Baiklah, apa yang bisa aku lakukan dengan itu?
...___________________...
...S a b u n...
...___________________...
...__________...
...____...
..._...
Kreet~
Suara engsel pintu terbuka, wajah marah dari Liam terpampang terlalu jelas menyambut penglihatan mataku.
Dia meneliti penuh curiga; tiap inci dari tubuh memastikan apa yang telah aku lakukan di-kamar mandi. Hanya ada bawahan melorot yang sengaja aku buat begitu—menandakan kalau aku benar-benar menggunakan kamar toilet. Pandangan matanya kemudian beralih, menuju pergelangan tanganku yang masih terikat.
Hei! Aku bahkan tidak sempat menyentuh benda itu. Tak mungkin bisa tiba-tiba terlepas begitu saja, aku bukan pesulap.
Dia menggiringku menuju meja makan, dengan wajah tenang aku mengikuti langkah lelaki tersebut. Bibir yang terkunci rapat menampilkan sebuah senyuman simpul; tanda kalau aku sebenarnya terpaksa harus tunduk diatas perintah bajingan mesum ini.
"Aku senang kau tidak memberontak sayang... jadi bisakah aku mulai menjelaskan semua maksud dari tindakan ini?"
Tentu saja, aku memberi respon menaik turunkan dagu kepada dirinya.
Coba kita dengar, motif apa yang mendasari tindakan mu itu.
Wajahnya berubah lesu, menunduk malu tepat dihadapan diriku. Dia mulai kembali bergumam sesuatu yang nyaris tidak dapat didengar oleh gendang telingaku. Bisa kau bertindak sedikit normal Liam? Andai kata aku bisa melontarkan kalimat protes tersebut.
Tapi sayang, mulutku terlalu penuh dengan sesuatu. Hanya 2 bagian kalimat saja yang dapat terdengar oleh telinga kecil ini—dan itu berhasil membuatku jijik mendengarnya.
"...semua ini ku lakukan karena aku tidak ingin kehilangan dirimu lagi..."
"...aku tulus mencintaimu..."
Cinta?
Apa begini caramu memperlakukan seseorang yang mencintai dirimu? Disaat aku nyaris menjatuhkan hati pada sosok mulia mu, kau malah ketakutan ketika tanpa tanpa sengaja aku menemukan sisi lain atas dirimu.
Bolehkah ini disebut sebagai 'kekecewaan'? Dari sebuah pengkhianatan? Lucu, aku sekarang bahkan tidak tahu perasaan apa yang tengah aku alami. Semuanya campur aduk, kacau balau—hal yang terpikirkan oleh otak kecil dan bodoh ini cuma satu; yaitu lepas dari genggaman tangan mu.
Maaf saja, aku ingin pergi jauh-jauh dari mu—sementara waktu ini Liam. Tapi kau terlalu memaksakan kehendak, itu dapat membuatku tanpa sadar membenci dirimu.
Aku berdiri, mendekati sosok Liam; membingkai manis wajah miliknya dengan kedua tangan terikatku.
Dia mendongak ke atas, membalas tatapan yang aku layangkan kepadanya dengan mata yang sendu. Benar-benar kasihan atau minta dikasihani?
Ku dekatkan bibir, menuju wajahnya hingga jarak diantara kami semakin tipis lalu—
"Ergh!" dia tersentak mundur seraya menutup kelopak mata saat dengan tiba-tiba aku menyemburkan cairan sabun melalui mulut.
Terperanjat kaget, dia mendesis sakit karena benda tersebut berhasil mengenai kedua bola mata miliknya.
"Rea!" dia memanggil, suaranya amat keras. Ku angkat bahu acuh—tak peduli. Tidak ingin membuang waktu lama aku lantas menarik sebuah pisau lalu menyimpan benda itu kedalam saku bajuku; siapa tahu aku akan memerlukan benda ini nanti. Berputar haluan, langkah kaki yang mungkin terdengar menjauhi sosok dirinya memaksa Liam untuk membuka kedua kelopak mata itu.
Sekilas kulihat, benar-benar memerah ternyata.
"REA! BERHENTI DISITU!" Mungkin dia menyadari niat kaburku, tanpa menoleh kebelakang—aku terus berlari dengan cepat menuju satu-satunya akses yang bisa membawa ku keluar dari apartemen busuk ini.
Untungnya, entah dia bodoh atau ceroboh—tak ada satu ruangan termasuk pintu keluar yang terkunci dengan rapat.
Seyakin itu rupanya kau pada kemampuan dirimu yang bisa mengontrol diri seseorang.
Kita akan bertemu lagi nanti sayang—setelah aku menemukan semua jawaban atas rahasia yang kau tutupi.
