Bab 5 - Bayangan hitam

Rima tersenyum puas dapat membalaskan dendam kepada suaminya, kini dirinya bisa membalikkan keadaan yang dulu di terima. Penampilan tak terurus kini bak bidadari yang cantik jelita, tentu saja semua berkat permintaannya yang selalu dituruti Arman. 

Di malam hari yang indah, Rima mendekati sang suami bermaksud untuk meminta sesuatu. Dengan membawa segelas kopi dan cemilan kue kering di suguhkan sebagai teman, senyum manis di wajah dan tentunya menjadi istri merdeka. 

"Ini Mas kopinya diminum dulu!" ucapnya seraya duduk di sebelah sang suami, masih tersenyum penuh arti dan niat terselubung. 

"Tumben kamu buatin aku kopi," ucap Arman yang sudah mencium gelagat sang istri, sebuah keinginan yang menguras dompet. Senyum yang terasa hambar akibat dirinya terjebak hutang demi memenuhi kebutuhan sang istri kian menuntutnya ini dan itu. 

"Ya ampun Mas, jadi orang itu gak usah su'udzon. Aku kan istrimu dan sudah sepantasnya melayani dan menyenangkan hatimu, apa aku salah?" lagi dan lagi Rima mengelak dengan perkataan yang begitu halus. 

"Aku gak bermaksud seperti itu, kamu kan tahu sendiri kalau aku menjadi pembantumu. Pasti kamu menginginkan sesuatu." Terka Arman yang sudah paham keinginan istrinya. 

Rima mencibirkan bibirnya kedepan, kemudian tersenyum mendekati sang suami. "Mas, bu Tini yang janda itu punya gelang emas. Lihat nih tangan aku kosong, gak ada perhiasan apapun yang melekat selain cincin kawin kita." Ucapnya sembari memperlihatkan kedua tangan ke depan. 

"Tuh kan, apa yang aku bilang. Kamu pasti minta sesuatu yang selalu saja membuat aku pusing." Tolak Arman yang tidak berselera lagi untuk menyeruput kopi buatan Rima. 

"Oh, jadi kamu mulai perhitungan ya sama ku Mas. Kamu lupa? Apa yang kamu berikan padaku selama kita menikah?" Kecam Rima meninggikan suaranya dengan kedua mata yang membelotot.

Arman mengingat bagaimana dirinya tidak memberikan apapun selain duka dan penyiksaan akibat dirinya yang ringan tangan, entah mengapa dirinya begitu mencintai istri yang selama ini dia sakiti semenjak malam sebelum pernikahan dengan Sulastri yang gagal. Dia juga tak tahu apa yang terjadi akhir-akhir ini, mengikuti semua perkataan Rima tanpa peduli terlilit hutang. 

"Maaf Sayang, jangan sekarang ya…aku belum gajian." Bujuk Arman melembutkan suaranya. 

"Gak mau, pokoknya aku mau gelang emas, titik." Rima melipat kedua tangan di depan dada seraya membuang wajah dan berlalu pergi meninggalkan suaminya. 

Arman menghela nafas kasar sembari mengusap wajahnya, dirinya begitu frustasi dengan permintaan sang istri yang semakin hari melunjak. Anehnya dia selalu mematuhi semua perkataan Rima dan menyenangkan hati sang istri yang baru-baru ini terlihat menarik membuatnya cinta mati. 

"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bos pasti tidak memberiku kasbon, bagaimana aku mengabulkan permintaan Rima?" monolognya dengan raut wajah ketidakberdayaan. 

Malam yang tadinya sangat tenang, kini pikiran Arman menjadi kusut. Beberapa orang meronda terlihat dari depan, segera dia keluar dan memanggil beberapa orang. 

"Surip…Diman!" pekik Arman yang berlari mendekat. 

"Eh, Arman. Ada apa? Kami mau ngeronda ini." Ucap Surip yang sangat malas bertemu dengan kawannya itu. 

"Aku ikut ya!" 

"Tumben kamu mau ikut, biasanya pengen nempel Rima." Ledek Diman. 

"Namanya juga istri tercinta." 

"Kamu ini aneh semenjak batal menikah dengan Sulastri, dulu kamu benci lihat Rima tapi sekarang malah kebalikannya." 

Arman hanya menunjukkan cengiran kuda, tidak menjawab karena tidak mempunyai jawaban. 

Ketiganya mulai meronda, Diman dan Surip melihat kegelisahan Arman yang tampak kusut. "Ada apalagi? Muka mu seperti belum di setrika." 

"Aku bingung." Jujur Arman melirik kedua temannya sekilas. 

"Bingung kenapa?" jawab keduanya serempak. 

"Gara-gara bu Tini yang pamer perhiasan, Rima juga mau perhiasan. Walaupun kasbon di perusahaan pasti bos tidak memberikannya." 

"Kasian amat hidup mu, jangan sering mengikuti permintaan istri." 

"Benar kata Diman, cinta sih cinta tapi ingat juga batas kewajaran. Lagipula kamu tambah aneh, selalu menuruti permintaan Rima. Dia sudah bentak kamu, menjadikanmu pembantu, sangat menurutlah pokoknya. Jangan-jangan kamu kena pelet si Rima." Ucap Surip menerka.

"Huss sembarangan kamu, aku itu cinta mati sama dia." 

"Terserah kamu lah." 

"Eh, tapi beberapa hari yang lalu aku lihat Rima berkunjung ke rumah mak Itam." Ujar Diman yang kembali bersemangat di tengah melawan rasa kantuk. 

"Mak Itam yang di kenal sebagai dukun itu bukan?" sambung Surip. 

"Ho'o mak Itam cuma dia doang di sini." 

"Hati-hati kamu Man, bisa jadi kamu di pelet Rima." Tanggap Diman yang sangat serius, sedangkan Arman hanya terkekeh mendengar cerita gosip dari kedua temannya itu. 

"Kalian pasti belum ngopi, laki-laki kok ngegosip." Arman memutuskan berjalan lebih dulu sambil tertawa mendengar cerita temannya. 

"Yee…di bilangin gak percaya." Ucap Diman mencibir Arman dari belakang. 

Rima tersenyum puas saat melihat isi lemari yang penuh dengan pakaian mahal, tas, dan sepatu koleksinya. "Haha, pasti Sulastri kepanasan melihat semua ini." Ya, dia berniat untuk memamerkan semua barang yang dibelinya di pusat perbelanjaan, lebih mementingkan fashion dibandingkan beras yang di dapur yang sudah habis. 

"Tidak ada siapapun yang bisa memiliki mas Arman, dia akan tunduk dan patuh padaku." Rima tertawa menyeramkan dengan kemenangan yang diraih, memukul telak lawan dengan sangat mudah berkat bantuan mak Itam.

"Aku harus memasak nasi kangkang untuk mas Arman." Rima menutup lemari dan bergegas memasak nasi untuk di pagi hari, tentu saja dengan ajian yang di ajarkan mak Itam penuh sesat. 

Setelah beberapa lama menunggu, nasi panas yang sudah matang segera di angkat dan kembali meletakkannya di sela kedua kaki yang terbuka, membaca ajian dengan maksud dan tujuan untuk membuat Arman patuh pada ucapannya. 

Ritual telah selesai, Rima menyimpan nasi itu dan memanasinya di pagi hari. Dia tersenyum licik, tak peduli jika cairan dari nona V miliknya sudah bercampur ke dalam nasi hangat yang tidak akan di ketahui. 

Sekelebat bayangan hitam membuat Rima sangat terkejut, apalagi tubuhnya terasa ada dorongan yang sangat kuat, beruntung nasi tidak tumpah. "Apa itu tadi?" monolognya seraya mengatur nafas yang tidak beraturan, sangat terkejut dan masih tetap berpikiran positif.

Bayangan hitam kembali terlihat melintas di depannya, perlahan memundurkan langkah kaki dengan raut wajah ketakutan. Sebuah tangan menyentuh bahu membuatnya terlonjak kaget. 

"Mas? Kamu di sini?" Rima spontan berbalik badan, keringat yang mengucur di dahi seraya di seka dengan tangan, tubuh gemetaran di tambah dengan wajah yang pucat. 

"Kamu kok pucat, ada apa?" Arman mengerutkan dahi menatap istrinya. 

"Aku gak apa-apa." Rima menerobos Arman dan masuk ke dalam kamar, melihat jam di dinding menunjukkan tengah malam. 

Terpopuler

Comments

Ganuwa Gunawan

Ganuwa Gunawan

aku benci kmu Rim..
kok makin parah ya...tak kira cuma suruh patuh dn nurut..eeh malah jdi melawan dn matre

2023-01-18

0

Ray

Ray

Dan sekutunya Mak Itam sudah mulai meminta tumbal🤔?

2023-01-18

0

Erni Cahaya Nst

Erni Cahaya Nst

kok engga afa bersyukurnya y mlh lbh dri sulastri lanjut thor smangaat

2022-12-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!