..."Kalau terbakar api ... Kalau tertusuk duri ... Mungkin … Masih dapat ku tahan ... Tapi ini sakit lebih sakit ... Kecewa… Karena cinta.......
...Jangankan diriku ... Semut pun kan marah ... bila terlalu … Sakit begini ... Daripada sakit hati ... Lebih baik sakit gigi ini ... Biar tak mengapa....
...... Rela, rela, rela, aku relakan ..."...
Sudah kesekian kalinya lantunan lagu berirama pelan, dan mendayu-dayu dari penyanyi dangdut Meggy Z, diiringi suara tabuhan gendang dan seruling, terdengar mengalun dari pengeras suara pemutar kaset pita.
Meskipun sudah bosan mendengarkannya, namun kedua pasang telinga yang ada di situ, tetap mau saja menyalakan pemutar kaset pita usang bertenaga baterai itu, daripada mereka hanya melamun kosong.
Di lantai pondok kebun tak berdinding yang berdiri di tengah-tengah sawah, Bagio berbaring terlentang, dan mengayun-ayunkan kakinya, yang menggantung keluar dari lantai bagian pinggir pondok.
Walau tidak pernah berhasil mendapatkan jumlah pastinya, Bagio tetap bersemangat menghitung-hitung lembaran daun rumbia, yang tersusun rapi menjadi atap pondok itu.
"Dung, dung! ... Dung, dung! ... Tek!"
Sambil mengetuk-ngetuk lantai pondok, Kartono ikut menirukan bunyi gendang dengan tangan dan suara dari mulutnya.
Bagio dan Kartono, hanya sekedar melepas lelah, setelah seharian bekerja di sawah tetangga, dengan bersantai di dalam pondok sawah milik Bagio.
Rasanya lumayan saja untuk mengurangi pedihnya kulit yang terbakar, karena terjemur di bawah terik matahari, selama mereka bekerja tadi.
Dan dengan meluruskan punggung seperti itu, cukup untuk mengurangi ketegangan urat-urat syaraf, yang terlalu banyak membungkuk saat bekerja.
"Lebih baik sakit gigi daripada sakit hati? Mungkin yang nulis lagunya nggak pernah merasa sakit gigi." Kartono yang sedari tadi hanya duduk di samping Bagio, akhirnya ikut terlentang di lantai pondok.
Sakit gigi dibandingkan dengan sakit hati?
Bagio sudah pernah merasakan keduanya. Dan rasanya? Sama sakitnya. Beda di lokasinya saja.
Sarimunah ... Kenapa kau melakukan ini pada abang, dek?
Bukankah abang sudah bilang, kalau bulan pun akan abang ambilkan untukmu?!
Angin sepoi-sepoi berhembus di sela-sela cambang dan kumis Bagio yang panjang, karena sudah berbulan-bulan tidak pernah dicukurnya.
Sedikit dari ujung bulu kumisnya menggelitik lubang hidung Bagio.
Mulut Bagio terbuka lebar-lebar, lalu ...
"Haaaattcchiim!" Bagio bersin dengan pembukaan yang bernada tinggi, dan menutupnya dengan irama yang menyentak. "Sarimunah goblok!"
Latahnya Bagio, menarik perhatian Kartono. "E, e, e, eeeh ...! Kau masih cinta padanya?"
"Ya, enggak lah! ... Emangnya, wanita di dunia ini hanya dia saja?!" Bantah Bagio, yang berusaha keras menutup-nutupi hatinya yang sedang teriris-iris.
Jangan ada yang coba-coba meremehkan Bagio!
Siapa yang tak akan sakit hati, kalau ditinggal sang kekasih hati, saat akan mengucapkan ijab kabul?
Oh! Sarimunah ...! Sungguh kau tega!
Berpacaran sejak kelas satu di sekolah menengah pertama, namun cinta Sarimunah tidak sekuat benang dari sarang laba-laba.
Sepetak sawah dan sebuah rumah sederhana peninggalan mendiang kakek Bagio, juga tidak mampu meyakinkan Sarimunah, kalau Bagio sanggup mencukupi kebutuhan hidupnya.
Sarimunah sepertinya lupa akan perkataan guru sekolah dasarnya : "Tidak ada petani, maka tidak akan ada nasi di atas meja!"
Daripada nasi, Sarimunah lebih memilih memakan roti tawar yang dibelikan Joyo, pemuda dari kampung tetangga yang bekerja sebagai TKI di luar negeri.
Akhirnya, Bagio jadi korban dari irisan roti tawar.
Dengan alasan sakit perut karena terlalu banyak makan roti yang beroleskan mentega, Sarimunah meninggalkan Bagio yang duduk bersila di depan penghulu.
Bagio menunggu Sarimunah kembali sampai kakinya kesemutan, namun batang hidung Sarimunah yang pesek tidak kunjung terlihat.
Sampai-sampai, pak penghulu juga akhirnya mengundurkan diri, karena kaki pak penghulu yang terlipat terlalu lama, juga sudah mati rasa.
Ah! Sudahlah!
Kejadian itu sudah lewat berbulan-bulan yang lalu, Bagio tidak mau menangis di depan Kartono, yang menjadi sahabat karib Bagio, sejak mereka masih bocah.
Walaupun merasa terhina, tapi Bagio sudah mengikhlaskannya. Atau belum? Ckckck ...!
Biarkan Sarimunah merasakan penderitaan, saat harus tinggal terpisah dari Joyo. Emang enak? Makan tuh roti tawar! Tapi, setiap malam hanya bisa memeluk bantal guling.
Ini semua gara-gara Joyo!
Atau memang karena Bagio yang bernasib sial?
Cahyo Bagio, pemuda yang hampir genap berusia 23 tahun, dan biasanya hanya dipanggil Bagio.
Namanya memiliki arti 'Cahaya Bahagia', namun kelihatannya, Bagio masih belum menemukan titik terang menuju kebahagiaannya.
Di masa yang telah lalu, Ayah Bagio mengajak ibu dari Bagio untuk mencoba mencari penghasilan lebih di kota.
Saat itu juga, mau tidak mau, Bagio harus ditinggal kedua orang tuanya, dan hanya dibesarkan di dalam asuhan dari kakek Bagio saja.
Akan tetapi, kedua orang tua Bagio yang sedang merantau ke kota, dan tinggal di sana dengan berusaha berdagang ayam potong, tiba-tiba saja terdengar kabar kalau mereka berdua telah meninggal dunia karena wabah penyakit flu burung.
Ketika wabah itu menyerang, dan membuat kedua orang tuanya itu ikut menjadi korban, Bagio saat itu masih duduk di bangku sekolah dasar.
Tidak berakhir di situ.
Bagio belum sempat merasakan lulus dari sekolah menengah atas, namun kakek dari Bagio mendadak jatuh sakit, dan harus dirawat di rumah sakit berbulan-bulan lamanya, hingga kakeknya menghembuskan nafas terakhirnya di sana.
Sialnya lagi, karena dianggap mampu sebab memiliki sepetak sawah, kakeknya tidak bisa mendapat surat keterangan tidak mampu dari pemerintah desa. Sehingga, biaya perawatannya di rumah sakit, harus mereka tanggung sendiri.
Mau tidak mau, Bagio yang tidak tahu bagaimana mencari uang dengan cara yang cepat, tanpa harus menjual lahan sawah ataupun rumah kakeknya, nekat meminta bantuan dari salah satu tetangganya, untuk membuat pinjaman dengan menjaminkan sertifikat sawah ke pegadaian.
Bagio akhirnya harus berhenti sekolah dan tidak sempat memiliki ijazah SMA, agar dia bisa bekerja mengelola sawah untuk membayar tagihan pegadaian, jika dia tidak mau sawah dan rumah peninggalan kakeknya disita.
Selama ini, beberapa teman sekolahnya, sudah berkali-kali mengajak Bagio untuk merantau, dengan memberikan contoh beberapa dari teman sebaya mereka, yang sudah berhasil di perantauan.
Namun, Bagio masih ragu-ragu untuk pergi meninggalkan kampung itu begitu saja, dan masih butuh waktu untuk mempertimbangkan tentang hal itu matang-matang.
Selain karena dia yang harus rutin membayar setoran hutang, ijazahnya yang hanya sebatas sekolah menengah pertama, membuat Bagio merasa kurang yakin kalau dia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.
Dengan demikian, Bagio masih bertahan di kampung, dengan tetap mengelola sawah mendiang kakeknya, dan ikut mengambil upah buruh harian di sawah milik orang lain.
"Aaarrrghh!" Kartono tiba-tiba bangkit, lalu berteriak sampai lantai pondok ikut bergetar, karena suara dan beban dari tubuhnya yang bergerak liar.
"Ada apa?" Bagio juga ikut-ikutan panik, kalau-kalau Kartono melihat hantu, berhubung hari yang sudah hampir menuju ke kegelapan malam.
"Semut! ... Semut menggigit anu ku!" ujar Kartono, dengan air mata yang membasahi ujung-ujung matanya.
Kartono tampak sangat kesakitan, sambil mengelus-elus sela di antara kedua pahanya, dengan perlahan-lahan.
"Pffftt ...!" Bagio sudah menahan sekuat tenaga agar tidak tertawa, namun saat membayangkan semut yang mencicipi anu Kartono, Bagio tidak bisa menahan tawanya lagi. "Hahaha!"
"Kenapa kalian belum pulang?" Seseorang tiba-tiba saja terdengar sedang bertanya, di sela-sela gelak tawa Bagio.
Bagio berhenti tertawa, lalu melihat ke arah pematang sawah, untuk memastikan siapa yang berbicara barusan.
"Pakde ...!" sapa Bagio.
Ternyata orang yang bertanya itu adalah tetangga Bagio, yang menjadi pemilik sawah yang baru saja selesai dikerjakan oleh Bagio dan Kartono.
"Nanti pergi saja ke rumah, ya?! Aku tadi nggak bawa uang," kata tetangga Bagio itu, lalu beranjak pergi dari situ.
"Siap, pakde!" sahut Bagio mantap.
Dengan air yang disiramkan ke tubuhnya, langsung dari ember bekas cat yang menjadi timba sumur di rumahnya, Bagio mandi sambil berdiri.
"Brrrr!"
Dinginnya air sumur, bukan hanya bisa menyegarkan kepalanya, bahkan lutut Bagio juga bergetar, sampai-sampai tulang keringnya ikut mengeluarkan suara yang tidak kalah nyaring, dibandingkan dengan suara dari mulut Bagio yang menggigil.
Ditemani lampu temaram yang menembus sela-sela bilik bambu dinding dapurnya, Bagio menggosok-gosok badannya dengan sabun mandi batangan, dari ujung rambut sampai ke ujung kakinya.
Cambangnya yang panjang pun tak luput dari busa sabun. Kalau masih tidak dicukurnya beberapa bulan ke depan lagi, maka bulu cambangnya sudah bisa dikepang dan dipasangkan pita.
Tapi Bagio tidak sedang memikirkan cambangnya, melainkan uang yang akan diambil dari tempat pakde, setelah dia selesai mandi nanti.
Malam ini, kaleng bekas biskuit yang bergambar satu keluarga tanpa ayah yang menjadi celengannya, akan kembali mengkilap di bagian dalamnya.
Sudah waktunya bagi Bagio untuk menyerahkan uang tagihan bulanan, yang akan dititipkan kepada tetangga yang meminjamkan nama baiknya di pegadaian.
"Huuffft ...!" Bagio mendengus kasar.
Bagio tidak mengeluh karena kaleng celengan yang akan kembali berbunyi nyaring, melainkan karena saat dia mengantarkan uang dari celengannya itu, Bagio akan bertandang ke rumah Sarimunah.
Karena ayah dari Sarimunah lah yang menjadi peminjam di pegadaian, mengharuskan Bagio mengantar uang setoran ke rumahnya, satu kali dalam setiap bulannya.
Dengan setoran pegadaian yang masih beberapa bulan lagi baru lunas, membuat Bagio jadi mau tidak mau, untuk melihat wajah Sarimunah selama setoran hutang itu masih harus dibayar oleh Bagio.
Mengingat Sarimunah yang melarikan diri dengan memakai kebaya pengantin, hanya membuat Bagio semakin enggan untuk mencukur cambangnya.
Dan hanya ujung-ujung kumisnya saja yang dipotongnya dengan gunting, agar tidak ikut berenang di dalam kopi, setiap kali Bagio menyesap cairan dalam cangkirnya.
Hasil dari dua kali panen di sawah Bagio yang jadi biaya untuk penghulu, hanya berakhir dengan rasa malu karena batal menikah.
Di depan cermin bawaan yang menempel di lemari pakaian sudah buram, Bagio memakai pakaiannya, dan bersiap-siap untuk berperang batin saat nanti melihat Sarimunah.
Bagio berjalan menyusuri jalan tanah berdebu, sambil diiringi dengan suara anak-anak yang belajar mengaji, yang menggema di toa Masjid.
Dari kejauhan, bunyi cempreng dari knalpot motor, hampir membuat Bagio membatalkan niatnya untuk pergi menemui ayah dari Sarimunah.
Suara dari kenalpot motor RX king itu menandakan, kalau Joyo sepertinya sedang dalam perjalanan untuk ngapel ke rumah Sarimunah.
Dan benar saja dugaan Bagio.
Setelah mengambil uang upah kerjanya dari tempat pakde yang memberinya pekerjaan siang tadi, Bagio bisa melihat Sarimunah dan Joyo sedang bermesraan di teras depan rumah Sarimunah.
Masuk ...? Tidak ... Masuk ...? Tidak....
Di pagar rumah Sarimunah, Bagio benar-benar bimbang untuk terus melangkah masuk, ke halaman rumah yang cukup mencolok di antara pemukiman warga.
Mencolok karena bagusnya rumah itu, juga mencolok karena motor RX king yang terparkir di depannya, ditambah lagi dengan sang mantan yang duduk sambil berpegangan tangan dengan si pemilik motor.
Tapi, mau bagaimana lagi?
Walaupun Sarimunah sudah menyakiti hati Bagio, tapi Bagio tidak mungkin membuat ayah dari Sarimunah yang sudah membantu Bagio di saat genting, kehilangan kepercayaannya.
Ayah dari Sarimunah harus mengantar uang dari Bagio itu besok pagi, karena sudah tanggal jatuh tempo.
"Malam, Sari ...!" sapa Bagio setenang mungkin. "Ayahmu ada?"
"Ada. Masuk saja!" sahut Sarimunah, tanpa mau melihat wajah Bagio.
"Aku masuk, ya, Sari ...!" Bagio bergegas masuk, setelah meninggalkan sandalnya di luar.
Bagio tidak mau berlama-lama di rumah itu, daripada dadanya meletus saking kesalnya, karena meski sedang berbincang dengan ayah dari Sarimunah, gelak tawa centil Sarimunah di teras, masih terdengar sampai ke dalam rumah.
Tapi, daripada pulang ke rumahnya yang kosong dan kesepian, Bagio melanjutkan perjalanannya ke pos siskamling yang ada di ujung jalan.
Sepiring singkong goreng tanpa sambal, satu ceret kopi yang masih mengeluarkan uap dari ujung ceret, sedang dihadapi oleh beberapa orang yang berbungkus dengan sarung bermotif kotak-kotak.
Kartono yang jadi salah satu dari orang yang ada di situ, terlihat bersemangat ketika melihat kedatangan Bagio, dan hampir melompat dari tempat duduknya.
"Lihat ke sana!" Kartono menunjuk ke salah satu rumah warga yang ada di seberang pos siskamling.
Pandangan Bagio spontan mengikuti gerakan tangan Kartono.
Rumah warga yang setahu Bagio sudah lama tidak ditinggali oleh siapa-siapa, saat ini terlihat ramai seperti pasar malam.
Terang benderang dan dipenuhi beberapa orang anak muda yang berpenampilan keren.
"Mahasiswa dari universitas xxx, tinggal di sana sejak siang tadi. Dengar-dengar, katanya mereka akan KKN di kampung kita ini," ujar Kartono menjelaskan.
"Apa itu KKN?" tanya Bagio bingung.
Kartono tampaknya memang hanya sok tahu. Bagio yang bertanya, hanya membuat Kartono kelihatan sama bingungnya dengan Bagio.
"Duduk, Yo!" ajak salah satu warga yang malam ini akan bertugas berjaga di pos siskamling. "Itu dimakan! ... Gelasnya ambil sendiri!" Orang itu menunjuk ke sana kemari.
Sambil duduk bersila di atas lantai pos, sepotong singkong goreng yang ternyata masih hangat, segera digiling gigi-gigi Bagio, sambil menunggu jawaban dari Kartono.
"Kuliah Kerja Nyata."
Salah satu orang di situ membantu Kartono yang hampir merontokkan rambutnya, karena terlalu lama menggaruk-garuk, pusing memikirkan jawaban untuk pertanyaan Bagio.
"Maksudnya apa, pakde?" tanya Bagio lagi, setelah adonan campuran antara singkong yang sudah halus dan ludahnya, melewati tenggorokannya.
"Mereka nanti akan memakai apa yang mereka pelajari di sekolah, untuk membantu warga kampung," orang yang membantu Kartono tadi, kembali memberikan penjelasan.
"Banyak yang cantik!" ujar Kartono bersemangat.
Kartono tampak menaik turunkan alisnya berkali-kali, sambil melirik Bagio dengan ujung matanya.
"Eh! Emangnya kenapa kalau cantik?" sahut Bagio ketus. "Apa kau pikir mereka mau, dengan orang kampungan kayak kita-kita ini?"
"Aaah! Kau merusak kesenanganku saja!" kata Kartono sebal. "Paling nggak kan, kita bisa cuci mata?!"
"Cuci matamu pakai air sawah! Besok, kerjaan kita banyak!" Bagio menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Pakde! ... Mereka tinggal di situ, menyewa?" Bagio menatap salah satu warga yang tadi menjelaskan tentang mahasiswa kepadanya.
"Enggak. Mereka diizinkan kepala desa untuk tinggal gratis di situ," jawab orang itu. "Wajar saja ... Mereka juga akan membantu warga secara cuma-cuma."
Bagio yang manggut-manggut mengerti, sepintas melihat kilatan-kilatan cahaya seperti cahaya petir, namun bukan berasal dari langit.
Untuk memuaskan rasa ingin tahunya, Bagio menoleh ke mana kilatan tadi terlihat.
Seorang wanita muda, terlihat memegang kamera foto seperti yang biasa dipakai tukang foto di kampung sebelah, dan memotret beberapa temannya yang sedang bergaya, sambil memberi arahan kepada target fotonya itu.
Walaupun sedang berdiri menghadap ke arah pos siskamling, namun wajah wanita yang mengambil gambar teman-temannya itu, tidak terlihat dengan jelas. Karena cahaya kekuningan dari lampu bohlam yang menggantung di pos siskamling, yang hanya samar-samar menembus ke seberang jalan.
"Kamu nggak mau ngopi?" tanya Kartono tiba-tiba, sambil menuangkan cairan kopi ke dalam satu gelas kaca bermotif kembang-kembang.
"Aku mau ... Tuangkan untukku juga!" Bagio kembali memusatkan perhatiannya pada sajian di atas lantai pos siskamling.
Fajar yang merekah yang ditandai dengan suara ayam-ayam jantan yang berkokok bersahut-sahutan, waktunya bagi Bagio untuk bangun dan bersiap-siap untuk pergi bekerja di sawah.
Segelas seduhan kopi hitam, sepiring sisa nasi semalam berlauk ikan asin goreng, menjadi sarapan yang lebih dari cukup untuk memberikannya tenaga, agar bisa bekerja menanam padi, sampai ke siang nanti.
Cukup dengan memakai celana pendek dan kaus tanpa lengan, Bagio sudah siap untuk bergulat di lumpur.
Bagio masih sempat memelototi selembar kalender, yang berhiaskan wajah sepasang calon Bupati yang tersenyum lebar di bagian atas angka-angka tanggal dan bulannya, sebelum dia beranjak pergi dari rumahnya.
Masih 5 bulan lagi barulah setoran di pegadaian akan lunas.
Kalau begitu, sudah 4 tahun 7 bulan, Bagio harus bekerja ekstra, namun hasilnya hanya bisa dipakai sedikit untuk membeli kebutuhan harian yang benar-benar penting dan mendesak.
Sampai-sampai pakaian dalamnya pun sudah tipis menerawang, namun Bagio belum bisa membeli yang baru.
Semua hasil kerja kerasnya hanya demi melunaskan hutang berbunga, yang jika ditotal-total jumlah keseluruhannya, lebih dari dua kali lipat dari jumlah hutang yang sebenarnya.
Namun Bagio sama sekali tidak menyesali keputusannya untuk melakukan pinjaman, demi kesehatan kakeknya.
Walaupun kakek dari Bagio akhirnya lelah berjuang dan kembali menghadap Yang Kuasa, tapi Bagio tetap bersyukur, karena dia sudah diizinkan untuk mendapat kesempatan agar bisa berbakti kepada orang yang merawat dan membesarkannya.
Dengan dirinya yang masih terlilit hutang, Bagio jadi tidak bisa terlalu menyalahkan Sarimunah, yang menjadi ragu untuk menikah dengannya.
Wajar saja kalau Sarimunah mungkin merasa khawatir, karena untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri saja Bagio masih kesulitan, apalagi jika harus menanggung biaya berumah tangga.
Sejujurnya, Bagio juga ragu untuk menikah, tapi karena terburu-buru ingin menghapus kesepian yang melanda di setiap hari-harinya, Bagio nekat melamar sang kekasih.
Sudahlah!
Bagio yakin kalau dia sudah jadi orang sukses, maka para wanita dengan sendirinya akan mendekat padanya, dan Bagio tinggal memilihnya saja.
Ketika Bagio berjalan keluar dari rumahnya, rombongan anak-anak muda yang tampak sebaya dengannya, juga terlihat berjalan mendekat dari ujung jalan.
Kelihatannya, anak-anak mahasiswa yang akan melakukan kuliah kerja nyata dengan membantu warga, juga mengarah ke lokasi yang sama dengan Bagio, ke areal persawahan.
Walaupun Bagio tidak mengenal mereka, tapi rasa malu saat melihat penampilan pemuda-pemudi itu, cukup mengganggu harga diri Bagio yang senilai satu lembar uang biru sehari.
Sehingga, tanpa memperdulikan debu yang terangkat di belakangnya, Bagio mempercepat langkahnya, agar tercipta jarak yang semakin jauh antara dirinya dan para rombongan mahasiswa.
***
Setelah berjam-jam, Bagio, Kartono, dan beberapa orang pekerja lain berjalan mundur, akhirnya sebagian besar jumlah bibit padi yang terlentang di pematang sawah, sudah berdiri tegak menantang langit.
Sudah waktunya bagi semua orang yang bekerja bersama-sama menanam padi, untuk istirahat dan menikmati makan siang yang disediakan oleh pemilik sawah.
Cacing di dalam perut Bagio yang kehabisan camilan, sama berisiknya dengan usus dalam perut Kartono, yang sejak tadi dilanda badai petir.
Nasi putih hangat dari gabah padi yang baru digiling, sesendok sayur lodeh, sambal goreng campuran dari tempe, tahu dan ikan teri, masih ditambah lagi dengan sepotong belut bakar, memenuhi piring berbahan logam.
Siapa yang tidak akan mensyukuri berkat Yang Kuasa, jika bisa mengenyangkan perut dengan menu makanan semewah itu?
Kelihatannya, tidak ada satupun dari mereka yang ada di situ yang merasa tidak puas, dan lupa untuk bersyukur pada Tuhannya.
Makanan dengan menu lengkap seperti itu, menjadi salah satu keuntungan bagi Bagio, kalau bekerja di lokasi sawah orang lain, selain dia juga yang bisa segera mendapatkan uang, tanpa perlu menunggu hingga waktu panen tiba.
