Buuk..
Suara menjerit wanita paruh baya dari arah dapur membuat seorang wanita berusia 26 tahun bergegas keluar dari kamar.
Maudi Aletta, berlari ke asal suara. Matanya membulat ketika melihat sang ayah tergeletak di lantai.
Ibunya menangis sembari memangku kepala pria yang cintainya itu dan terus memanggil namanya.
"Ayah!" teriaknya dengan cepat melangkah.
"Bangunlah!" Ibu terus menepuk pipi ayah.
"Aku akan menelepon Kakak, Bu!" Maudy berlari ke kamarnya dan meraih ponselnya di atas nakas dan menghubungi kakak laki-lakinya.
Nomor telepon yang ia hubungi tak juga tersambung. Maudy berdecak kesal.
Gadis itu berlari ke dapur membantu sang ibu mengangkat tubuh ayahnya.
Begitu mereka rebahkan di kamar, Maudy meminta izin kepada ibunya untuk pergi ke rumah dokter yang ada diujung jalan komplek rumahnya.
"Ini sudah malam dan hujan, kamu yakin akan pergi ke rumahnya?"
"Iya, Bu. Kita tidak memiliki nomor ponsel dokter itu, jadi aku harus ke rumahnya," jawab Maudy.
"Kamu mau pergi naik apa ke sana?"
"Mobil, Bu."
Ibu Maudy bernama Wina menyetujuinya karena putrinya pergi menggunakan kendaraan roda empat.
Maudy menerobos derasnya hujan dan gelapnya malam, agar bisa menjemput sang dokter.
Maudy turun dari mobil, menekan bel berulang kali. Pakaian yang ia gunakan sudah separuh basah meskipun ia menggunakan payung namun angin yang berhembus kencang membuat air mengenainya tubuhnya.
Hampir 5 menit, berdiri di depan pintu pagar seorang pria muda ditaksir usianya 27 tahun mendekati ke arahnya. "Anda siapa?"
"Saya Maudy, Dokter. Saya putri dari Rama Aletta," jawabnya.
"Saya kenal dengan beliau, memangnya kenapa dengannya?"
"Dia pingsan," jawabnya lagi.
"Tunggulah sebentar, saya akan mengambil perlengkapan medis," ucap Dokter.
"Saya akan menunggu di mobil, Dok."
Pria itu mengangguk, ia lalu berlari ke rumahnya.
Maudy tampak gemetaran ketika menyetir.
"Tenanglah!"
"Ya, Dok."
Maudy keluar dari mobil dan memayungi pria itu melangkah ke teras rumah. Setelah menutup payungnya, ia membukakan pintu.
"Bu, dokternya datang!" teriaknya.
Maudy melihat ke arah dokter, "Mari saya antar ke kamar ayah, Dok!"
Pria muda yang bernama Dewa mengangguk.
Selesai memeriksa, Dewa mengatakan jika ayah Maudy hanya syok saja.
Maudy dan ibunya bisa bernafas lega.
Dewa memberikan resep obat dan ia menyarankan agar ayahnya Maudy beristirahat dengan cukup.
Maudy kembali mengantarkan dokter itu pulang, meski hujan telah reda tidak mungkin dia menyuruhnya berjalan kaki.
"Dokter, terima kasih sudah menolong saya hari ini!"
"Sama-sama," ucap Dewa. "Aku lupa memberitahumu, seharusnya tadi kamu mengganti pakaianmu."
"Saya sangat khawatir dengan kondisi ayah, Dok. Sampai lupa dengan diri sendiri," ujarnya tersenyum tipis.
"Saya maklum, tapi kondisi kesehatanmu tetap harus dijaga jika tak ingin kedua orang tuamu bersedih."
"Ya, Dok. Terima kasih sudah mengingatkan," ucap Maudy.
"Sama-sama," Dewa keluar dari mobil.
Maudy memutari kendaraannya menuju rumahnya. Ia pergi ke kamar untuk mengganti pakaiannya. Sebelum tidur ia melamun. "Apa yang membuat ayah syok?"
****
Keesokan paginya, sebelum berangkat ke kantor. Maudy sarapan, sesekali ia bersin membuat sang ibu khawatir.
"Kamu sakit?"
"Hanya bersin saja, Bu."
"Ibu akan buatkan teh jahe," menawarkannya.
"Tidak usah, Bu. Sebentar lagi juga sembuh," ujar Maudy. "Bu, kalau aku boleh tahu ayah syok karena apa?" lanjutnya bertanya sesekali jemarinya menyenggol hidungnya.
"Perusahaan mengalami kerugian, Maudy. Komplek perumahan yang sudah rampung lima puluh persen harus terbengkalai, karena tak ada investor," jelas Ibu Maudy bernama Wika.
"Apa kita tidak punya solusi lain?"
"Ada."
"Apa itu, Bu?"
"Pernikahan."
Maudy mengerutkan keningnya.
"Siapa yang akan menikah?"
"Kamu."
"Bu, aku menikah? Dengan siapa?"
"Putra pertama Tuan Tian sedang mencari istri, Ibu mau kamu menikah dengannya," jawab Wika.
"Tidak, Bu. Aku tak mau menikah dengan pria yang sama sekali belum ku kenal," Maudy menolaknya.
"Tolonglah, Nak. Kamu harapan kami," ujar Wika.
"Aku akan mencari cara lain untuk menyelamatkan perusahaan tanpa harus menikah," ucap Maudy.
"Mau pakai cara apa? Pinjam ke bank?"
"Ya, Bu."
"Justru itu, hutang kita di bank sudah menumpuk jika tidak dilunasi maka rumah ini, mobil Ibu dan kamu disita."
Maudy mengepal tangannya.
"Cara ini paling mudah dan cepat, lagian Tuan Tian memang ingin kamu menjadi menantunya."
Maudy menghela nafasnya.
"Bagaimana? Apa kamu mau?"
"Nanti aku pikirkan lagi, Bu." Maudy meraih tas dan kunci mobilnya tak lupa mencium punggung tangan ibunya.
Maudy melangkah ke mobil dan melesat ke kantornya.
Di kantor, ia memijat pelipisnya. Ya, dia memikirkan ucapan ibunya. Jika dirinyalah yang mampu membantu kehidupan keluarganya.
"Maudy, ada yang ingin bertemu denganmu!"
"Siapa dia, Karen?"
"Aku tidak tahu, dia pria tampan sepertinya ingin bekerja sama dengan perusahaan kita," jawabnya.
"Baiklah, aku akan bertemu dengannya." Maudy menutup laptopnya, berdiri dan melangkah ke luar menemui tamunya.
Seorang pria berdiri menghadap jendela, memandangi jalanan dari lantai ketujuh.
"Selamat siang, Tuan!" sapa Maudy.
Pria itu membalikkan badannya, memperhatikan wanita itu dari bawah hingga ke atas.
Maudy yang diperhatikan merasa kikuk. "Silahkan duduk, Tuan!"
Pria itu pun mengikuti perintahnya.
"Apa yang bisa saya bantu?"
"Apa kamu putri dari Rama Aletta?"
"Ya."
"Sebelum kedua orang tua kita mempertemukan antara kau dan aku, maka ku yang lebih dahulu menawarkan perjanjian."
"Saya belum menyetujui perjodohan, tiba-tiba anda datang menawarkan perjanjian," Maudy tersenyum sinis.
"Ternyata, kau menolak perjodohan ini. Tapi, kedua orang tuamu menginginkan itu. Apalagi perusahaan ayahmu yang membutuhkan bantuan kami."
"Ya, saya tahu kami membutuhkan dana investor tapi tidak dengan pernikahan paksaan seperti ini!"
"Hei, kita menikah untuk bisnis. Jadi, jangan menganggapnya serius."
"Saya menganggap pernikahan sekali seumur hidup bukan bisnis apalagi menikah tidak dilandasi cinta!"
Pria itu tertawa.
"Simpan surat perjanjian anda dan silahkan pergi!" menekankan kata-katanya.
"Sebentar lagi akan ada telepon dari ibumu!" Pria itu menyilangkan kaki dan bersedekap dada.
Dan benar saja, ponsel Maudy berdering tertera nama ibunya.
"Halo, Bu!"
"Maudy, ayahmu dilarikan ke rumah sakit!"
"Apa!"
"Cepatlah kemari!"
"Baik, Bu!" Maudy menutup teleponnya kemudian berdiri.
"Hei, mau ke mana?" Pria itu menurunkan satu kakinya dari pahanya lalu ikut berdiri.
Maudy tak menjawab, wajahnya sangat panik. Maudy membalikkan badannya hendak keluar dari ruangan itu.
Pria itu menahan lengannya, "Aku akan mengantarmu!"
Maudy tak mengiyakan, malah dengan cepat menurunkan tangan pria itu.
Di parkiran, "Naiklah ke mobilku, kau tidak bisa menyetir jika panik begitu!"
Maudy akhirnya menuruti kata-kata pria itu. Ia naik ke mobil yang ada dihadapannya.
Di dalam mobil, keduanya duduk di kursi penumpang. Maudy menggigit kukunya dan terus menatap jalanan. Pikirannya kacau dan hatinya tak tenang.
"Jika kau mau menerima perjodohan ini, pasti ayahmu akan baik-baik saja."
Maudy menoleh lalu berkata dengan tatapan tajam, "Bisakah anda berhenti mengoceh!"
Pria itu tampak sedikit terkejut melihat ekspresi wajah Maudy, ia lalu tersenyum dan berucap, "Baiklah!"
Maudy berlari mencari kamar inap yang merawat ayahnya, tampak pria paruh baya itu tergeletak lemas di brankar rumah sakit.
"Ayah!" Maudy berjalan mendekati pria yang merawatnya sejak kecil.
"Maudy, mari sini!" panggilnya lirih.
"Ya, Yah."
"Perkenalkan ini Tuan Tian dan istrinya," Rama mengarahkan tatapannya kepada kedua orang paruh baya yang berada di sebelah kiri ranjangnya.
Maudy tersenyum kecil dan sedikit menundukkan kepalanya.
"Ternyata calon istri Zayn sangat cantik sekali, Pa." Puji istri Tian bernama Dinda.
"Apa yang Papa katakan benar'kan," bisiknya di telinga istrinya.
Dinda mengangguk.
"Kapan aku dan dia menikah?" Zayn tiba-tiba bicara.
Pandangan kini tertuju kepada pria dengan tinggi 180 cm.
"Kamu sudah tidak sabar, ya!" Dinda tersenyum menggoda.
"Ya, Ma." Jawab Zayn asal.
"Saya terserah keluarga Rama kapan mereka akan melepaskan putrinya buat Zayn," ujar Tian.
"Kami akan segera menikahkan Maudy kepada Zayn," Rama ikut berbicara.
"Aku belum menyetujuinya, Yah," Maudy menggelengkan kepalanya, tak menyangka ayahnya mengambil keputusan sepihak.
"Ikut Ibu!" Wina menarik tangan putrinya keluar dari ruangan inap suaminya.
"Ada apa, Bu?" tanya Maudy ketika mereka berada di luar ruangan.
"Kamu tidak ingin ayahmu berlama-lama di rumah sakit, kan?"
"Tidak, Bu."
"Makanya kamu harus menuruti permintaan kami," ujar Wina.
"Tapi, Bu. Pernikahan bukan hal untuk di main-mainkan."
"Yakinlah, pasti lama-lama Zayn akan mencintaimu," Wina meyakinkan.
"Bagaimana jika tidak?"
"Apa kamu pernah mendengar orang-orang yang berpisah, awalnya mereka saling mencintai?"
Maudy mengangguk pelan.
"Tidak selamanya pernikahan yang diawali dengan rasa tak suka akan berakhir perpisahan."
"Tapi, aku takut."
"Takut, kenapa?"
"Aku takut jika suamiku kasar," jawab Maudy
"Jika dia berani melakukan kekerasan padamu, beritahu kami. Ibu yang akan mematahkan hidungnya yang mancung itu!"
"Baiklah, Bu. Aku setuju menikah dengannya demi kalian," Maudy berkata pasrah.
Wina menarik ujung bibirnya, "Terima kasih!"
Keduanya kembali ke kamar rawat inap.
"Hmm.... Maudy setuju menikah dengan Zayn," tutur Wina.
Pria itu menarik sudut kanan bibirnya.
Kedua orang tua Zayn tampak senang mendengarnya.
"Kapan kira-kira kamu ingin menikah?" tanya Dinda kepada Maudy.
"Terserah, Tante dan Om saja." Maudy menundukkan wajahnya rasanya ia ingin menangis.
"Bulan depan saja!" sahut Zayn.
"Ya, bulan depan," Tian ikut menimpali.
"Setelah aku keluar dari rumah sakit, nanti kita akan bicarakan lagi," ujar Rama.
"Ya, hari ini juga aku akan melunasi utang kalian," ucap Tian.
"Terima kasih banyak Tian," Rama menampilkan senyum bahagianya.
"Sama-sama," Tian membalas senyumannya.
*************
Dua hari kemudian....
Keluarga Zayn datang berkunjung ke rumah Rama, mereka akan membahas tentang pernikahan.
"Maudy, kamu ingin konsep pernikahan seperti apa?" tanya Dinda.
"Terserah, Tante saja." Jawab Maudy memaksakan senyum.
"Kenapa kamu selalu menjawabnya terserah, ini pernikahan kalian?" tanya Dinda lagi.
"Saya bingung, Tante. Semua konsep yang ditawari di majalah ini bagus semua," jawab Maudy memberikan alasan.
"Oh, karena itu makanya kamu jawabnya terserah," Dinda tersenyum.
"Kami ikut kalian saja, kami yakin apa yang keluarga Zayn lakukan pasti terbaik!" sahut Wina.
Zayn terus memandangi Maudy yang selalu menunduk.
"Tentunya, kami ingin pernikahan putra kami satu-satunya ini harus mewah," ujar Dinda.
"Apa yang menjadi keputusan Tante dan Om, saya akan terima," sahut Maudy.
"Baiklah," Dinda mengiyakan.
-
Setelah keluarga Zayn pulang, Maudy kembali ke kantor.
"Kamu mau ke mana?" tanya Wina.
"Ke kantor, Bu."
"Nanti malam kamu ketemu dengan Zayn di restoran yang ada di jalan XY."
"Buat apa, Bu?"
"Kamu dan Zayn akan bertemu dengan orang-orang yang menangani pernikahan kalian."
"Baiklah, Bu. Nanti ku ke sana, aku berangkat kerja ya," pamitnya kepada Wina dan juga Rama.
Begitu tiba di kantor kecil miliknya yang bergerak di bidang makanan kecil, seorang pria muda telah menunggunya di parkiran.
Maudy tersenyum lalu berlari kecil dan memeluknya. "Apa kabar?" girangnya.
"Baik, gadis cerewet!"
"Kenapa kamu tidak mengatakan akan pulang?"
"Aku ingin memberikan kejutan untukmu!"
Maudy melonggarkan pelukannya. "Dan kamu berhasil memberikan kejutan itu!"
Pria itu tertawa.
"Bagaimana jika kita mengobrol sambil makan siang?" usul Maudy.
"Boleh juga," jawabnya.
Sementara di tempat itu, jepretan kamera memotret momen keduanya saling berpelukan.
Menaiki mobil milik pria itu, keduanya pergi ke restoran terdekat.
"Bagaimana kabar kedua orang tuamu?" tanya pria yang bernama Aldo, setibanya mereka di restoran.
"Kemarin ayah sempat masuk rumah sakit."
"Sakit apa?"
"Serangan jantung."
"Astaga."
"Usaha yang dimiliki keluarga kami mengalami kebangkrutan, ayah tak sanggup membayar utang di bank dan menggaji karyawan."
"Apa Paman Rama sudah sehat?"
"Sudah."
"Syukurlah," Aldo tersenyum lega.
"Ya, karena menuruti permintaan mereka."
"Maksudnya?"
"Kedua orang tuaku menginginkan pernikahan."
"Jadi, kamu akan segera menikah?"
"Ya."
Aldo tampak terkejut.
"Aku akan menikah dengan putra dari sahabat ayah, mereka telah membantu kami melunasi seluruh utang."
"Jadi, kamu dipaksa menikah?"
"Ya."
"Kamu bisa batalkan sekarang juga!"
"Tidak bisa, Aldo. Pembangunan perumahan juga telah berjalan, mereka memberikan bantuan dana untuk menyelesaikan proyek itu."
"Kenapa kamu tidak mengatakannya padaku?"
"Aku tidak ingin merepotkanmu," jawabnya.
"Kita sudah bersahabat dari kecil. Apa salahnya kali ini aku menolongmu?"
"Tidak ada yang salah, Aldo. Semua sudah menjadi keputusan ku," jawab Maudy memaksakan senyum.
"Semoga saja, kamu bahagia dengan pernikahanmu ini!" harapan Aldo.
"Semoga saja!"
-
-
Maudy berlari-lari kecil memasuki sebuah restoran, ia mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Zayn. Dan benar saja, pria itu masih menunggunya.
"Maaf, aku terlambat!" Maudy berkata sambil mengatur nafasnya.
"Kamu memang terlambat satu jam, mereka baru saja pulang sepuluh menit yang lalu!" Zayn tak menatap namun suaranya sangat dingin.
"Di kantor tadi sedikit masalah, makanya ku terlambat datang ke sini dan aku juga tidak memiliki nomor ponselmu," jelas Maudy.
"Benarkah apa yang kamu katakan Maudy Aletta?" Mengangkat wajahnya lalu menatap wanita yang duduk dihadapannya.
"Ya, aku serius jika tadi ada masalah di kantor."
"Bukan karena asyik berduaan dengan seorang pria?"
Maudy mengerutkan keningnya.
"Apa kamu akan memeluk setiap pria yang bertemu denganmu?"
"Kamu memata-matai aku?" Maudy tampak tak senang.
"Ya, karena kamu adalah calon istriku jadi aku harus tahu semuanya tentangmu."
"Kamu tenang saja, jika kita menikah aku akan mengabdikan hidupku untukmu!"
"Memang seharusnya!"
"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, aku akan pulang!"
"Ya, silahkan."
Maudy melangkah dengan cepat meninggalkan restoran, padahal perutnya sangat lapar.
Mengendarai mobilnya, ia mencari pedagang makanan yang sering menggelar lapaknya di pinggir jalan.
Maudy akhirnya menepikan kendaraannya ke penjual mie ayam, ia turun dan menghampiri pak tua yang menjual makanan itu.
Selesai memesan mie ayam dan dibungkus, Maudy harus menyeberang kembali ke tempat mobilnya di parkir.
Ketika hendak menyeberang, sebuah motor hampir menyenggol tubuhnya dan refleks bungkusan mie ayam yang digenggamnya terjatuh.
Sontak wajah, Maudy berubah antara marah, sedih dan kesal menjadi satu.
"Biar aku yang menggantinya!"
...----------------...
Hai semua ini karya ketiga belas aku...
Semoga kalian suka...
Selamat Membaca 🌹
Dengan cepat Maudy menoleh, "Dokter!" tersenyum ramah.
Dewa membalas senyumannya.
"Tidak usah, Dok!" Maudy menolaknya.
"Tidak apa-apa, kita makan bersama!" ajaknya.
"Saya segan, Dok."
"Tidak perlu segan, ayo!" Dewa menarik tangan wanita itu.
Keduanya duduk berhadapan.
"Apa setiap hari kamu pulang jam segini?" tanya Dewa.
"Tidak, Dok."
"Oh."
"Dokter juga baru pulang kerja, ya."
"Ya, tiba-tiba perut merasa lapar jadi singgah ke sini dan bertemu kamu," jelas Dewa.
"Kenapa bisa kebetulan begitu, Dok." Maudy tertawa kecil.
"Mungkin kita jodoh," ceplos Dewa.
"Hah!"
"Saya bercanda," Dewa tersenyum manis.
"Dokter, ternyata suka juga bercanda. Saya pikir orangnya terlalu serius."
"Orang-orang berpikir seperti itu," ujar Dewa. "Oh ya, panggil saya Dewa saja. Kita 'kan bukan di rumah sakit," lanjutnya.
"Baik, Kak Dewa!"
Pria itu pun tersenyum.
"Mie ayamnya sudah datang!" ujar Maudy ketika penjual mie menyajikan 2 mangkok dihadapannya.
"Silahkan dimakan!" ucap Dewa.
Maudy menikmati mie ayam begitu lahap karena ia benar-benar lapar.
Dewa meraih tisu lalu tangannya membersihkan sudut bibir wanita yang ada dihadapannya.
Sontak Maudy terkejut mendapatkan perlakuan begitu, gegas ia berkata. "Terima kasih, saya bisa sendiri!"
Dewa dengan cepat menarik tangannya, "Maaf!"
Maudy tersenyum kaku, ia pun makan lebih banyak menunduk.
"Bagaimana kabar Pak Rama?" Dewa bertanya agar menghilangkan kecanggungan keduanya.
Maudy mengangkat sedikit wajahnya. "Ayah baik, Kak Dewa!"
"Syukurlah," Dewasa tersenyum lega.
Maudy tersenyum samar.
"Tadi pagi saya kebetulan melintas di depan rumah kamu sepertinya lagi kedatangan keluarga atau saudara dari jauh," ujar Dewa.
"Calon keluarga, Kak."
"Kakakmu akan menikah?" tanya Dewa.
"Bukan, tapi saya."
Dewa tak sengaja menjatuhkan sendoknya hingga mangkoknya berbunyi.
"Sebulan lagi, kami akan menikah," ujar Maudy tak semangat.
"Wah selamat!" Dewa mengulurkan tangannya.
Maudy menyambutnya, "Terima kasih!"
"Jangan lupa undang saya, ya!"
"Pastinya!"
-
Maudy tiba di rumah pukul 10 malam, ketika hendak membuka pintu Wina menghampirinya.
"Kamu dari mana saja?"
"Habis makan mie ayam, Bu."
"Kamu tidak jadi bertemu dengan Zayn."
"Jadi, cuma orang-orang yang menangani pernikahan kami sudah pada pulang ketika aku datang."
"Lalu kamu pergi makan mie ayam dengan siapa?"
"Awalnya sendiri tapi bertemu dengan Dokter Dewa."
"Maudy, kamu sebentar lagi akan menikah jangan pernah dekat dengan pria manapun."
"Bu, aku dan Dokter Dewa hanya kebetulan bertemu. Pasti pria itu yang sudah memberitahu Ibu dengan siapa saja aku bertemu!" Maudy menebak.
"Ya, dia menyuruh Ibu untuk mengingatkan kamu. Dia mengancam akan membatalkan pernikahan," ujar Wina.
"Belum saja menikah, dia sudah berani mengancam begitu," gerutunya.
"Maudy, dia tak mau keluarganya malu karena melihat tingkahmu."
"Bu, aku tidak akan membuat malu keluarganya apalagi kalian. Ibu tenang saja," ucap Maudy kemudian masuk ke kamarnya.
****
Keesokan sorenya, Maudy mendatangi sebuah toko yang menjual gaun pengantin pernikahan dan pesta.
Dia datang ke sana karena perintah sang ibu yang begitu semangat dirinya menikah dengan pria kaya raya.
Zayn telah tiba lebih awal 5 menit, wajahnya dingin tanpa senyuman. Memperhatikan jam di tangannya lalu berkata," Kenapa kamu selalu datang terlambat?"
"Anda cukup cerewet juga, ya!" Maudy menyindir.
"Tuan, Nona, mari saya tunjukkan contoh rancangan yang akan kalian gunakan," ujar seorang wanita yang bekerja sebagai pegawai toko.
Keduanya pun mengikuti wanita itu.
"Nona, mau pilih model yang seperti apa?" tanya pegawai toko dengan ramah.
"Terserah calon suami saya saja," Maudy melirik pria yang ada disampingnya.
"Kenapa harus aku?"
"Seleraku sangat rendah, jadi ku meminta kamu saja yang memilihkannya untukku!" jawab Maudy.
"Dia memakai apa saja juga tetap cantik, terserah mau warna dan bentuk seperti apa," jelas Zayn asal.
Pegawai toko tersebut mengerutkan keningnya.
"Apa yang dikatakan calon suami saya benar, Mba."
"Ya sudah, mari coba beberapa gaun dahulu!"
Maudy mengangguk mengiyakan, ia lalu mengikuti langkah wanita itu.
Beberapa menit kemudian, Maudy keluar menunjukkannya kepada calon suaminya gaun berwarna putih yang menampakkan leher jenjangnya dan sedikit belahan dadanya.
Zayn tampak terpaku melihat kecantikan calon istrinya.
"Bagaimana dengan gaun ini, Tuan?"
"Ya, itu juga cantik."
"Tapi, aku tidak suka," ujar Maudy.
"Kenapa, Nona?"
"Terlalu seksi!"
"Ya sudah, ganti!" titahnya.
Hampir 1 jam, Maudy mencoba berbagai gaun membuat Zayn merasa bosan.
"Bagaimana dengan ini, Tuan?"
Gaun kelima berwarna putih tulang, lengan panjang, menutupi dada hingga leher.
"Inilah juga cantik!" jawab Zayn malas.
"Saya mau yang ini saja, Mba."
"Baiklah, Nona!"
Keluar dari toko, Zayn lebih dahulu berlalu. Maudy sampai berdecak kesal dengan tingkah calon suaminya itu.
Maudy pun meninggalkan toko.
-
Zayn tiba di sebuah kafe, ia memeluk seorang wanita yang memberikan kecupan singkat dipipinya.
"Kenapa lama sekali?" tanyanya dengan manja.
"Wanita itu sangat lambat memilih gaun!"
"Pasti wanita itu cantik menggunakan gaun pengantin," tampak cemburu.
"Tapi, kamu lebih cantik!" puji Zayn.
"Kenapa kamu mau saja dijodohkan dengannya?"
"Berapa kali aku katakan jika ini hanya pernikahan bisnis yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak. Jadi, kamu jangan cemburu kepadanya."
"Bagaimana tidak cemburu, Zayn. Kalian akan satu rumah dan selalu bertemu," ungkap wanita bernama Milka.
"Tapi, aku janji tidak akan menyentuhnya!"
"Aku tidak yakin."
"Aku juga melakukan ini untuk kita juga kedepannya. Apa kamu menerima aku tanpa apa-apa?"
Milka menggelengkan kepalanya.
"Aku melakukannya agar kamu bahagia dan apa yang ingin kamu mau bisa terwujud," ujar Zayn.
Milka menarik sudut bibirnya, apa yang dikatakan kekasihnya itu ada benarnya. Karena ia tak ingin hidup miskin apalagi menderita.
Ya, Zayn adalah tambang emas miliknya karena pria itu akan memberikan apapun yang ia inginkan meskipun dirinya harus mengalah.
"Apa aku boleh minta sesuatu?"
"Minta apa?"
"Aku tidak mau melihat pernikahan kalian, apa aku bisa minta tiket liburan agar tak kesal kamu duduk di pelaminan dengannya."
"Baiklah, aku akan memberikannya. Kamu mau ke mana?"
"Jepang."
"Baiklah, aku memberikan tiket dan seluruh biaya penginapanmu di sana selama seminggu."
"Wah, sayang. Terima kasih banyak."
Zayn mengusap pipi Milka dengan lembut dan tersenyum, "Aku tidak mau melihatmu bersedih!"
Milka tersenyum senang.
"Aku tidak bisa berlama-lama, ku harus pulang. Mama nanti curiga, jangan sampai hubungan kita ketahuan oleh mereka, kalau tidak semua rencana gagal."
"Baik, sayang. Mereka tidak akan tahu, pulanglah."
Zayn meletakkan sejumlah 10 lembar uang berwarna merah.
"Ini apa, sayang?"
"Buat kamu senang-senang."
Lagi-lagi Milka merasa bahagia, "Terima kasih!"
"Ya, aku duluan!" Zayn lalu meninggalkan kafe.
"Uh, beruntungnya aku. Dapat tiket liburan dan uang, memang Zayn pria idaman," gumamnya tersenyum.
Milka lalu menghubungi temannya dan mengajaknya pergi ke klub malam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!