Part 13

Walaupun sedikit, Bagio harus mengakui kalau pembahasan tentang menjadi model sungguhan yang dibicarakan bersama Karenina semalam, cukup menarik perhatian Bagio.

Apalagi, sepulangnya Karenina dan Yanto dari rumahnya, Bagio memeriksa amplop pemberian Karenina yang ternyata berisi uang sejumlah 1 juta 500 ribu.

Nilai uang segitu banyaknya, sama dengan hasil yang didapatkan oleh Bagio dengan bekerja serabutan selama kurang lebih 1 bulan.

Dari penuturan Karenina semalam, jika menjadi model untuk pemotretan biasa, bayaran yang akan diberikan berkisar di antara 400 ribu hingga 600 ribu, dalam waktu kerja kurang lebih 6 jam.

Kalau bekerja sebagai model bisa mendapatkan bayaran rata-rata sebanyak itu, tentu tidak perlu menunggu sampai 5 bulan ke depan, Bagio sudah bisa melunaskan hutang di pegadaian.

Bukan itu saja, tentu dengan penghasilan sebesar itu, Bagio bisa mengubah taraf hidupnya agar jadi lebih baik.

Bagio tidak perlu lagi mengelola sawahnya sendirian, dan bisa memperkerjakan orang lain, lalu tinggal menunggu hasil panennya saja.

Tapi, apa memang pekerjaan menjadi model, bisa mendapatkan uang semudah itu?

Menurut Bagio, di balik semuanya, tentu akan ada pengorbanan yang berbanding sama dengan hasil yang bisa dia dapatkan.

Tapi, pengorbanan apa?

Apa yang harus dia korbankan, jika dia nekat mengubah arah hidup yang selama ini sudah dia jalani, dan telah terbiasa di dalamnya?

Sembari mencangkul lahan sawahnya sendiri, dengan dibantu oleh Kartono, Bagio berpikir keras akan apa yang sebenarnya ingin dia lakukan.

Apakah dia akan bertahan selamanya mengelola sawah?

Tetap menerima pekerjaan serabutan yang tidak menentu, dan dibayar dengan upah yang sangat rendah?

Bahkan ada pekerjaan serabutan yang memerlukan tenaga dan cukup beresiko tinggi, contohnya seperti mencuci sumur dan memetik buah kelapa, namun bayaran yang diterimanya, tidaklah seimbang dengan tenaga dan resiko yang dia pertaruhkan.

Bagio memang ingin menjadi orang sukses, yang tidak akan dipandang rendah, seperti yang selama ini dia rasakan.

Walaupun orang-orang di kampung tidak membicarakan tentangnya secara langsung di depannya, tapi Bagio bisa menduga-duga, jika situasi ketika calon pengantin meninggalkannya di pelaminan, tentu akan menjadi bahan pembicaraan setiap kali orang-orang melihatnya.

Entah pembicaraan itu karena mungkin ada orang yang merasa iba, atau ada orang-orang yang menganggap Bagio terlalu remeh, tidak tahu diri, dan memalukan.

Bagio tentu tidak mau selamanya hidup di bawah rasa kasihan dari orang-orang yang melihatnya.

Bagio juga ingin menunjukkan kalau dia bisa menjadi orang yang memiliki harga diri, yang tidak patut untuk dipermalukan, dan digunjingkan di belakang punggungnya.

Dan kelihatannya, kesempatan untuk menggapai keinginannya itu ada, meskipun persentase kemungkinan akan keberhasilannya masih sangat kecil.

Apa sebaiknya Bagio ...?

"Apa yang sedang kau pikirkan?" Pertanyaan Kartono yang tiba-tiba, hanya membuyarkan pemikiran yang membebani kepala Bagio.

"Hah! ... Apa?" Bagio tidak mendengar dengan jelas apa yang baru saja dikatakan oleh Kartono.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" Kartono mengulang kembali pertanyaannya, sambil menunjuk dengan matanya ke tanah berlumpur di depan Bagio.

Ternyata, tanpa Bagio sadari, dia telah berulang-ulang mencangkul di tempat yang sama, hingga membuat lubang yang cukup dalam.

"Eh!" Bagio yang baru tersadar akan apa yang dia lakukan, lalu memperbaiki tekstur tanah berlumpur yang menjadi korban cangkulnya itu.

"Ada apa?" Kartono kelihatannya memang tidak akan berhenti bertanya, selama Bagio belum menjawab rasa penasarannya.

"Aku memikirkan pembahasan kami semalam," jawab Bagio. "Maksudku, pembicaraan tentang menjadi model sungguhan."

"Ooh ...! Lalu?" Kartono yang sempat berhenti bekerja, kemudian lanjut mencangkul tanah berlumpur, yang rencananya akan ditanami bibit padi yang baru.

"Bagaimana menurutmu, kalau aku mencoba bekerja jadi model sungguhan?" tanya Bagio.

"Terserah kau saja. Kalau ada kesempatan, kenapa tidak? Dengar-dengar dari Yanto, kalau kamu fokus dengan pekerjaan itu, bayarannya banyak, kan?!

... Apalagi kalau dibanding-bandingkan dengan hasil, dari apa yang kita kerjakan selama ini," jawab Kartono.

"Jadi menurutmu aku coba-coba lanjutkan saja?" tanya Bagio lagi, mencari pembenaran akan apa yang rencananya ingin dia lakukan.

"Iya. Coba saja! Biar kau bisa membalas kelakuan Sarimunah dan keluarganya," sahut Kartono.

"Eh! Kenapa jadi balas dendam?" ujar Bagio pura-pura bingung.

"Sudahlah! Kau pasti malu gara-gara perlakuan mereka, kan?! Tidak perlu berpura-pura di depanku, seolah-olah kamu ikhlas dipermalukan seperti itu," sahut Kartono.

"Kalau aku jadi kamu, sudah lama aku akan melakukan apa saja, biar bisa menampar wajah Sarimunah dan keluarganya," lanjut Kartono serius.

"Tapi, ayah Sarimunah sudah membantuku. Bagaimana mungkin aku akan berpikiran seperti itu?!" Kali ini, Bagio memang bersungguh-sungguh mengatakannya.

"Tetap saja, Yo! Kalau mereka memang meragukan kemampuanmu, seharusnya dari awal mereka nggak terima lamaranmu....

... Bukannya mengiyakan, lalu malah mundur mendadak, sampai-sampai membuat gempar orang sekampungan....

... Lalu, setelah mempermalukanmu seperti itu, mereka malah berpura-pura bertingkah seolah-olah tidak ada sesuatu yang terjadi. Itu brengsek namanya."

Kartono bersikeras, dan tampak benar-benar geram saat memberikan tanggapannya.

"Lebih gilanya lagi, orang tua Sarimunah membiarkan anaknya itu bermesraan dengan laki-laki lain, hanya dalam hitungan hari setelah pernikahan kalian batal....

... Kau memang sabar. Kalau aku yang digituin, sudah patah leher Sarimunah dan Joyo," lanjut Kartono, sambil menirukan gerakan seolah-olah sedang mematahkan sesuatu, dengan kedua tangannya.

"Paling tidak, Joyo, Sarimunah dan keluarganya, masuk rumah sakit, ku buat." Lagi-lagi, Kartono menampakkan kemarahan di wajahnya.

Sejak Bagio yang batal menikah waktu itu, baru kali ini Kartono bisa berbicara tentang hal itu secara intens.

Dengan demikian, Bagio bisa menarik kesimpulan, kalau Kartono selama ini mengerti dengan baik akan kekesalan yang Bagio rasakan.

Kartono mungkin hanya menahan diri untuk tidak segera mengutarakan apa yang dia pikirkan, supaya Bagio tidak tenggelam dalam kubangan kekecewaan.

Atau, mungkin juga Kartono khawatir kalau-kalau, Bagio jadi nekat dan melakukan tindakan kekerasan seperti yang Kartono sempat pikirkan.

"Kau coba saja terima ajakan dari Karenina! Mana tahu kalau mungkin itu memang petunjuk dari Atas, agar kau bisa mengubah hidupmu....

... Kalau kamu sampai berhasil, cari calon istri yang jauh lebih baik, juga lebih cantik dari wanita yang tidak tahu diuntung itu....

... Pamerkan! Tidak masalah kalau kau jadi sombong di depan keluarga brengsek itu. Biar mereka menelan ludah pahit, ketika mereka melihatmu!...

... Dengan keberhasilanmu, kau juga bisa menyumbat mulut-mulut tak berguna yang berbicara buruk di belakangmu!" ujar Kartono menggebu-gebu.

"Hmm ... Sudahlah! Aku masih belum tahu berhasil atau tidaknya. Tapi rencananya, aku memang akan mencobanya," sahut Bagio.

Setelah berbincang-bincang dengan Kartono, Bagio membulatkan tekadnya, dan segera menemui Yanto, setelah Bagio dan Kartono selesai bekerja di sawah.

Bagio berharap, kalau keinginannya menjadi orang yang berhasil, bukan hanya sekedar impian kosong.

Sehingga, jika kesempatan itu memang benar-benar ada, maka Bagio akan melakukan segala sesuatu yang harus dia lakukan, dengan bersungguh-sungguh.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!