Bisnis, Benci Dan Cinta
Buuk..
Suara menjerit wanita paruh baya dari arah dapur membuat seorang wanita berusia 26 tahun bergegas keluar dari kamar.
Maudi Aletta, berlari ke asal suara. Matanya membulat ketika melihat sang ayah tergeletak di lantai.
Ibunya menangis sembari memangku kepala pria yang cintainya itu dan terus memanggil namanya.
"Ayah!" teriaknya dengan cepat melangkah.
"Bangunlah!" Ibu terus menepuk pipi ayah.
"Aku akan menelepon Kakak, Bu!" Maudy berlari ke kamarnya dan meraih ponselnya di atas nakas dan menghubungi kakak laki-lakinya.
Nomor telepon yang ia hubungi tak juga tersambung. Maudy berdecak kesal.
Gadis itu berlari ke dapur membantu sang ibu mengangkat tubuh ayahnya.
Begitu mereka rebahkan di kamar, Maudy meminta izin kepada ibunya untuk pergi ke rumah dokter yang ada diujung jalan komplek rumahnya.
"Ini sudah malam dan hujan, kamu yakin akan pergi ke rumahnya?"
"Iya, Bu. Kita tidak memiliki nomor ponsel dokter itu, jadi aku harus ke rumahnya," jawab Maudy.
"Kamu mau pergi naik apa ke sana?"
"Mobil, Bu."
Ibu Maudy bernama Wina menyetujuinya karena putrinya pergi menggunakan kendaraan roda empat.
Maudy menerobos derasnya hujan dan gelapnya malam, agar bisa menjemput sang dokter.
Maudy turun dari mobil, menekan bel berulang kali. Pakaian yang ia gunakan sudah separuh basah meskipun ia menggunakan payung namun angin yang berhembus kencang membuat air mengenainya tubuhnya.
Hampir 5 menit, berdiri di depan pintu pagar seorang pria muda ditaksir usianya 27 tahun mendekati ke arahnya. "Anda siapa?"
"Saya Maudy, Dokter. Saya putri dari Rama Aletta," jawabnya.
"Saya kenal dengan beliau, memangnya kenapa dengannya?"
"Dia pingsan," jawabnya lagi.
"Tunggulah sebentar, saya akan mengambil perlengkapan medis," ucap Dokter.
"Saya akan menunggu di mobil, Dok."
Pria itu mengangguk, ia lalu berlari ke rumahnya.
Maudy tampak gemetaran ketika menyetir.
"Tenanglah!"
"Ya, Dok."
Maudy keluar dari mobil dan memayungi pria itu melangkah ke teras rumah. Setelah menutup payungnya, ia membukakan pintu.
"Bu, dokternya datang!" teriaknya.
Maudy melihat ke arah dokter, "Mari saya antar ke kamar ayah, Dok!"
Pria muda yang bernama Dewa mengangguk.
Selesai memeriksa, Dewa mengatakan jika ayah Maudy hanya syok saja.
Maudy dan ibunya bisa bernafas lega.
Dewa memberikan resep obat dan ia menyarankan agar ayahnya Maudy beristirahat dengan cukup.
Maudy kembali mengantarkan dokter itu pulang, meski hujan telah reda tidak mungkin dia menyuruhnya berjalan kaki.
"Dokter, terima kasih sudah menolong saya hari ini!"
"Sama-sama," ucap Dewa. "Aku lupa memberitahumu, seharusnya tadi kamu mengganti pakaianmu."
"Saya sangat khawatir dengan kondisi ayah, Dok. Sampai lupa dengan diri sendiri," ujarnya tersenyum tipis.
"Saya maklum, tapi kondisi kesehatanmu tetap harus dijaga jika tak ingin kedua orang tuamu bersedih."
"Ya, Dok. Terima kasih sudah mengingatkan," ucap Maudy.
"Sama-sama," Dewa keluar dari mobil.
Maudy memutari kendaraannya menuju rumahnya. Ia pergi ke kamar untuk mengganti pakaiannya. Sebelum tidur ia melamun. "Apa yang membuat ayah syok?"
****
Keesokan paginya, sebelum berangkat ke kantor. Maudy sarapan, sesekali ia bersin membuat sang ibu khawatir.
"Kamu sakit?"
"Hanya bersin saja, Bu."
"Ibu akan buatkan teh jahe," menawarkannya.
"Tidak usah, Bu. Sebentar lagi juga sembuh," ujar Maudy. "Bu, kalau aku boleh tahu ayah syok karena apa?" lanjutnya bertanya sesekali jemarinya menyenggol hidungnya.
"Perusahaan mengalami kerugian, Maudy. Komplek perumahan yang sudah rampung lima puluh persen harus terbengkalai, karena tak ada investor," jelas Ibu Maudy bernama Wika.
"Apa kita tidak punya solusi lain?"
"Ada."
