Nasi Kangkang Untuk Suamiku
Seorang wanita tengah tersenyum jahat saat melihat semangkuk nasi hangat yang menjadi jembatan untuk membalaskan dendam, niat terselubung di dalam hati sudah tertanam lekat, tidak ada belas kasih yang ada setelah mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga.
Semangkuk nasi yang di kangkangi dan tak lupa merapalkan sebuah mantra yang di ajarkan mak Itam padanya, mulut terus berkomat kamit setelah suasana dirasa aman.
Rima kembali tersenyum menyelesaikan ritualnya dalam menodai nasi, terngiang di telinga bagaimana sikap dan perlakuan sang suami yang ringan tangan padanya.
"Rasakan kamu mas, sudah cukup aku bersabar selama ini dan aku gak mau terus di tindas olehmu." Gumam pelan Rima tersenyum sembari mengangkat nasi hangat yang sudah di kangkangi olehnya.
Nasi kangkang atau tangas merupakan nasi hangat yang di kangkangi oleh sang istri, termasuk ilmu hitam yang sangat dibenci Allah subhanallah ta'ala dan bersifat sesat, bertujuan untuk memelet sang suami agar patuh dan tunduk pada ucapannya.
Rima segera keluar dari dapur dan menyajikan nasi beserta beberapa lauk sayur mayur yang telah di masaknya di atas meja makan, menatanya dengan sangat rapi seraya tersenyum licik mengenai rencana untuk menaklukkan sang suami.
Terdengar pintu yang diketuk dari luar, Rima bergegas untuk membukakan pintu setelah mengenali suara yang tak lain suaminya.
"Mas sudah pulang?" Rima menyunggingkan senyuman manis seperti biasanya, wajah yang polos menyambut kedatangan sang suami yang baru pulang dari kantor. Meraih tangan imamnya, niat itu pun tak sampai saat tangan kekar menepis tangannya.
"Membuka pintu aja lama, aku capek pulang dari kantor!" ucap Arman yang meninggikan intonasi suara, melengos masuk ke dalam rumah setelah menyenggol keras tubuh sang istri.
"Auh, sakit." Ringis Rima yang memegang bahunya tak sengaja mengenai sudut sofa kayu, namun tak diacuhkan Arman.
"Selalu aja nonton tv, apa kamu gak tau biaya listrik sekarang itu mahal. Pekerjaan rumah gak ada yang beres satu pun, jadi istri gak becus sama sekali." Kaki Arman melangkah menuju meja makan, melihat makanan yang disuguhkan begitu membuat air liur menetes.
Ya, itulah kata-kata yang selalu diucapkan Arman selepas pulang dari kantor, selalu Rima yang menjadi pelampiasan kemarahan. Sedangkan wanita malang yang menjadi sasaran hanya terdiam tertunduk kepala, kurang beruntung mendapatkan suami yang tidak pernah memujinya selain perkataan yang menyayat hati.
Rima dan Arman telah menikah dua tahun lalu, hasil dari perjodohan kedua orang tua mereka. Pada dasarnya, pemaksaan dalam menyatukan dua individu tak pernah berjalan lancar.
Rima meraih piring dan mengisinya dengan nasi juga lauk pauk, sangat bersemangat dalam menundukkan suami kasarnya.
"Ini Mas, silahkan dimakan."
Arman mengangguk cuek, mencuci tangan yang di sediakan dalam mangkuk stainless. Rasa muak melihat wajah wanita yang selalu menunggu kepulangannya, bosan dan tak tertarik walau Rima ingin berhubungan intim.
Dia selalu memutar otak untuk mencari sebuah alasan, tak tertarik melakukan kewajiban nafkah batin sang istri.
Peluh di wajah menjadi saksi, nasi yang disediakan Rima habis tak bersisa di santap Arman.
"Semoga pelet mak Itam ampuh, tunggu pembalasanku, mas." Batin Rima menyunggingkan senyuman tanpa diketahui suaminya.
Arman mencuci tangan dan beranjak pergi setelah perut tak muat untuk diisi lagi, Rima membersihkan meja makan dengan perasaan puas.
"Bagus, nasi kangkangnya habis." Gumamnya pelan.
Di malam hari, Arman duduk di teras. Merasakan angin yang menerpa tubuh yang berkeringat lebih terasa sejuk. Tersenyum saat mengingat wajah cantik Sulastri, teman sekantor yang sudah lama dia kagumi.
Namun, khayalannya terhenti dan mendelikkan mata saat impian tak sesuai dengan realita.
"Kopinya Mas," Rima duduk di sebelah sang suami, masih bersikap baik menunggu reaksi dari nasi kangkang yang pertama kali di coba.
"Sumpek liat muka mu itu."
"Ada yang salah dengan ku, Mas?" Rima mengecek wajahnya, mencari kesalahan juga kekurangan. Padahal dirinya cantik dan juga menarik, tapi memang dasar sang suami tak pernah menyukainya dari awal menikah.
"Kehadiranmu merusak mood ku." Sarkas Arman seraya meneguk kopi hitam. "Pergi sana!" usirnya.
"Hem." Rima mengangguk patuh, menunggu kapan reaksi nasi kangkang mulai bekerja dengan lancar.
Rima memperhatikan kepergian suaminya yang bekerja di kantor, hanya karyawan biasa sementara dirinya lebih mengurus pekerjaan rumah.
"Mas Arman sudah pergi." Dia langsung mengunci pintu dan berlalu pergi, berusaha untuk menutupi wajah menggunakan selendang merah.
Dirinya kerap kali menjadi pusat perhatian para tetangga julid, selalu menjadi bahan tertawaan semua orang jika suaminya memberikan penyiksaan. Tidak ada yang berusaha menyelamatkannya dari ringan tangan suaminya, bagai bahan tontonan yang menyenangkan.
Terlihat seorang wanita uzur tengah duduk di jenjang rumah, tangan keriput menampi beras untuk menghilangkan kulit padi. Rima berjalan mendekati mak Itam, memberikan sekilo jeruk sebagai buah tangan ketika berkunjung.
"Aku bantu ya Mak." Rima langsung meraih tampi beras tanpa menunggu jawaban persetujuan terlebih dahulu.
"Ada apa? Tumben kamu kesini?"
"Rima kesini untuk masalah yang kemarin, kok nasi kangkangnya belum bereaksi." Ujar Rima menatap nanar pada tampi yang di pegangganya.
Mak Itam tersenyum memperlihatkan giginya yang mulai menghitam, mempersilahkan Rima masuk ke dalam rumah panggung yang menjadi tempat berteduh di usianya tak muda lagi.
"Apa kamu melakukannya sesuai dengan Mak jelaskan?"
"Sudah Mak."
"Ada pantangan yang harus kamu elakkan."
"Pantangan?"
Mak Itam menganggukkan kepala sambil memperlihatkan gigi hitamnya. "Jangan sampai Arman tahu."
"Mas Arman tidak tahu, tapi tidak ada reaksi apapun." Rima mulai kesal, berpikir jika mak Itam hanya mempermainkannya. "Sepertinya aku salah datang ke tempat ini."
"Kamu harus yakin denganku, jika ragu maka tidak ada reaksi apapun yang di inginkan. Arman pasti bertekuk lutut padamu, lihat saja dalam sebulan ke depan."
"Benar ya Mak, aku sudah membayar mahal dan menghabiskan tabunganku."
"Aku tidak pernah berbohong."
Rima kembali pulang, di perjalanan tak sengaja dia bertemu Sulastri, wanita yang sekantor dengan suaminya.
"Eh, Mbak Rima. Apa kabar Mbak?" sapa Sulastri tersenyum.
"Baik, kamu apa kabar? Sudah lama kita gak bertemu." Mereka saling memeluk melepaskan rindu.
"Bagaimana mas Arman? Gak ada wanita yang mendekatinya 'kan?" tanya Rima serius.
Sulastri tersenyum khas, melayangkan tangan sebagai bahasa isyarat. "Mas Arman aman Mbak."
"Syukurlah, hanya kamu yang bisa aku percaya. Jangan bosan jadi mata-mata aku ya," Rima mengedip-ngedipkan mata berulang kali, teman sekaligus orang kepercayaan dalam memata-matai suaminya di kantor.
"Iya Mbak, aku amanah kok orangnya. Eh, maaf aku gak bisa lama, pulang hanya mengambil berkas tertinggal."
"Iya gapapa." Rima menatap kepergian Sulastri yang masih terikat pekerjaan kantor, mulai membandingkan dengan dirinya yang hanya ibu rumah tangga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Ray
AQ baru mampir🙏
2023-01-18
0
Mir_rim22
hy othor baru mampir nih, mau nyoba kisah yg rada ekstrem hhii
2022-12-06
2