Jangan

"Argh?" Rasanya tenggorok kering, perlahan kubuka-kan kedua kelopak mataku. Pemandangan asing terlihat menyambut untuk pertama kalinya. Interior langit-langit ruangan agak polos, dimana aku?

Dewi batinku bertanya. Seraya mengubah posisi menjadi setangah berbaring aku memijit pelan keningku, melenguh keras. Rasanya sakit, juga pusing.

Apa yang terjadi?

Kreeet~

Suara dari engsel pintu terdengar, spontan aku melirik. Ada seseorang yang entah siapa masuk kedalam ruangan tempatku tidur. Belum sampai 15 detik aku melihat, sudah kutemukan sosok Liam disana. Berdiri mengangkat nampan, berisi piring-piring penuh dengan makanan.

"Pagi sayang?" gumamku langsung, mendapat kekehan. Bisa-bisanya aku melucu disituasi janggal ini, dia mendekat—meletakan nampan tersebut diatas meja nakas lalu duduk tepat di bibir ranjang.

"Ini sore sayang..." koreksinya pada ku, menyadari akan kebodohan aku pun tertawa.

"Benarkah?" beoku. Mendapat anggukan dari lelaki itu, ingatan terakhir yang ku punya adalah saat itu—ketika wanita bernama Vioner datang menemuiku lalu bercerita omong kosong soal Liam. Selebihnya aku tidak ingat, apa penyebab diriku bisa terbaring diatas ranjang dengan kepala yang sakit.

Perlukah aku bertanya? Pada Liam.

Tapi—suasana saat ini sedang bagus. Aku tidak mau temperamennya tiba-tiba berubah saat aku memaksa membahas soal kejadian semalam, akan jadi buruk nantinya. Jujur aku tak ingin bertengkar dengan Liam. Tidak lagi.

Sepertinya lebih baik begini, asalkan semua berjalan normal, aku dan Liam akan bahagia.

Begitu?

Hah~

Entahlah.

Membiarkan air mengalir mengikuti arus tidak buruk juga, asal tidak menemukan jurang diujung aliran sana. Ya 'Kan?

...______________________...

...J a n g a n...

...______________________...

...___________...

..._____...

..._...

"Omong-omong? Kita dimana Liam?" tanyaku penasaran, menyudahi acara makan. Ku bereskan nampan lalu ku taruh diatas nakas, lelaki bernama Liam yang berbaring tepat disampingku menoleh.

Celah bibirnya terbuka—lelaki itu berkata.

"Apartement lama ku sayang..." ucapnya. Perlu waktu beberapa menit untuk ku memproses apa yang Liam katakan. Apartemen lama? Dimana itu?

Apa kami masih di—?

"Lalu kapan kita pulang Liam, aku sedikit khawatir karena melewatkan beberapa mata kuliah..." sahutku cepat setelah mengenali kalau tempat yang kami tinggali masih satu pulau sama seperti sebelumnya. Kita belum kembali, aku takut Fian mencariku—sudah lama kami tidak bertukar kabar.

Ku harap wanita itu tidak bertindak gila, tiba-tiba melaporkan nama ku kebagian orang hilang. Tidak lucu bukan?

"Maafkan aku sayang, tiga hari lagi kita akan berangkat... yah?" ucapnya bernada tanya sambil melayangkan tatapan memelas. Sial, aku lemah terhadap dirimu Liam. Mau tak mau ku anggukan kepalaku ragu, dia tampak senang lalu memelukku erat. Biarlah, pasrah saja Rea. Kau benar-benar tidak bisa melawan Liam. Dia terlalu manis untuk disakiti.

"Sebenarnya pekerjaan jenis apa yang kau lakukan Liam?" ini murni karena rasa penasaran. Setelah lepas dari pelukan aku bangkit dari bibir ranjang—mengangkat nampan dari nakas sembari menunggu jawaban.

Dia tampak tersenyum, apa maksudnya itu?

Kau tidak ingin membicarakannya 'kan?!

HAH! PERSETAN.

Ya sudah, tanpa menunggu lama aku langsung angkat kaki dari sana.

Sambil berjalan keluar mataku jelalatan, tiap ruangan apartemen milik Liam terlihat sederhana. Dengan warna monokrom serta dekorasi laki, persis seperti kamar bujangan. Tak heran lelaki itu menyebut kata lama diakhir kalimatnya.

Tapi? Kalau dia punya apartement disini untuk apa kami menginap di hotel? Buang-buang uang saja.

Aku tidak mengerti pola pikir seseorang yang bisa dikatakan kaya dalam menghabiskan uang mereka. Hah~ lupakan.

Dimana dapurnya?

Manik ku kesana-kemari, mencari satu petak bernama dapur tersebut. Bermodalkan intuisi aku menjejakkan kaki ketiap ruangan yang ada, untuk ukuran apartemen—tempat ini lumayan besar bahkan banyak kamar-kamar kosong.

Ah!

Dapat!

Batinku girang. Ternyata ada diujung lorong—agak jauh dari ruangan yang aku dan Liam tempati. Cepat-cepat kuletakan nampan berisi piring kotor kedalam wastafel, sekalian kucuci serta ku kembalikan ketempat asal mereka yaitu rak piring.

"Kenapa jendela sekecil itu di-tralis?" gumamku penasaran setelah selesai berkegiatan. Ku lap air ditanganku dengan kain khusus yang sengaja ditaruh disana.

Apa memang desain begini?

Aku yang bertanya aku juga yang jawab. Mungkin begitu, terserahlah. Lebih baik kembali ke-kamar atau?

Ku rasa melihat-lihat kembali isi dalam ruangan tidak buruk juga. Liam tidak akan marahkan kalau aku memilih untuk menjelajah, toh aku tidak akan keluar dari apartemen ini. Dan ku rasa aku juga tak perlu izin darinya, dia 'kan kekasih ku.

Ya kan?

Sambil bersenandung aku memulai langkah pertamaku, ruangan disisi kiri setelah dapur tampak menarik perhatian. Mari kita coba masuk, apakah aku akan menemukan sesuatu atau hanya sekadar ruang kosong seperti yang lainnya? Hm...

"Wah~ apa ini? Ruang baca?" gumamku terkesima, kenapa tidak? Lihat saja seisi ruangan dengan rak buku itu, gila. Tak heran Liam bekerja sebagai pengajar.

Baik, mari kita pindah ruangan lain.

Seperti dugaan awal, memang kebanyakan adalah kamar kosong. Aku hanya menemukan ruang baca, ruangan aneh dengan kaca; entah untuk apa—mungkin semacam studio begitu, lalu ada ruang kerja milik Liam juga.

"Fyuh~"

Sekarang aku mulai bosan, ku rasa lebih baik mendatang Liam saja di-kamar. Entah apa yang lelaki itu lakukan saat ini, dia bahkan tidak heran atau mencariku karena terlalu lama diluar kamar. Aneh.

"Liam?" panggilku setelah sampai didepan kamar lalu membuka daun pintunya.

Eh? Tunggu? Kemana lelaki itu pergi?

Perasaan aku hanya berjalan-jalan dilorong depan. Tidak mungkin aku tidak melihat lelaki itu seumpama dia lewat; pergi entah kemana?

Sebelah alisku terangkat, melangkah sambil mengedarkan pandangan liar.

Serius? Dimana dia? Ranjang tempat kami tidur masih hangat, itu artinya Liam belum lama pergi.

"Liam?" panggilku.

Tidak lucu, kemana perginya sosok tersebut. Suasana jadi senyap—ini menakutkan. Aku tidak suka kehampaan rasanya seperti kembali kemasa-masa aku kehilangan jati diri.

Deg!

Tak ada seorangpun mengenalku, berdiam diri di ranjang rumah sakit dengan tatapan yang kosong selama satu tahun. Betapa mengerikannya itu, aku bahkan nyaris putus asa diatas ketidak tahuan.

Liam!

Dimana kau?!

Bugh!

Lututku tiba-tiba lemas, sial aku tidak dapat menopang berat badanku. Tanpa sadar tubuh ini gemetar, aku tidak suka. Liam!

"Hiks... hiks..."

"LIAM!"

"REA! ADA APA?!" Tiba-tiba gendang telinga milikku mendengar suara, spontan aku menoleh. Walau mataku tertutup genangan air aku masih dapat melihat lelaki tersebut yang baru saja muncul disudut ruangan, ada pintu kecil disana. Warnanya serupa dengan dinding, persetanlah?! Aku langsung bangkit lalu berlari kearahnya.

Menghamburkan diri kedalam pelukan lelaki itu sambil menangis.

"Hiks... hiks... Jangan tinggalkan aku!" kesalku.

"Aku benci sendirian!"

Dia tampak mengeratkan pelukan, menepuk pelan pucuk kepala ku. Mungkin beberapa orang bingung dengan situasi janggal ini, tapi jujur—saat aku mengetahui kalau Liam tidak ada rasanya menakutkan.

Aku seolah dibuang.

"Salah mu..." bisiknya kemudian berhasil menarik sudut kecil dari rasa penasaran. Apa yang Liam katakan? Ditujukan pada siapa kalimat tersebut?

Entahlah. Aku tidak tahu.

...***...

...T b c...

...Ceritabersifat fiksi atau karangan saja, jika terdapat kesamaan dalam bentuk apapun—mungkin karena ketidak sengajaan semata....

...Jangan lupa klik like, vote, dan comments diakhir cerita sebagai wujud apresiasi terhadap karya penulis....

...Terima kasih,...

...ketemu lagi nanti...

...Bye...

...:3...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!