Cahaya pagi menembus celah gorden panjang yang menutupi jendela kamar. Aku terbangun, berkat benda itu. Menggeliat tak nyaman sambil berusaha meregangkan otot supaya tidak kaku.
"Argh?" Gendang telingaku mendengar sesuatu, perlahan ku tilik. Sosok Liam tampak terusik, dia berpaling menutup setengah wajah dengan selimut. Hal lucu tersebut berhasil membuatku terkekeh. Bangkit dari tidur lalu berdiri disamping ranjang sambil menyingkap gorden tersebut.
Srett!
Pemandangan pagi dengan langit cerah terlihat disana. Udara juga masih benar-benar segar. Ku cepol asal rambutku dengan seutas ikatan, kilas balik tentang ingatan kembali bermunculan.
Haha.
Semalam—
Lucunya, aku menangis ketakutan karena tidak ingin ditinggalkan. Setelah melakukan hal bodoh tersebut kami malah menghabiskan malam yang panas diranjang. Maksudku tidur didalam selimut sambil berpelukan, panas bukan? Tidak dengan hal-hal nakal yang mungkin saja bisa tebayangkan.
Aku masih belum siap. Jujur.
Memberikan sepenuhnya tubuhku pada lelaki itu, meski tahu kalau dia sungguh-sungguh mencintai diriku.
...__________________...
...R a h a s i a...
...__________________...
..._________...
...____...
..._...
Aku menggeleng tak percaya, berapa lama lagi dia bisa bertahan diatas ranjang? Tidur dengan lelapnya. Ini sudah siang, bahkan aku sempat dua kali memesan makanan secara online melalui telepon genggam miliknya.
Membangunkan lelaki itu juga terasa tidak benar, aku tahu Liam pasti kelelahan. Dengan semua pekerjaan yang ia lakukan. Bahkan kami harus terperangkap disini lebih lama lagi dari pada jadwal yang seharusnya.
Ku maklumi, meski mungkin aku akan mendapat nilai D dibeberapa mata kuliah nanti. Sial.
Demi kekasihku yang manis satu ini.
"Aku mencintai mu~"
Cup!
Kecupan hangat mendarat dikeningnya. Lebih baik aku ke ruang baca, dari pada memandanginya terus-menerus seperti sosok hantu gentayangan di pojok ruangan. Nikmat waktu istirahat mu sayang~
Itu yang ku pikirkan sebelum aku menemukan sesuatu yang bisa dikatakan mengerikan.
Bugh!
Buku besar jatuh, tepat diantara kakiku. Pandangan mata melotot; menantap tak percaya—meneliti dalam secarik kertas atau lebih tepatnya selembar foto yang terselip diantara lembar halaman buku yang jatuh barusan.
Glek!
Tanpa sadar aku menelan saliva kasar.
"Apa ini?" gumamku tanpa sadar. Gambar didalam foto tersebut memperlihatkan sesosok lelaki berpakaian SMA tengah dipasung disebuah kursi kayu, kejamnya lagi—wajah lelaki itu dipenuhi dengan darah serta luka menganga yang begitu besar.
Aku menggigil.
Foto apa ini? Tidak ingin menduga yang tidak-tidak, aku memulai membuka satu persatu buku yang berada diruang baca milik kekasih ku.
Benar saja. Dari semua buka, pasti ada pembatas berupa foto mengerikan serupa yang ada ditanganku. Orangnya berbeda-beda, mulai dari laki-laki hingga wanita.
Lagi-lagi pertanyaan yang sama muncul. Untuk apa Liam memiliki—?! Bukan! Menyimpan hal-hal mengerikan tersebut didalam bukunya? Bukan sekadar dijadikan pembatas buku saja 'kan?
Karena kemarin malam aku hanya melihat-lihat, jelas aku tidak tahu lebih dulu soal foto-foto mengerikan tersebut. Andai kata aku tahu, jenis pertanyaan apa juga yang dapat ku ajukan pada Liam.
Kau memiliki hobbi yang aneh yah? Seperti itu?
Sekilas, orang awam mungkin akan beranggapan kalau Liam ini adalah seorang—
"Psychopath?"
Sial! Aku merinding, mengingat kembali ucapan wanita bernama Vioner soal sosok sebenarnya dari kekasih ku Liam. Jelas tidak mungkin!
Bisakah penilaian ku masuk kedalam opsi pilihan yang valid? Jawabannya tidak. Tapi? Aku tidak ingin menerka sesuatu yang tidak-tidak, soal satu-satunya tempatku untuk pulang.
Liam.
Srett...
Ku tarik buku terakhir, berada disudut paling atas rak. Bukunya kecil, berwarna maroon dengan judul 'wanita ular'—terlihat seperti dongeng. Tak perlu membuka dari lembar pertama, aku langsung mencari bagian tengah tempat pembatas buku berada.
Mungkin karena terlalu cepat, foto yang berada dalam buku terjatuh keatas lantai. Spontan aku menunduk, sekilas terlihat—gambar terakhir dilembaran foto tersebut.
DEGH!
Itu?
"Vioner?" Wanita yang ku temui semalam.
Pada posisi sama, terikat disebuah kursi kayu dengan wajah yang sedikit babak belur. Tidak separah lainnya, hanya saja? Bukannya ini sedikit mengerikan.
...***...
"Sayang?" Liam memanggilku, sial! Karena tidak fokus aku malah terkejut.
"Y... Ya?!" sahutku gugup. Dia menampilkan ekspresi aneh, seolah keheranan dengan diriku yang jarang-jarang melamun. Aku terlalu hanyut dengan isi dalam pikiranku makanya tidak memperhatikan sosok yang tengah duduk tepat diseberang meja makan sana.
Setelah cukup lama tertidur, Liam akhirnya bangun saat waktu makan malam menjelang. Ku pikir dia mati.
"Kau baik-baik saja Rea?" tanyanya kemudian.
Bisakah aku menjawab jujur? Kalau aku sedang tidak baik-baik saja. Aku baru saja menemukan sesuatu yang aneh diruang baca milik mu Liam. Berisi lembaran foto dengan orang-orang asing sebagai objeknya, ditambah parahnya lagi mereka dalam keadaan yang tidak baik-baik saja! Arghhh!
Aku pusing!
Persepsi-persepsi negatif bermunculan. Baru saja kemarin aku berpikiran ingin menyerahkan segalanya tentang diriku pada mu Liam. Dan lihatlah sekarang, aku kembali ragu.
Soal aku yang mencintai mu itu bukanlah sebuah kebohongan. Hanya saja, aku berharap—sedikit mengetahui tentang dirimu lebih banyak lagi.
Egois 'kah?
Jelas tidak, ini demi diriku. Aku tak ingin terperangkap pada sesuatu yang mungkin saja akan membuatku menyesal dikemudian harinya.
Liam.
"Tak apa, aku hanya pusing..." sahutku atas pertanyaan yang ia ajukan. Mari menampilkan ekspresi wajah sama seperti biasanya. Jangan terpengaruh, sebelum aku mendapatkan cukup banyak informasi tentang dirimu.
.
.
.
.
.
Drttt! Drttt!
"Hello?"
Aku terdiam, perlu usaha ekstra supaya aku bisa mendapatkan nomor telepon tersebut. Untung saja, ada catatan kunjungan yang masuk melalui lobby hotel serta rekaman kamera pengawas disana. Hanya perlu membayar sedikit untuk melacaknya.
"Hallo?!" kembali terdengar, agak kesal—mungkin karena merasa sedikit dipermainkan. Aku membuka celah bibirku seraya menjawab.
"Bisakah kita bertemu? Ada hal yang ingin ku tanyakan pada mu..."
Tidak terdengar sahutan disebarang sana, semuanya berubah senyap. Cukup lama sebelum akhirnya Vioner angkat suara.
Glek!
Aku menelan saliva kasar.
Terdengar untaian kata—
"Seharusnya kau jangan menggunakan telepon rumah... apa lagi nomor ini." ucapnya, membuat ku gugup. Apa yang Vioner katakan?
"Dengar Rea. Kereta kuda akan berubah menjadi labu tepat pukul 12 malam bersama dentingan lonceng jam yang terdengar—"
Bip!
Sambungan terputus secara sepihak. Jelas bukan aku atau Vioner yang memutuskan sambungan telepon tersebut. Dengan mempertahankan wajah, aku mencoba terlihat biasa saja. Meletakan kembali telepon rumah milik Liam kembali keempatnya.
Jelas, rangkaian kata yang Vioner ucapkan pasti memilik semacam makna didalamnya. Tapi apa?
Aku tak mengerti.
Sial, tanpa sadar aku mendongak. Menantap acak area sekitar ruangan, entah kenapa—rasanya seperti tengah DIAWASI.
Oleh sesuatu.
Sungguh, aku serius.
Ini mulai membuat ku takut.
...***...
...T b c...
...Cerita bersifat fiksi atau karangan saja, jika terdapat kesamaan dalam bentuk apapun—mungkin karena ketidak sengajaan semata....
...Jangan lupa like, vote, dan comments...
...Terima kasih...
...Ketemu lagi nanti...
...Bye...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments