam merawat ku.

"Aku serius Liam, jika terus dibiarkan begini tulang tengkorakmu akan hancur." Dia kembali lagi ke-pembahasan awal, sama seperti hari-hari sebelumnya Fian pasti berusaha membujukku untuk meminta bantuan pada ayahnya yang tidak lain adalah pamanku sendiri.

Aku yang tidak ingin merepotkan paman menolak usulan tersebut.

Sudah untung lelaki itu mau menjadi waliku. Jadi ku usahakan supaya tidak banyak tingkah, cukup anaknya saja yang jadi pengacau.

"Ayolah Fian, berhenti membahasnya..." keluhku, lebih kearah muak melakukan percakapan yang sama setiap harinya. Terdengar gadis disampingku ini menghela napas panjang, dia juga pasti lelah—dalam menegurku.

Tak ingin berkomentar panjang lagi, seusai melakukan tugasnya Fian merapikan seluruh peralatan P3K. Gadis itu lalu beranjak, berjalan menuju meja belajar dan meletakkan kembali kotak itu ketempatnya semula.

"Aku sudah membuatkan makanan untuk mu di-dapur..." ucapnya tiba-tiba. Aku mendongak, melihat punggung gadis itu dia masih berdiri disana. Pandangan Fian seakan terpaku pada sebuah benda diatas meja.

"Thanks..." sahutku cepat. Mencoba berdiri dari bibir ranjang namun tertahan ketika Fian mengajukan sebuah pertanyaan.

"Milik siapa ini?" tanya-nya, menunjukan sebuah benda yang dilipat rapi membentuk segi empat. Kepalaku ikut menoleh, memperhatikan benda apa yang berhasil menarik minat dari sepupuku itu untuk bertanya.

Sebuah sapu tangan.

Sekilas kejadian seminggu yang lalu tiba-tiba saja terlintas didalam benak. Tanpa ku sadari wajahku perlahan memanas, sial—ini memalukan. Tiap kali mengingat wajah dari gadis bernama Rea tersebut debar jantung ku selalu akan meningkat 2 kali lipat dari pada biasanya.

Mungkin karena melihat perubahan wajah yang tak biasa, senyum nakal Fian muncul. Dia bergerak mendekati diriku dengan cepat, menunjukan sapu tangan itu sambil bertanya—

"Ada apa ini?! Kau memerah karena ini?" dengan nada yang benar-benar menggoda. Pertanyaan tersebut membuatku memalingkan wajah. Berusaha tidak peduli, aku mencoba mendorongnya pelan—beranjak pergi dari sana meski ku tahu kalau Fian masih berusaha mengekori diriku kecuali aku memberikan dia sebuah jawaban.

"Apa ini dari seseorang?" Lagi, aku menulikan pendengaran.

Berlenggang menuju dapur, membiarkan Fian terus mengikutiku dibelakang sambil berkoar-koar tentang asal muasal sapu tangan itu.

Sret—!

Ku tarik bangku di dapur, siap melahap makanan yang sudah tersaji diatas meja sana. Terima kasih pada sepupuku dan mari abaikan saja dia.

Fian akan lelah sendiri setidaknya sebelum aku melihat dia mengancamku dengan sapu tangan tersebut.

Brak!

"Fian!" aku menegur, beberapa detik sebelum gadis menyebalkan ini membakar benda itu diatas sebuah kompor.

"Beritahu aku." ucapnya tegas, dengan senyum yang dipaksakan.

"Huh!" terdengar aku mendengus, merotasi mata sambil mengempaskan kembali punggung diatas kursi lalu berkata.

"Ya!" agar dia puas.

...***...

...T b c...

...Jangan lupa like, vote, dan comments...

...Terima kasih...

...Ketemu lagi nanti...

...Bye...

...:3...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!