NovelToon NovelToon

Nasi Kangkang Untuk Suamiku

Bab 1 - Ku suguhkan nasi kangkang

Seorang wanita tengah tersenyum jahat saat melihat semangkuk nasi hangat yang menjadi jembatan untuk membalaskan dendam, niat terselubung di dalam hati sudah tertanam lekat, tidak ada belas kasih yang ada setelah mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga. 

Semangkuk nasi yang di kangkangi dan tak lupa merapalkan sebuah mantra yang di ajarkan mak Itam padanya, mulut terus berkomat kamit setelah suasana dirasa aman. 

Rima kembali tersenyum menyelesaikan ritualnya dalam menodai nasi, terngiang di telinga bagaimana sikap dan perlakuan sang suami yang ringan tangan padanya. 

"Rasakan kamu mas, sudah cukup aku bersabar selama ini dan aku gak mau terus di tindas olehmu." Gumam pelan Rima tersenyum sembari mengangkat nasi hangat yang sudah di kangkangi olehnya. 

Nasi kangkang atau tangas merupakan nasi hangat yang di kangkangi oleh sang istri, termasuk ilmu hitam yang sangat dibenci Allah subhanallah ta'ala dan bersifat sesat, bertujuan untuk memelet sang suami agar patuh dan tunduk pada ucapannya.

Rima segera keluar dari dapur dan menyajikan nasi beserta beberapa lauk sayur mayur yang telah di masaknya di atas meja makan, menatanya dengan sangat rapi seraya tersenyum licik mengenai rencana untuk menaklukkan sang suami. 

Terdengar pintu yang diketuk dari luar, Rima bergegas untuk membukakan pintu setelah mengenali suara yang tak lain suaminya. 

"Mas sudah pulang?" Rima menyunggingkan senyuman manis seperti biasanya, wajah yang polos menyambut kedatangan sang suami yang baru pulang dari kantor. Meraih tangan imamnya, niat itu pun tak sampai saat tangan kekar menepis tangannya. 

"Membuka pintu aja lama, aku capek pulang dari kantor!" ucap Arman yang meninggikan intonasi suara, melengos masuk ke dalam rumah setelah menyenggol keras tubuh sang istri. 

"Auh, sakit." Ringis Rima yang memegang bahunya tak sengaja mengenai sudut sofa kayu, namun tak diacuhkan Arman. 

"Selalu aja nonton tv, apa kamu gak tau biaya listrik sekarang itu mahal. Pekerjaan rumah gak ada yang beres satu pun, jadi istri gak becus sama sekali." Kaki Arman melangkah menuju meja makan, melihat makanan yang disuguhkan begitu membuat air liur menetes.

Ya, itulah kata-kata yang selalu diucapkan Arman selepas pulang dari kantor, selalu Rima yang menjadi pelampiasan kemarahan. Sedangkan wanita malang yang menjadi sasaran hanya terdiam tertunduk kepala, kurang beruntung mendapatkan suami yang tidak pernah memujinya selain perkataan yang menyayat hati.

Rima dan Arman telah menikah dua tahun lalu, hasil dari perjodohan kedua orang tua mereka. Pada dasarnya, pemaksaan dalam menyatukan dua individu tak pernah berjalan lancar. 

Rima meraih piring dan mengisinya dengan nasi juga lauk pauk, sangat bersemangat dalam menundukkan suami kasarnya. 

"Ini Mas, silahkan dimakan." 

Arman mengangguk cuek, mencuci tangan yang di sediakan dalam mangkuk stainless. Rasa muak melihat wajah wanita yang selalu menunggu kepulangannya, bosan dan tak tertarik walau Rima ingin berhubungan intim. 

Dia selalu memutar otak untuk mencari sebuah alasan, tak tertarik melakukan kewajiban nafkah batin sang istri. 

Peluh di wajah menjadi saksi, nasi yang disediakan Rima habis tak bersisa di santap Arman. 

"Semoga pelet mak Itam ampuh, tunggu pembalasanku, mas." Batin Rima menyunggingkan senyuman tanpa diketahui suaminya.

Arman mencuci tangan dan beranjak pergi setelah perut tak muat untuk diisi lagi, Rima membersihkan meja makan dengan perasaan puas. 

"Bagus, nasi kangkangnya habis." Gumamnya pelan. 

Di malam hari, Arman duduk di teras. Merasakan angin yang menerpa tubuh yang berkeringat lebih terasa sejuk. Tersenyum saat mengingat wajah cantik Sulastri, teman sekantor yang sudah lama dia kagumi. 