"Apa itu, Bu?"
"Pernikahan."
Maudy mengerutkan keningnya.
"Siapa yang akan menikah?"
"Kamu."
"Bu, aku menikah? Dengan siapa?"
"Putra pertama Tuan Tian sedang mencari istri, Ibu mau kamu menikah dengannya," jawab Wika.
"Tidak, Bu. Aku tak mau menikah dengan pria yang sama sekali belum ku kenal," Maudy menolaknya.
"Tolonglah, Nak. Kamu harapan kami," ujar Wika.
"Aku akan mencari cara lain untuk menyelamatkan perusahaan tanpa harus menikah," ucap Maudy.
"Mau pakai cara apa? Pinjam ke bank?"
"Ya, Bu."
"Justru itu, hutang kita di bank sudah menumpuk jika tidak dilunasi maka rumah ini, mobil Ibu dan kamu disita."
Maudy mengepal tangannya.
"Cara ini paling mudah dan cepat, lagian Tuan Tian memang ingin kamu menjadi menantunya."
Maudy menghela nafasnya.
"Bagaimana? Apa kamu mau?"
"Nanti aku pikirkan lagi, Bu." Maudy meraih tas dan kunci mobilnya tak lupa mencium punggung tangan ibunya.
Maudy melangkah ke mobil dan melesat ke kantornya.
Di kantor, ia memijat pelipisnya. Ya, dia memikirkan ucapan ibunya. Jika dirinyalah yang mampu membantu kehidupan keluarganya.
"Maudy, ada yang ingin bertemu denganmu!"
"Siapa dia, Karen?"
"Aku tidak tahu, dia pria tampan sepertinya ingin bekerja sama dengan perusahaan kita," jawabnya.
"Baiklah, aku akan bertemu dengannya." Maudy menutup laptopnya, berdiri dan melangkah ke luar menemui tamunya.
Seorang pria berdiri menghadap jendela, memandangi jalanan dari lantai ketujuh.
"Selamat siang, Tuan!" sapa Maudy.
Pria itu membalikkan badannya, memperhatikan wanita itu dari bawah hingga ke atas.
Maudy yang diperhatikan merasa kikuk. "Silahkan duduk, Tuan!"
Pria itu pun mengikuti perintahnya.
"Apa yang bisa saya bantu?"
"Apa kamu putri dari Rama Aletta?"
"Ya."
"Sebelum kedua orang tua kita mempertemukan antara kau dan aku, maka ku yang lebih dahulu menawarkan perjanjian."
"Saya belum menyetujui perjodohan, tiba-tiba anda datang menawarkan perjanjian," Maudy tersenyum sinis.
"Ternyata, kau menolak perjodohan ini. Tapi, kedua orang tuamu menginginkan itu. Apalagi perusahaan ayahmu yang membutuhkan bantuan kami."
"Ya, saya tahu kami membutuhkan dana investor tapi tidak dengan pernikahan paksaan seperti ini!"
"Hei, kita menikah untuk bisnis. Jadi, jangan menganggapnya serius."
"Saya menganggap pernikahan sekali seumur hidup bukan bisnis apalagi menikah tidak dilandasi cinta!"
Pria itu tertawa.
"Simpan surat perjanjian anda dan silahkan pergi!" menekankan kata-katanya.
"Sebentar lagi akan ada telepon dari ibumu!" Pria itu menyilangkan kaki dan bersedekap dada.
Dan benar saja, ponsel Maudy berdering tertera nama ibunya.
"Halo, Bu!"
"Maudy, ayahmu dilarikan ke rumah sakit!"
"Apa!"
"Cepatlah kemari!"
"Baik, Bu!" Maudy menutup teleponnya kemudian berdiri.
"Hei, mau ke mana?" Pria itu menurunkan satu kakinya dari pahanya lalu ikut berdiri.
Maudy tak menjawab, wajahnya sangat panik. Maudy membalikkan badannya hendak keluar dari ruangan itu.
Pria itu menahan lengannya, "Aku akan mengantarmu!"
Maudy tak mengiyakan, malah dengan cepat menurunkan tangan pria itu.
Di parkiran, "Naiklah ke mobilku, kau tidak bisa menyetir jika panik begitu!"
Maudy akhirnya menuruti kata-kata pria itu. Ia naik ke mobil yang ada dihadapannya.
Di dalam mobil, keduanya duduk di kursi penumpang. Maudy menggigit kukunya dan terus menatap jalanan. Pikirannya kacau dan hatinya tak tenang.
"Jika kau mau menerima perjodohan ini, pasti ayahmu akan baik-baik saja."
Maudy menoleh lalu berkata dengan tatapan tajam, "Bisakah anda berhenti mengoceh!"
Pria itu tampak sedikit terkejut melihat ekspresi wajah Maudy, ia lalu tersenyum dan berucap, "Baiklah!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments