Bab 2 - Setuju Dengan Perjodohan

Maudy berlari mencari kamar inap yang merawat ayahnya, tampak pria paruh baya itu tergeletak lemas di brankar rumah sakit.

"Ayah!" Maudy berjalan mendekati pria yang merawatnya sejak kecil.

"Maudy, mari sini!" panggilnya lirih.

"Ya, Yah."

"Perkenalkan ini Tuan Tian dan istrinya," Rama mengarahkan tatapannya kepada kedua orang paruh baya yang berada di sebelah kiri ranjangnya.

Maudy tersenyum kecil dan sedikit menundukkan kepalanya.

"Ternyata calon istri Zayn sangat cantik sekali, Pa." Puji istri Tian bernama Dinda.

"Apa yang Papa katakan benar'kan," bisiknya di telinga istrinya.

Dinda mengangguk.

"Kapan aku dan dia menikah?" Zayn tiba-tiba bicara.

Pandangan kini tertuju kepada pria dengan tinggi 180 cm.

"Kamu sudah tidak sabar, ya!" Dinda tersenyum menggoda.

"Ya, Ma." Jawab Zayn asal.

"Saya terserah keluarga Rama kapan mereka akan melepaskan putrinya buat Zayn," ujar Tian.

"Kami akan segera menikahkan Maudy kepada Zayn," Rama ikut berbicara.

"Aku belum menyetujuinya, Yah," Maudy menggelengkan kepalanya, tak menyangka ayahnya mengambil keputusan sepihak.

"Ikut Ibu!" Wina menarik tangan putrinya keluar dari ruangan inap suaminya.

"Ada apa, Bu?" tanya Maudy ketika mereka berada di luar ruangan.

"Kamu tidak ingin ayahmu berlama-lama di rumah sakit, kan?"

"Tidak, Bu."

"Makanya kamu harus menuruti permintaan kami," ujar Wina.

"Tapi, Bu. Pernikahan bukan hal untuk di main-mainkan."

"Yakinlah, pasti lama-lama Zayn akan mencintaimu," Wina meyakinkan.

"Bagaimana jika tidak?"

"Apa kamu pernah mendengar orang-orang yang berpisah, awalnya mereka saling mencintai?"

Maudy mengangguk pelan.

"Tidak selamanya pernikahan yang diawali dengan rasa tak suka akan berakhir perpisahan."

"Tapi, aku takut."

"Takut, kenapa?"

"Aku takut jika suamiku kasar," jawab Maudy

"Jika dia berani melakukan kekerasan padamu, beritahu kami. Ibu yang akan mematahkan hidungnya yang mancung itu!"

"Baiklah, Bu. Aku setuju menikah dengannya demi kalian," Maudy berkata pasrah.

Wina menarik ujung bibirnya, "Terima kasih!"

Keduanya kembali ke kamar rawat inap.

"Hmm.... Maudy setuju menikah dengan Zayn," tutur Wina.

Pria itu menarik sudut kanan bibirnya.

Kedua orang tua Zayn tampak senang mendengarnya.

"Kapan kira-kira kamu ingin menikah?" tanya Dinda kepada Maudy.

"Terserah, Tante dan Om saja." Maudy menundukkan wajahnya rasanya ia ingin menangis.

"Bulan depan saja!" sahut Zayn.

"Ya, bulan depan," Tian ikut menimpali.

"Setelah aku keluar dari rumah sakit, nanti kita akan bicarakan lagi," ujar Rama.

"Ya, hari ini juga aku akan melunasi utang kalian," ucap Tian.

"Terima kasih banyak Tian," Rama menampilkan senyum bahagianya.

"Sama-sama," Tian membalas senyumannya.

*************

Dua hari kemudian....

Keluarga Zayn datang berkunjung ke rumah Rama, mereka akan membahas tentang pernikahan.

"Maudy, kamu ingin konsep pernikahan seperti apa?" tanya Dinda.

"Terserah, Tante saja." Jawab Maudy memaksakan senyum.

"Kenapa kamu selalu menjawabnya terserah, ini pernikahan kalian?" tanya Dinda lagi.

"Saya bingung, Tante. Semua konsep yang ditawari di majalah ini bagus semua," jawab Maudy memberikan alasan.

"Oh, karena itu makanya kamu jawabnya terserah," Dinda tersenyum.

"Kami ikut kalian saja, kami yakin apa yang keluarga Zayn lakukan pasti terbaik!" sahut Wina.

Zayn terus memandangi Maudy yang selalu menunduk.

"Tentunya, kami ingin pernikahan putra kami satu-satunya ini harus mewah," ujar Dinda.

"Apa yang menjadi keputusan Tante dan Om, saya akan terima," sahut Maudy.

"Baiklah," Dinda mengiyakan.

-

Setelah keluarga Zayn pulang, Maudy kembali ke kantor.

"Kamu mau ke mana?" tanya Wina.

"Ke kantor, Bu."

"Nanti malam kamu ketemu dengan Zayn di restoran yang ada di jalan XY."

"Buat apa, Bu?"

"Kamu dan Zayn akan bertemu dengan orang-orang yang menangani pernikahan kalian."

"Baiklah, Bu. Nanti ku ke sana, aku berangkat kerja ya," pamitnya kepada Wina dan juga Rama.

Begitu tiba di kantor kecil miliknya yang bergerak di bidang makanan kecil, seorang pria muda telah menunggunya di parkiran.

Maudy tersenyum lalu berlari kecil dan memeluknya. "Apa kabar?" girangnya.

"Baik, gadis cerewet!"

"Kenapa kamu tidak mengatakan akan pulang?"

"Aku ingin memberikan kejutan untukmu!"

Maudy melonggarkan pelukannya. "Dan kamu berhasil memberikan kejutan itu!"

Pria itu tertawa.

"Bagaimana jika kita mengobrol sambil makan siang?" usul Maudy.

"Boleh juga," jawabnya.

Sementara di tempat itu, jepretan kamera memotret momen keduanya saling berpelukan.

Menaiki mobil milik pria itu, keduanya pergi ke restoran terdekat.

"Bagaimana kabar kedua orang tuamu?" tanya pria yang bernama Aldo, setibanya mereka di restoran.

"Kemarin ayah sempat masuk rumah sakit."

"Sakit apa?"

"Serangan jantung."

"Astaga."

"Usaha yang dimiliki keluarga kami mengalami kebangkrutan, ayah tak sanggup membayar utang di bank dan menggaji karyawan."

"Apa Paman Rama sudah sehat?"

"Sudah."

"Syukurlah," Aldo tersenyum lega.

"Ya, karena menuruti permintaan mereka."

"Maksudnya?"

"Kedua orang tuaku menginginkan pernikahan."

"Jadi, kamu akan segera menikah?"

"Ya."

Aldo tampak terkejut.

"Aku akan menikah dengan putra dari sahabat ayah, mereka telah membantu kami melunasi seluruh utang."

"Jadi, kamu dipaksa menikah?"

"Ya."

"Kamu bisa batalkan sekarang juga!"

"Tidak bisa, Aldo. Pembangunan perumahan juga telah berjalan, mereka memberikan bantuan dana untuk menyelesaikan proyek itu."

"Kenapa kamu tidak mengatakannya padaku?"

"Aku tidak ingin merepotkanmu," jawabnya.

"Kita sudah bersahabat dari kecil. Apa salahnya kali ini aku menolongmu?"

"Tidak ada yang salah, Aldo. Semua sudah menjadi keputusan ku," jawab Maudy memaksakan senyum.

"Semoga saja, kamu bahagia dengan pernikahanmu ini!" harapan Aldo.

"Semoga saja!"

-

-

Maudy berlari-lari kecil memasuki sebuah restoran, ia mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Zayn. Dan benar saja, pria itu masih menunggunya.

"Maaf, aku terlambat!" Maudy berkata sambil mengatur nafasnya.

"Kamu memang terlambat satu jam, mereka baru saja pulang sepuluh menit yang lalu!" Zayn tak menatap namun suaranya sangat dingin.

"Di kantor tadi sedikit masalah, makanya ku terlambat datang ke sini dan aku juga tidak memiliki nomor ponselmu," jelas Maudy.

"Benarkah apa yang kamu katakan Maudy Aletta?" Mengangkat wajahnya lalu menatap wanita yang duduk dihadapannya.

"Ya, aku serius jika tadi ada masalah di kantor."

"Bukan karena asyik berduaan dengan seorang pria?"

Maudy mengerutkan keningnya.

"Apa kamu akan memeluk setiap pria yang bertemu denganmu?"

"Kamu memata-matai aku?" Maudy tampak tak senang.

"Ya, karena kamu adalah calon istriku jadi aku harus tahu semuanya tentangmu."

"Kamu tenang saja, jika kita menikah aku akan mengabdikan hidupku untukmu!"

"Memang seharusnya!"

"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, aku akan pulang!"

"Ya, silahkan."

Maudy melangkah dengan cepat meninggalkan restoran, padahal perutnya sangat lapar.

Mengendarai mobilnya, ia mencari pedagang makanan yang sering menggelar lapaknya di pinggir jalan.

Maudy akhirnya menepikan kendaraannya ke penjual mie ayam, ia turun dan menghampiri pak tua yang menjual makanan itu.

Selesai memesan mie ayam dan dibungkus, Maudy harus menyeberang kembali ke tempat mobilnya di parkir.

Ketika hendak menyeberang, sebuah motor hampir menyenggol tubuhnya dan refleks bungkusan mie ayam yang digenggamnya terjatuh.

Sontak wajah, Maudy berubah antara marah, sedih dan kesal menjadi satu.

"Biar aku yang menggantinya!"

...----------------...

Hai semua ini karya ketiga belas aku...

Semoga kalian suka...

Selamat Membaca 🌹

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!