Namun, khayalannya terhenti dan mendelikkan mata saat impian tak sesuai dengan realita. 

"Kopinya Mas," Rima duduk di sebelah sang suami, masih bersikap baik menunggu reaksi dari nasi kangkang yang pertama kali di coba.

"Sumpek liat muka mu itu." 

"Ada yang salah dengan ku, Mas?" Rima mengecek wajahnya, mencari kesalahan juga kekurangan. Padahal dirinya cantik dan juga menarik, tapi memang dasar sang suami tak pernah menyukainya dari awal menikah. 

"Kehadiranmu merusak mood ku." Sarkas Arman seraya meneguk kopi hitam. "Pergi sana!" usirnya. 

"Hem." Rima mengangguk patuh, menunggu kapan reaksi nasi kangkang mulai bekerja dengan lancar.

Rima memperhatikan kepergian suaminya yang bekerja di kantor, hanya karyawan biasa sementara dirinya lebih mengurus pekerjaan rumah. 

"Mas Arman sudah pergi." Dia langsung mengunci pintu dan berlalu pergi, berusaha untuk menutupi wajah menggunakan selendang merah. 

Dirinya kerap kali menjadi pusat perhatian para tetangga julid, selalu menjadi bahan tertawaan semua orang jika suaminya memberikan penyiksaan. Tidak ada yang berusaha menyelamatkannya dari ringan tangan suaminya, bagai bahan tontonan yang menyenangkan. 

Terlihat seorang wanita uzur tengah duduk di jenjang rumah, tangan keriput menampi beras untuk menghilangkan kulit padi. Rima berjalan mendekati mak Itam, memberikan sekilo jeruk sebagai buah tangan ketika berkunjung. 

"Aku bantu ya Mak." Rima langsung meraih tampi beras tanpa menunggu jawaban persetujuan terlebih dahulu. 

"Ada apa? Tumben kamu kesini?" 

"Rima kesini untuk masalah yang kemarin, kok nasi kangkangnya belum bereaksi." Ujar Rima menatap nanar pada tampi yang di pegangganya. 

Mak Itam tersenyum memperlihatkan giginya yang mulai menghitam, mempersilahkan Rima masuk ke dalam rumah panggung yang menjadi tempat berteduh di usianya tak muda lagi. 

"Apa kamu melakukannya sesuai dengan Mak jelaskan?" 

"Sudah Mak."

"Ada pantangan yang harus kamu elakkan."

"Pantangan?" 

Mak Itam menganggukkan kepala sambil memperlihatkan gigi hitamnya. "Jangan sampai Arman tahu." 

"Mas Arman tidak tahu, tapi tidak ada reaksi apapun." Rima mulai kesal, berpikir jika mak Itam hanya mempermainkannya. "Sepertinya aku salah datang ke tempat ini."

"Kamu harus yakin denganku, jika ragu maka tidak ada reaksi apapun yang di inginkan. Arman pasti bertekuk lutut padamu, lihat saja dalam sebulan ke depan."

"Benar ya Mak, aku sudah membayar mahal dan menghabiskan tabunganku." 

"Aku tidak pernah berbohong."

Rima kembali pulang, di perjalanan tak sengaja dia bertemu Sulastri, wanita yang sekantor dengan suaminya. 

"Eh, Mbak Rima. Apa kabar Mbak?" sapa Sulastri tersenyum.

"Baik, kamu apa kabar? Sudah lama kita gak bertemu." Mereka saling memeluk melepaskan rindu.

"Bagaimana mas Arman? Gak ada wanita yang mendekatinya 'kan?" tanya Rima serius. 

Sulastri tersenyum khas, melayangkan tangan sebagai bahasa isyarat. "Mas Arman aman Mbak." 

"Syukurlah, hanya kamu yang bisa aku percaya. Jangan bosan jadi mata-mata aku ya," Rima mengedip-ngedipkan mata berulang kali, teman sekaligus orang kepercayaan dalam memata-matai suaminya di kantor. 

"Iya Mbak, aku amanah kok orangnya. Eh, maaf aku gak bisa lama, pulang hanya mengambil berkas tertinggal." 

"Iya gapapa." Rima menatap kepergian Sulastri yang masih terikat pekerjaan kantor, mulai membandingkan dengan dirinya yang hanya ibu rumah tangga. 

Bab 2 - Musuh dalam selimut

Sebuah tamparan keras melayang tetap di bagian pipi sebelah kanan, Rima meringis dan berusaha untuk menopang tubuh yang hampir tumbang. Rasa panas dan perih, meninggalkan bekas memerah juga bengkak. 

"Apa kesalahanku kali ini, Mas?" tanya Rima di sertai isakan tangis, menatap ke arah Arman dengan sorot yang tajam.

"Oh, jadi selama ini kamu memata-matai aku?" Ungkap Arman yang meninggikan intonasi suaranya, sangat marah terlihat dari rahang yang mengeras serta gigi yang di gertakkan. 

"A-aku tidak memata-matai mu, Mas. Untuk apa aku melakukan itu?" Elak Rima yang sangat terkejut jika sang suami telah mengetahui niatnya. Kepekaan perasaan bagi seorang istri sangatlah kental, dapat mencium niat suami yang mulai mencari hiburan di luar rumah. 

"Bohong! Aku sudah tahu semuanya, jangan berbohong, Rima Lestari." Tekan Arman yang sangat marah bila menyebut nama lengkap secara langsung. 

Deg

Rima diam membeku tak dapat berkutik jika berhadapan dengan suaminya yang dalam keadaan marah dan emosi, dirinya tak bisa membendung menyembunyikan kebenaran.

"Mau buktinya?" Arman mendapatkan rekaman suara sang istri dengan rekan kerjanya. "Masih mau mengelak." 

Secepat kilat Rima bersimpuh di kaki suaminya, memohon dan meminta ampun dengan deraian air mata penuh penyesalan. Tak bisa di pungkiri jika dirinya masih mencintai sang suami, segala macam cara telah di tempuh dan memilih menggunakan pelet yang ternyata membutuhkan waktu. 

"Maafkan aku, Mas." Lirihnya dengan kedua mata berbinar saat mendongakkan kepala. 

Arman dengan teganya menghempaskan tubuh sang istri hingga terjerembab ke atas lantai, kemarahan yang luar biasa menjadikannya sebagai seorang iblis tak berperasaan. 

"Maaf katamu? Setelah aku menunjukkan bukti itu?"

"Tolong maafkan aku, Mas. Aku terpaksa melakukan itu karena sangat mencintaimu dan tak ingin di tinggal dengan wanita lain." Jawab Rima jujur, walau harapan terlihat sangat kecil setidaknya ada titik celah untuk mendapatkan hati sang suami. 

Hati yang membeku sudah tak bisa di tahan, Arman menyunggingkan senyuman tipis seraya manggut-manggutkan kepala. "Berdiri!" tekannya tegas. 

"Tidak, sebelum Mas memaafkanku." Tolak Rima menggelengkan kepala. 

"Kamu ingin aku berbuat kasar, hah? Cepat bangun!" sarkas Arman seraya menggenggam kedua bahu sang istri dengan sangat erat, tak peduli dengan erangan kesakitan. "Aku akan memaafkanku, asal–."

"Asal apa Mas?" tanya Rima yang spontan. 

"Asal aku boleh menikah lagi." 

Deg

Dirinya bagai tersambar petir, mendengar ucapan yang keluar dari mulut suaminya. Memaksanya untuk rela di madu, hati seorang istri mana yang tak sakit mendengar permintaan konyol itu. Dirinya bahkan sudah berusaha keras menjadi istri yang sempurna, namun pernikahan baru dua tahun belum bisa di terima Arman sepenuhnya. 

Hati tersayat sebilah pisau tajam, waktu terhenti dalam waktu yang lama. Kedua tungkai kaki bergetar dan tak sanggup menopang bobot tubuh, Rima tak berdaya menghadapi permintaan dari kalimat pendek suaminya. Hal yang di takutkan dan dihindari malah membuatnya jatuh ke lubuk terdalam, cairan bening di pelupuk mata tak sanggup ditopang hingga membasahi kedua pipinya. 

"Siapa calon mu, Mas?" lirih Rima yang berusaha menguatkan hati. 

"Sulastri." 

"A-apa? Su-Sulastri?" Rima rak percaya jika orang kepercayaannya dalam memantau sang suami malah mengkhianatinya, baru melihat dua sisi yang dimiliki oleh sahabatnya itu. "Apa rekaman itu dia yang mengirimnya padamu?" 

"Siapa lagi, apa begini caramu untuk mengikatku? Pernikahan ini bukanlah kemauanku, melainkan paksaan. Sudah lama aku mencintai Sulastri dan rasa itu tak bisa di hindari lagi." 

"Apa?" Rima semakin tak menyangka jika dirinya malah terjebak, menjadikan Sulastri sebagai teman baik tapi malah merebut Arman darinya. Air mata yang berderai itu segera dia seka, bangkit untuk protes dengan ketidakadilan yang di dapat. "Ya, aku memata-matai mu lewat Sulastri. Tapi, tak menyangka dia memiliki dua wajah dan topeng yang sampai aku sendiri tidak menyadarinya. Aku melakukan semua itu karena mencintaimu dengan tulus, menerima semua perlakuan burukmu yang selalu ringan tangan padaku. Terserah jika Mas tidak ingin memaafkanku, tapi satu hal yang pasti aku tak akan memberimu izin menikah." 

Plak! 

"Lancang kamu ya, tidak ada hak seorang istri melarang pernikahan suaminya. Nabi saja mempunyai banyak istri bahkan di dalam islam pria boleh menikah hingga empat kali tanpa meminta persetujuan. Lalu, siapa kamu yang mencoba untuk melarangku?" jelas Arman yang segera berlalu pergi dari tempat itu, menutup pintu dengan sangat keras membuat Rima terlonjak kaget mengenai aksi kemarahannya. 

"Dasar pengkhianatan, jadi Sulastri menikam ku dari belakang, diam-diam mas Arman dariku." Rima menyeka kering air mata di kedua pipi, mata yang sembab tak di hiraukan lagi. Terlihat kobaran api balas dendam, mengenai dirinya yang menjadi korban. 

Keesokan harinya, Rima tak sengaja melihat Sulastri yang tengah berbelanja kebutuhan di warung kecil. Bergegas menemuinya dengan kemarahan yang sebentar lagi meluap. 

"Dasar lont*...pel*cur, aku menganggapmu sahabat tapi kamu malah menusukku dari belakang." Rima menjambak rambut Sulastri dengan sangat erat, keduanya saling tarik menarik rambut membuat para ibu-ibu datang berkunjung melihat aksi heboh ke duanya. 

"Wanita gila, lepaskan aku!" pekik Sulastri memukul tangan Rima, namun tarikan di rambutnya semakin erat membuatnya meringis kesakitan. 

"Terimalah pelajaran dariku, wanita busuk." Rima semakin bersemangat menarik rambut panjang Sulastri, apalagi melihat helaian demi helaian rambut yang rontok di tangannya. 

Para ibu-ibu komplek mulai berdatangan, bukannya melerai mereka malah mem videokan aksi nekat keduanya dengan memberi caption melabak sang pelakor. 

Berita yang tersebar di jejaringan sosial, Arman sangat terkejut melihat tingkah Rima yang sudah kelewat batas. 

"Aku tidak bersalah, salahkan suamimu sendiri yang menyimpan perasaan juga menggodaku di kantor." Celetuk Sulastri yang sombong bisa merebut suami Rima dengan pesonanya. 

"Pelakor gatal, kamu pikir aku diam saja dengan pengkhianatan ini?" 

Bugh!

Rima tersenyum puas berhasil meninju perut Sulastri dengan sangat kuat, memberikan pelajaran yang tak terlupakan seumur hidup oleh sang pelakor. 

"Rima!" terdengar suara yang tak jauh dari kerumunan, sangat familiar. 

Rima yang mendengar namanya dipanggil oleh seseorang yang tak lain adalah Arman, sangat terkejut dan segera menoleh ke sumber suara. terlihat raut wajah yang tidak bersahabat penuh dengan kemarahan, tanpa disadari sang rival telah menjauh darinya. 

"Rasakan kamu, Rima." Ucap pelan Sulastri tersenyum puas saat melihat sang penyelamat datang membalaskan rasa sakit di seluruh tubuh. 

"Mas Arman."

"Brengsek, berani kamu menyakiti calon istriku!" Arman yang gelap mata tanpa berpikir panjang menampar sang istri di hadapan umum, sekaligus memberi pelajaran untuk tidak berbuat seenaknya. 

"Mas, lihat tuh istri kamu. Rambut aku rontok, dan tubuhku penuh lebam juga cakarannya." Sulastri datang mendekat memegang kedua tangan Arman manja, sengaja memanas-manasi istri sah tanpa peduli jika orang yang berada di sana menganggapnya pelakor.

Bab 3 - Dendam Rima di mulai

Malam hari yang begitu sunyi, hampa terasa ditemani sepi. Tangisan saat mengingat kejadian yang tidak mengenakkan, tinggalah rasa penyesalan setelah menaruh kepercayaan kepada wanita lain yang ternyata malah menikung nya. 

Rima segera menyeka air mata, dia tak ingin ketidakadilan terjadi padanya. "Sulastri, dasar wanita ular." Gumannya sembari tersenyum tipis, membalaskan dendam dengan cara yang sama. 

Suara pintu yang di ketuk beberapa kali memecahkan lamunan Rima, segera berlari untuk membukakan pintu. Terlihat dua orang yang sangat di kenalnya, hati terus berkecamuk seakan di hantam palu besar. Tatapannya berapi pada seorang wanita yang ada di sebelah suaminya.

"Untung saja Sulastri tidak apa-apa, kalau tidak? Kamu aku beri ikat pinggang." Celetuk Arman yang marah pada istrinya, sedangkan Sulastri tersenyum penuh kemenangan dapat merebut suami temannya sendiri. 

"Ini rumah kita, mengapa membawa wanita asing ke sini Mas?" cetus Rima menatap tajam dan tak suka. 

"Aku sudah bosan denganmu, dan akan segera menikahi Sulastri bulan depan. Kamu harus memilih salah satunya, ikhlas dimadu atau bercerai." Ujar Arman lantang. 

Deg

Seakan dunia terhenti, nafas yang tidak terkontrol dan bahkan bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri. Perkataan Arman menusuk hatinya dengan ribuan jarum, harapan yang selalu diperjuangkan ternyata menjadi sia-sia. 

Air mata tiba-tiba saja menetes, menatap tengan tatapan kosong ke arah dua objek yang tersenyum kasmaran memperlihatkan keromantisan mereka. 

"Kamu jahat, Mas."

"Ya, aku memang jahat. Kamu bisa memilih salah satunya, rela di madu atau kita bercerai saja. Aku sudah muak denganmu, lihat wajahmu yang kurang perawatan, tubuh melar dan cuma bisa menghabiskan nasi dari jerih payahku."

Lagi dan lagi Rima sakit hati mendengarnya, dia cukup bersabar selalu mendapatkan kekerasan rumah tangga dari suami yang ringan tangan. Kini, hal yang ditakutkan malah menjadi momok yang terus terlintas di dalam pikiran. 

"Baiklah, aku rela di madu. Asal, selama satu bulan ini Mas banyak menghabiskan waktu denganku." Rima mulai memberikan syarat untuk menumbuhkan kembali rasa cinta di hati suaminya. 

"Gak bisa gitu lah Mbak, aku juga ingin menghabiskan waktu dengan Mas Arman." Tolak Sulastri.

"Apa yang di katakan Sulastri memang benar, sumpek lihat wajahmu yang kucek itu." 

Rima menarik nafas dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan, tak bisa berbuat apapun untuk sekarang ini. "Baiklah, jika Mas tidak mau aku juga tidak akan memaksa. Tapi luangkan waktu untuk melepaskan rasa lapar mu Mas, pulang di waktu makan." 

Arman dan Sulastri saling melirik dan memberi kode jika mereka tidak mempermasalahkannya. 

"Aku tidak masalah, lagipula aku malas masak." Ungkap Sulastri mengukir senyuman tipis di bibir Rima. 

"Gimana Mas?" Rima menatap suaminya dengan senyuman mengembang.

"Aku setuju." 

****

Waktu terus bergulir, Rima selalu melihat jam untuk melakukan ritualnya menundukkan sang suami agar tak jatuh dalam pelukan pelakor. 

Nasi hangat sengaja diletakkan di bawah kedua kaki yang melebar, sengaja tak memakai pakaian bagian dalam dan menutupinya dengan kain sarung. Mulai membuka kertas yang berisi mantra ilmu hitam, dengan kesungguhan hati menaklukkan sang suami dengan pelet yang diberikan mak Itam padanya. 

Suasana rumah yang gelap sengaja ditutup agar tidak ada yang mengetahui niat kotornya, merasakan cairan merah yang keluar di bagian sensitif dan membiarkannya mengalir juga menetes mengenai nasi hangat, terus merapalkan mantra hingga selesai. 

Rima tersenyum licik dan segera mengambil nasi hangat itu dan menutupinya sebaik mungkin. 

Begitu banyak lauk pauk kesukaan suami, sengaja memancing supaya Arman tidak bosan untuk makan di rumahnya. Benar saja saat mendengar suara ketukan pintu, Rima berlari untuk membukakan pintu dan melihat kedatangan suaminya yang pulang dari kantor. 

"Aku lapar, siapkan aku makanan!" perintah Arman yang melempar tas kerja seraya melonggarkan dasi yang seakan mencekik lehernya. 

"Baik Mas." Rima melayani Arman seperti biasa, hingga waktu yang ditentukan merubah suaminya dan takluk olehnya. 

Arman makan dengan sangat bersemangat, peluh di yang mengalir di pelipis menjadi saksinya. Makanan kesukaan terbentang di atas piring yang disusun dengan sangat baik, dia akui kalau masakan Rima tak ada duanya, satu kelebihan yang enggan untuk mengatakannya. 

"Nasinya di habiskan saja Mas." Eima tersenyum melihat Arman yang terus makan seperti orang kelaparan tidak makan dua hari. 

"Pasti." Jawab Arman singkat. 

"Bagaimana rasanya?" tanya Rima dengan penuh semangat.

"Biasa aja, aku hanya lapar saja." 

"Hem."

"Setiap aku makan kesini kamu tidak pernah makan denganku, pasti kamu menaburkan racun dalam makanan ini 'kan?" 

"Huss, gak boleh berburuk sangka Mas. Aku sengaja melayanimu selama satu bulan penuh dan ini hari terakhirnya, bagaimana dengan persiapan pernikahan kalian?" 

"Sangat mencurigakan, kemarin kamu gak suka kalau aku nikah sama Sulastri. Tapi, ini malah kebalikannya." 

"Apa salahnya aku mendukung, toh istri sah hanya aku dan dia cuma istri siri." Jawab Rima sekenanya. 

Arman membasuh tangannya di dalam mangkuk kecil yang terbuat dari plastik, bersendawa menandakan jika dia menikmati hidangan yang di siapkan Rima. "Aku sudah selesai." 

Rima mengangguk dan membersihkan meja makan, tersenyum tipis tanpa di ketahui Arman yang saat itu sudah beranjak dari meja makan. 

Di malam hari, Arman merasakan ada yang aneh dalam dirinya. Biasanya dia membayangkan bercinta dengan Sulastri dan menjadi pusat fantasi liarnya. Entah mengapa dia merasa bayangan itu seketika lenyap dan di gantikan oleh bayangan istrinya, Rima. 

Arman merasakan gejolak hasrat seorang lelaki segera menghampiri Rima yang tengah mengelap piring yang baru selesai di cuci, melingkarkan kedua tangan membuat wanita itu tersentak kaget. 

"Aku sangat menyayangimu, Rima."

"Aku tidak salah dengar Mas?" ucap Rima hampir tak percaya.

"Kamu terlihat sangat seksi, habiskan waktu bersamaku malam ini saja." Bisik Arman yang terus menggoda istrinya itu. 

"Kena kamu mas," batin Rima tersenyum puas, dengan kasar menghempaskan dua tangan kekar yang memeluknya dari belakang. "Besok adalah hari pernikahanmu dengan Sulastri, aku tidak ingin menjadi pengacau." 

"Aku tidak ingin menikah dengannya." 

"Lalu, kamu sudah mengundang beberapa orang menjadi saksi pernikahan dan uang. Apa yang di pikirkan Sulastri kalau mengetahui calon suaminya menghabiskan malam bersama dengan wanita lain?" 

"Aku tidak peduli, kamu itu istriku. Seharusnya dia mengerti dan memahami situasi ku saat ini, aku menginginkanmu malam ini." 

"Kamu harus memilihku atau dia, Mas." 

"Tentu saja aku memilihmu." 

"Buktikan dengan Mas datang kesana dan batalkan pernikahan itu, hanya itu satu-satunya cara agar aku yakin memberikan hak suami istri." 

Rima sangat puas melihat ekspresi Sulastri yang sangat terkejut dengan pernyataan calon suami yang membatalkan pernikahan yang akan diadakan esok hari, tangisan pecah dan menyalahkannya sebagai dalang. 

"Kamu pasti menghasutnya mas Arman!" tuduh Sulastri membentak Rima dan menyeretnya dengan kasar. 

"Jangan kasar sama istriku!" ucap lantang Arman yang membela Rima, melototi Sulastri dengan penuh ancaman juga kemarahan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!