Blam!
"RREEEEAAAAAAAAAAAA!"
...***...
"Ku pikir siapa... dari mana kau tahu alamatku?" ucapnya menatap penuh curiga tepat kearah belakang punggung ku. Seakan-akan mencari seseorang yang mungkin saja tengah mengekoriku, tapi nyatanya nihil—cuma ada aku disini, berdiri di pelataran depan rumah milik wanita bernama Vioner ini.
"Nomor telepon, jaga-jaga—aku sengaja menghafal kumpulan angka tersebut lalu mencarinya di kantor polisi." sahutku sambil mendorongnya masuk, selain dia yang bersikap waspada aku juga menampilkan raut muka yang sedikit was-was. Berharap jikalau Liam tidak akan muncul secara tiba-tiba tepat dibelakang punggung ini. Itu menyeramkan, sungguh.
Secara alami Vioner mengikut gerakan tubuhku lalu menutup daun pintu setelah kami benar-benar berada didalam rumah wanita itu.
"Apa yang terjadi?" Entah dia yang terlalu peka atau bagaimana, Vioner—wanita ini sungguh cepat sekali tanggap terhadap situasi yang menimpa diriku.
"Aku melihat apa yang ingin kau tunjukan pada ku..." mengacu kearah rahasia kelam dari sang kekasih ku yang tidak lain adalah Liam. Dia sedikit tersentak—lucu, mungkin dia berpikir aku tidak akan cukup bodoh melakukan hal gila tersebut tapi ternyata malah sebaliknya. Apa kau tidak ingin aku mengetahui kebenaran?
"Lalu? Apa yang dia lakukan pada mu Re?" Dia bertanya sambil melihat diriku yang kabur tanpa menggunakan alas kaki, ada bekas kemerahan dikedua tangan dan pergelangan kakiku.
Dengan wajah polos, aku menjawab pertanyaan wanita itu.
"Dia mengurungku."
Deg!
.
.
.
.
.
BRUAK!
"Dimana Rea!" Sungguh tamu yang tidak sabaran, mendobrak pintu masuk rumah seseorang lalu mencengkeram kasar kerah baju pemilik rumah tersebut.
Vioner mendesis, mendorong kesal sosok Liam yang terlihat tidak tahu adab.
"Apa maksudmu?! Aku bahkan tidak mengerti apa yang telah terjadi!"
Liam mendengus, dia menyusuri setiap ruangan sambil mencari keberadaan atas diriku didalam rumah tersebut. Vioner yang berakting seolah-olah diriku tak pernah datang kemari mencoba melayangkan kata-kata penuh nada protes.
Tidak menemukan apa yang dia inginkan, Liam kembali berputar haluan menuju pintu depan. Ku sipitkan mata—menantap dalam tiap inci dari pergerakan lelaki itu dari atas langit-langit ruangan. Atau lebih tepatnya aku sedang berada diloteng kecil milik rumah Vioner, menantap dari ventilasi udara yang anehnya terhubung dengan loteng. Seakan-akan memang dirancang begitu supaya dapat tersamarkan oleh sekitar. Tidak ada yang mengira kalau ventilasi dari luar adalah sebuah ruangan kecil untuk tempat bersembunyi.
Degh!
Ini sedikit membuatku takut, saat tiba-tiba dia menghentikan langkah. Mengabaikan celotehan panjang yang masih Vioner coba layangkan kepadanya lalu menantap tajam kearah tempat diriku mengintip.
Tanpa sadar aku menyembunyikan mata, berharap dia tidak menyadari kehadiranku. Tidak lucu bukan? Aku yang sudah bersusah payah kabur malah kembali tertangkap. Bahkan ini hanya berjeda 15 menit setelah kedatangan ku kemari, dia sudah bisa menebak kalau mungkin saja aku akan ketempat Vioner. Benar-benar intuisi yang kuat.
"Keluar!" Vioner berteriak, kesal. Sepertinya tingkah Liam berhasil membuatnya naik pitam. Atau bisa juga dia ingin mengalihkan perhatian dari sosok lelaki itu.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi antara kau dengan Rea, tapi seperti yang kau lihat—dia tidak ada disini. Jadi bisa tolong angkat kaki mu dari rumah ku? LIAM."
Uuu~
...***...
...T b c...
...Cerita bersifat fiksi atau karangan saja, jika terdapat kesamaan dalam bentuk apapun—mungkin karena ketidak sengajaan semata....
...Jangan lupa klik like, vote, dan comments diakhir cerita sebagai wujud apresiasi terhadap karya penulis....
...Terima kasih,...
...ketemu lagi nanti...
...Bye...
...:3...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments