Melukis Citra Dengan Cahaya

Melukis Citra Dengan Cahaya

Part 1

..."Kalau terbakar api ... Kalau tertusuk duri ... Mungkin … Masih dapat ku tahan ... Tapi ini sakit lebih sakit ... Kecewa… Karena cinta.......

...Jangankan diriku ... Semut pun kan marah ... bila terlalu … Sakit begini ... Daripada sakit hati ... Lebih baik sakit gigi ini ... Biar tak mengapa....

...... Rela, rela, rela, aku relakan ..."...

Sudah kesekian kalinya lantunan lagu berirama pelan, dan mendayu-dayu dari penyanyi dangdut Meggy Z, diiringi suara tabuhan gendang dan seruling, terdengar mengalun dari pengeras suara pemutar kaset pita.

Meskipun sudah bosan mendengarkannya, namun kedua pasang telinga yang ada di situ, tetap mau saja menyalakan pemutar kaset pita usang bertenaga baterai itu, daripada mereka hanya melamun kosong.

Di lantai pondok kebun tak berdinding yang berdiri di tengah-tengah sawah, Bagio berbaring terlentang, dan mengayun-ayunkan kakinya, yang menggantung keluar dari lantai bagian pinggir pondok.

Walau tidak pernah berhasil mendapatkan jumlah pastinya, Bagio tetap bersemangat menghitung-hitung lembaran daun rumbia, yang tersusun rapi menjadi atap pondok itu.

"Dung, dung! ... Dung, dung! ... Tek!"

Sambil mengetuk-ngetuk lantai pondok, Kartono ikut menirukan bunyi gendang dengan tangan dan suara dari mulutnya.

Bagio dan Kartono, hanya sekedar melepas lelah, setelah seharian bekerja di sawah tetangga, dengan bersantai di dalam pondok sawah milik Bagio.

Rasanya lumayan saja untuk mengurangi pedihnya kulit yang terbakar, karena terjemur di bawah terik matahari, selama mereka bekerja tadi.

Dan dengan meluruskan punggung seperti itu, cukup untuk mengurangi ketegangan urat-urat syaraf, yang terlalu banyak membungkuk saat bekerja.

"Lebih baik sakit gigi daripada sakit hati? Mungkin yang nulis lagunya nggak pernah merasa sakit gigi." Kartono yang sedari tadi hanya duduk di samping Bagio, akhirnya ikut terlentang di lantai pondok.

Sakit gigi dibandingkan dengan sakit hati?

Bagio sudah pernah merasakan keduanya. Dan rasanya? Sama sakitnya. Beda di lokasinya saja.

Sarimunah ... Kenapa kau melakukan ini pada abang, dek?

Bukankah abang sudah bilang, kalau bulan pun akan abang ambilkan untukmu?!

Angin sepoi-sepoi berhembus di sela-sela cambang dan kumis Bagio yang panjang, karena sudah berbulan-bulan tidak pernah dicukurnya.

Sedikit dari ujung bulu kumisnya menggelitik lubang hidung Bagio.

Mulut Bagio terbuka lebar-lebar, lalu ...

"Haaaattcchiim!" Bagio bersin dengan pembukaan yang bernada tinggi, dan menutupnya dengan irama yang menyentak. "Sarimunah goblok!"

Latahnya Bagio, menarik perhatian Kartono. "E, e, e, eeeh ...! Kau masih cinta padanya?"

"Ya, enggak lah! ... Emangnya, wanita di dunia ini hanya dia saja?!" Bantah Bagio, yang berusaha keras menutup-nutupi hatinya yang sedang teriris-iris.

Jangan ada yang coba-coba meremehkan Bagio!

Siapa yang tak akan sakit hati, kalau ditinggal sang kekasih hati, saat akan mengucapkan ijab kabul?

Oh! Sarimunah ...! Sungguh kau tega!

Berpacaran sejak kelas satu di sekolah menengah pertama, namun cinta Sarimunah tidak sekuat benang dari sarang laba-laba.

Sepetak sawah dan sebuah rumah sederhana peninggalan mendiang kakek Bagio, juga tidak mampu meyakinkan Sarimunah, kalau Bagio sanggup mencukupi kebutuhan hidupnya.

Sarimunah sepertinya lupa akan perkataan guru sekolah dasarnya : "Tidak ada petani, maka tidak akan ada nasi di atas meja!"

Daripada nasi, Sarimunah lebih memilih memakan roti tawar yang dibelikan Joyo, pemuda dari kampung tetangga yang bekerja sebagai TKI di luar negeri.

Akhirnya, Bagio jadi korban dari irisan roti tawar.

Dengan alasan sakit perut karena terlalu banyak makan roti yang beroleskan mentega, Sarimunah meninggalkan Bagio yang duduk bersila di depan penghulu.

Bagio menunggu Sarimunah kembali sampai kakinya kesemutan, namun batang hidung Sarimunah yang pesek tidak kunjung terlihat.

Sampai-sampai, pak penghulu juga akhirnya mengundurkan diri, karena kaki pak penghulu yang terlipat terlalu lama, juga sudah mati rasa.

Ah! Sudahlah!

Kejadian itu sudah lewat berbulan-bulan yang lalu, Bagio tidak mau menangis di depan Kartono, yang menjadi sahabat karib Bagio, sejak mereka masih bocah.

Walaupun merasa terhina, tapi Bagio sudah mengikhlaskannya. Atau belum? Ckckck ...!

Biarkan Sarimunah merasakan penderitaan, saat harus tinggal terpisah dari Joyo. Emang enak? Makan tuh roti tawar! Tapi, setiap malam hanya bisa memeluk bantal guling.

Ini semua gara-gara Joyo!

Atau memang karena Bagio yang bernasib sial?

Cahyo Bagio, pemuda yang hampir genap berusia 23 tahun, dan biasanya hanya dipanggil Bagio.

Namanya memiliki arti 'Cahaya Bahagia', namun kelihatannya, Bagio masih belum menemukan titik terang menuju kebahagiaannya.

Di masa yang telah lalu, Ayah Bagio mengajak ibu dari Bagio untuk mencoba mencari penghasilan lebih di kota.

Saat itu juga, mau tidak mau, Bagio harus ditinggal kedua orang tuanya, dan hanya dibesarkan di dalam asuhan dari kakek Bagio saja.

Akan tetapi, kedua orang tua Bagio yang sedang merantau ke kota, dan tinggal di sana dengan berusaha berdagang ayam potong, tiba-tiba saja terdengar kabar kalau mereka berdua telah meninggal dunia karena wabah penyakit flu burung.

Ketika wabah itu menyerang, dan membuat kedua orang tuanya itu ikut menjadi korban, Bagio saat itu masih duduk di bangku sekolah dasar.

Tidak berakhir di situ.

Bagio belum sempat merasakan lulus dari sekolah menengah atas, namun kakek dari Bagio mendadak jatuh sakit, dan harus dirawat di rumah sakit berbulan-bulan lamanya, hingga kakeknya menghembuskan nafas terakhirnya di sana.

Sialnya lagi, karena dianggap mampu sebab memiliki sepetak sawah, kakeknya tidak bisa mendapat surat keterangan tidak mampu dari pemerintah desa. Sehingga, biaya perawatannya di rumah sakit, harus mereka tanggung sendiri.

Mau tidak mau, Bagio yang tidak tahu bagaimana mencari uang dengan cara yang cepat, tanpa harus menjual lahan sawah ataupun rumah kakeknya, nekat meminta bantuan dari salah satu tetangganya, untuk membuat pinjaman dengan menjaminkan sertifikat sawah ke pegadaian.

Bagio akhirnya harus berhenti sekolah dan tidak sempat memiliki ijazah SMA, agar dia bisa bekerja mengelola sawah untuk membayar tagihan pegadaian, jika dia tidak mau sawah dan rumah peninggalan kakeknya disita.

Selama ini, beberapa teman sekolahnya, sudah berkali-kali mengajak Bagio untuk merantau, dengan memberikan contoh beberapa dari teman sebaya mereka, yang sudah berhasil di perantauan.

Namun, Bagio masih ragu-ragu untuk pergi meninggalkan kampung itu begitu saja, dan masih butuh waktu untuk mempertimbangkan tentang hal itu matang-matang.

Selain karena dia yang harus rutin membayar setoran hutang, ijazahnya yang hanya sebatas sekolah menengah pertama, membuat Bagio merasa kurang yakin kalau dia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.

Dengan demikian, Bagio masih bertahan di kampung, dengan tetap mengelola sawah mendiang kakeknya, dan ikut mengambil upah buruh harian di sawah milik orang lain.

"Aaarrrghh!" Kartono tiba-tiba bangkit, lalu berteriak sampai lantai pondok ikut bergetar, karena suara dan beban dari tubuhnya yang bergerak liar.

"Ada apa?" Bagio juga ikut-ikutan panik, kalau-kalau Kartono melihat hantu, berhubung hari yang sudah hampir menuju ke kegelapan malam.

"Semut! ... Semut menggigit anu ku!" ujar Kartono, dengan air mata yang membasahi ujung-ujung matanya.

Kartono tampak sangat kesakitan, sambil mengelus-elus sela di antara kedua pahanya, dengan perlahan-lahan.

"Pffftt ...!" Bagio sudah menahan sekuat tenaga agar tidak tertawa, namun saat membayangkan semut yang mencicipi anu Kartono, Bagio tidak bisa menahan tawanya lagi. "Hahaha!"

"Kenapa kalian belum pulang?" Seseorang tiba-tiba saja terdengar sedang bertanya, di sela-sela gelak tawa Bagio.

Bagio berhenti tertawa, lalu melihat ke arah pematang sawah, untuk memastikan siapa yang berbicara barusan.

"Pakde ...!" sapa Bagio.

Ternyata orang yang bertanya itu adalah tetangga Bagio, yang menjadi pemilik sawah yang baru saja selesai dikerjakan oleh Bagio dan Kartono.

"Nanti pergi saja ke rumah, ya?! Aku tadi nggak bawa uang," kata tetangga Bagio itu, lalu beranjak pergi dari situ.

"Siap, pakde!" sahut Bagio mantap.

Terpopuler

Comments

$uRa

$uRa

ayo semangat begi...temenku namanya Bagyo panggilannya begi

2023-01-19

0

$uRa

$uRa

baca ahh. sambil nunggu sir johan

2023-01-19

0

EL Shawieto

EL Shawieto

Ada² aja si Kartono

2022-12-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!