Itu sebabnya, saat tidak ada yang mendesak yang perlu dikerjakan di lahan sawahnya, Bagio pasti menerima tawaran untuk bekerja di lahan orang lain.
Bukan cuma bekerja di areal persawahan saja.
Bagio juga mau menerima apa saja tawaran kerja serabutan yang disodorkan kepadanya, sehingga Bagio bisa melakukan banyak pekerjaan kasar yang biasa diperlukan di perkampungan.
Menggali sumur baru atau mencuci sumur lama, memetik buah kelapa, membantu tukang untuk pembangunan rumah, buruh angkut, benar-benar apa saja, asalkan ada yang memintanya bekerja, maka Bagio akan mengerjakannya dengan senang hati.
Hasilnya, selain memiliki banyak keahlian untuk pekerjaan kasar serabutan dan mendapatkan uang tambahan, badan Bagio yang tingginya di atas rata-rata pemuda yang seusia dengannya, jadi lebih kekar berotot, lengkap dengan perutnya yang macam roti sobek.
Jika saja Bagio tinggal di kota, maka Bagio dengan postur tubuhnya dan wajah yang mirip-mirip dengan ras Timur Tengah, mungkin Bagio bisa jadi model iklan untuk minuman berprotein tinggi.
Tidak percaya, kalau Bagio sebenarnya berwajah tampan, dan memiliki bentuk tubuh yang bagus?
Mau buktinya? ... Okay!
Matahari masih belum bersembunyi di balik perbukitan di bagian Barat pedesaan, namun Bagio, Kartono, dan beberapa pekerja lain sudah beristirahat di pondok sawah.
Semua bibit yang tadinya masih rebahan santai di pematang sawah, sekarang sudah berdiri tegak dan siap untuk berperang melawan cuaca dan hama pengganggu.
Dua orang pemuda dan seorang pemudi, terlihat berjalan mendekat ke pondok yang menjadi warung kopi gratisan bagi Bagio, Kartono dan buruh harian yang lain.
Bekas lumpur yang hanya dicuci asal-asalan di aliran air irigasi, tidak menghalangi Bagio untuk mendapat perhatian lebih dari pemudi yang membawa kamera foto bersamanya.
Masih kurang yakin? ... Okay, lanjut!
"Selamat Sore! Permisi! Abang-abang! Pakde-pakde!" Salah satu dari pemuda-pemudi yang menghampiri pondok, lantas menyapa para penghuni pondok.
"Selamat sore!"
Bagio dan semua yang bernafas yang disapa barusan, menyahut secara serentak.
"Maaf mengganggu waktunya. Tapi, teman saya ini—" Pemuda itu kemudian menunjuk ke arah pemudi, yang sekarang sedang tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"... Ingin meminta izin kepada abang—" Pemuda itu, kali ini menunjuk ke arah Bagio.
"... agar bisa dipotret," lanjut pemuda itu, menjelaskan maksud mereka mendatangi pondok sawah itu.
Bagio tidak segera menjawab, melainkan memandangi Kartono dan orang-orang di dalam pondok, yang sekarang sedang menatapnya dengan tatapan heran.
"Nama saya Karenina!" Pemudi yang ingin mengambil gambar Bagio, memperkenalkan diri, sambil mengulurkan tangan kanannya ke arah Bagio.
"Bagio."
Malu-malu karena tangannya yang masih terlihat agak kotor, Bagio menyambut tangan kecil dan halus dari Karenina, lalu ikut menyebutkan namanya sendiri.
"Maafkan saya, bang! ... Kalau abang izinkan, saya ingin sekali agar bisa memotret abang, dengan berlatar belakang persawahan."
Walaupun Karenina berbicara dengan suaranya yang sangat lembut, namun dia tampak sangat yakin dengan apa yang menjadi tujuannya menemui Bagio.
Bagio melihat pakaian, dan tampilan keseluruhan dari dirinya sendiri yang bisa dijangkau oleh matanya, dengan rasa ragu.
"Abang terlihat bagus," ujar Karenina, seolah-olah dia bisa membaca pikiran Bagio.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!