Bab 8 - Liburan Terasa Menyakitkan

Maudy sadar jika Hans memperhatikannya tersenyum tipis dan pria itu membalasnya.

Zayn menyudahi makan siangnya, pura-pura melihat jam di ponselnya. "Maaf, saya harus bertemu dengan keluarga di tempat lain. Saya pamit lebih dahulu!"

"Ya, silahkan!"

"Sekali lagi maaf, saya buru-buru!"

"Tidak masalah, Tuan Zayn!" ujar Hans.

Zayn berdiri begitu juga dengan istrinya.

Maudy hanya tersenyum tipis dan menggerakkan wajahnya, "Permisi!" pamitnya.

Kedua pria itu mengiyakan.

Maudy mengikuti langkah suaminya yang menggenggam tangannya.

Sesampainya di taksi, Maudy bertanya, "Apa ada keluarga kamu di sini?"

"Tidak."

"Kamu tadi berbohong?"

"Ya."

"Kenapa berbohong?"

"Aku tidak suka, dia memandangmu seperti tadi!" ceplos Zayn.

Maudy mendengarnya mengulum senyum.

"Jangan berpikir aku menyukaimu!"

"Jika tak memiliki rasa, sikapmu tidak akan seperti ini. Biarkan saja dia memandangku, siapa tahu Hans lebih tulus daripadamu," ujar Maudy.

"Ingat posisi kamu!"

"Ya, aku mengingatnya."

Begitu tiba di hotel, Maudy hanya melihat pemandangan dari jendela kamar tempat ia menginap. Suaminya entah ke mana, selalu menghilang.

Suara ponsel berdering, Maudy membalikkan tubuhnya mencari-cari bunyi tersebut. Matanya tertuju di bawah ranjang, ia setengah jongkok lalu mengambilnya. "Ini ponsel Zayn!" gumamnya.

Maudy membalikkan benda itu melihat nama yang tertera, "Milka!"

Maudy lantas menjawabnya, "Halo!"

"Halo, ini siapa?" tanya Milka dari jauh.

Maudy terdiam mendengar suara penelepon.

"Di mana Zayn?"

"Aku tidak tahu."

"Bagaimana bisa tidak tahu? Pasti kamu istrinya? Jangan menyembunyikan kekasihku!"

Deg...

Detak jantung Maudy seakan berhenti.

"Kamu hanya istrinya di atas kertas, jangan berani merebut hatinya apalagi menyentuh tubuhnya!"

Tak sanggup mendengar semua perkataan wanita itu, gegas ia menutup panggilannya.

Pintu kamar terbuka, "Apa kamu melihat ponselku?" tanya Zayn.

Maudy tanpa ekspresi menunjukkannya.

Zayn tersenyum lega dengan cepat ia raih.

"Tadi Milka menelepon, aku menjawabnya. Maaf!" Maudy berkata dengan tatapan datar.

"Sungguh lancang!" kesalnya.

"Aku sudah minta maaf, " Maudy berkata lirih.

Zayn yang tak mau mendengarkan penjelasan istrinya memilih kembali keluar kamar.

Maudy terduduk di sisi ranjang, ia menjatuhkan air matanya. "Bu, sampai kapan aku bertahan dengannya?"

----------------

Perjalanan kembali ke tanah air, Maudy memilih diam dan tak mau banyak bicara. Seharusnya liburan itu menyenangkan namun kenyataannya berbalik.

Begitu sampai di rumah, Maudy mengeluarkan isi kopernya dan suaminya. "Dari perjalanan kita pulang kami selalu diam, apa sebenarnya yang terjadi?"

"Siapa Milka?"

"Dia kekasihku."

"Jadi sebenarnya kamu pria normal?"

"Ya."

"Kenapa kamu menyetujui menikah denganku? Apa tujuanmu sebenarnya?"

"Tujuan aku adalah masa depan bersama Milka dan hanya kamu yang bisa mewujudkannya!" jawab Zayn dengan tatapan menyeringai.

Maudy mengepalkan tangannya.

"Setelah aku mendapatkannya, ku akan melepaskanmu begitu saja. Kamu harus ingat, pernikahan kita ini hanya sebuah bisnis yang saling menguntungkan. Utang keluargamu lunas dan aku mendapatkan apa yang ku inginkan," Zayn tersenyum smirk.

"Aku tidak akan pernah mau berpisah denganmu!"

Zayn tertawa kecil, "Sampai kapan kamu bertahan denganku yang tidak pernah mencintaimu?"

"Aku akan berusaha mendapatkan hatimu dan mempertahankan rumah tangga kita."

"Lakukanlah sekuat tenagamu, jika tidak kuat kamu silahkan melambaikan tangan!" lagi-lagi Zayn menunjukkan senyuman menyepelekannya.

"Aku akan membuktikannya!" Maudy menekankan kata-katanya.

Zayn lantas pergi meninggalkan kamar.

-

Sejam kemudian, kedua orang tua Zayn datang berkunjung setelah mendengar anak dan menantunya telah pulang.

"Kenapa kalian cepat sekali pulangnya? Bukankah masih ada dua hari lagi?" tanya Dinda.

"Ada pekerjaan yang mendadak, Ma." Zayn memberikan alasan bohong.

"Zayn, berapa kali Papa katakan jika urusan perusahaan biar kami yang urus," ujar Tian.

"Aku kepikiran, Pa."

"Zayn, ini jika menyangkut pekerjaan tak pernah mengecewakan," Dinda begitu bangga dengan putranya.

Maudy hanya tersenyum meski terpaksa.

"Bagaimana liburan kalian di sana?" tanya Dinda.

"Sangat menyenangkan, Ma," Zayn menjawabnya.

"Kenapa dari tadi kamu diam saja?" Tatapan mata Dinda kini ke arah menantunya.

"Aku hanya kecapean saja, Ma." Jawab Maudy tersenyum.

"Apa Zayn yang membuatmu lelah?" tanya Dinda lagi.

Maudy dan Zayn saling pandang, keduanya hanya menggaruk tengkuk.

"Perjalanan dari Dubai ke sini sangat melelahkan, Ma." Jelas Maudy agar tidak salah paham.

"Oh, begitu. Tapi, jika Zayn yang membuatmu lelah Mama senang mendengarnya," Dinda tersenyum.

"Sudahlah, Ma. Jangan membuat menantu kita malu, lihatlah wajahnya memerah karena kamu selalu menggodanya," ujar Tian.

Maudy lagi-lagi harus memaksakan senyumnya.

"Kamu pergilah ke kamar, nanti Mama akan buatkan jus buah untukmu," ujar Dinda.

"Terima kasih, Ma. Kalau begitu aku ke kamar," Maudy pamit kepada kedua mertuanya.

Kini tinggal Zayn dan kedua orang tuanya.

"Papa ingin bicara denganmu, Zayn." Tian menghentikan langkah putranya yang hendak beranjak pergi.

Zayn kembali duduk.

"Ada apa, Pa?"

"Tiket pesawat dan hotel ke Jepang buat siapa?"

"Dari mana Papa tahu itu semua?" batinnya.

"Zayn, tolong jawab!"

"Hemm... untuk Milka, Pa." Zayn berkata lirih dengan wajah sedikit tertunduk.

"Wanita itu lagi," keluh Dinda.

"Kamu sudah menikah, kenapa masih saja berurusan dengan wanita itu?" tanya Tian.

"Aku tidak ingin dia bersedih karena pernikahanku dengan Maudy, Pa."

"Jadi, karena kamu takut dia bersedih semudahnya itu memberikan tiket liburan," omel Dinda.

"Aku mencintainya, Ma."

"Berapa kali Mama katakan jangan dekati dia, masih saja berhubungan dengannya. Apa kamu tidak memikirkan perasaan Maudy?" Dinda menatap putranya.

"Aku menerima pernikahan ini karena keinginan kalian juga. Apa Mama dan Papa pernah bertanya apa aku bahagia atau tidak?"

"Mama yakin kebahagiaan kamu bersama Maudy. Dia wanita baik, jujur dan pekerja keras," jawab Dinda.

"Dia hanya mengincar harta kita saja, Ma."

"Jangan pernah mengatakan hal begitu, Zayn!" sentak Tian.

"Dia mengorbankan kebahagiannya demi uang!"

"Dia berkorban untuk keluarganya," ujar Dinda.

"Mama dan Papa selalu membela dia!" Zayn marah.

"Jika kamu tidak bisa berbuat baik kepadanya, maka tanah itu takkan pernah menjadi milikmu!" ancam Tian.

"Pa, aku ini anak kalian," Zayn berkata pelan.

"Ya, jika kamu menuruti permintaan kami maka tanah menjadi milikmu!" Tian berkata tegas.

"Ingat, Zayn. Menantu kami hanya Maudy tak ada yang lain," Dinda ikut menimpali.

"Baiklah, aku akan menuruti permintaan Mama dan Papa tapi segera berikan surat tanah itu padaku!"

"Sebelum Maudy melahirkan cucu buat kami, maka jangan harap tanah itu menjadi milikmu!" ujar Dinda.

"Bagaimana jika dia tidak hamil?" tanya Zayn.

"Kalian baru menikah dua minggu," jawab Dinda.

"Bagaimana? Apa kamu setuju syarat yang kami berikan?" tanya Tian.

"Baiklah, aku setuju!"

Dinda dan suaminya saling pandang kemudian tersenyum.

Selesai berdebat dengan putranya, Dinda membuatkan jus alpukat tanpa gula namun diberikan madu. Dinda tahu jus favorit menantunya itu dari Wina.

Dinda meminta pelayan untuk memanggil Maudy tak lama kemudian wanita itu menghampirinya.

"Maaf mengganggu kamu tidur," ujar Dinda sembari menyodorkan segelas jus.

"Aku tadi sedang mengerjakan pekerjaan kantor," Maudy memberikan alasan.

"Oh, yang penting kamu jangan terlalu lelah. Ini Mama buatkan jus alpukat kesukaan kamu dan katanya ini buah bagus untuk yang lagi program hamil," ungkap Dinda.

Maudy yang lagi menyedot jus tersedak, dengan cepat meraih gelas dan menuangkan isinya lalu menengguknya.

"Kamu tidak apa-apa, kan?"

"Tidak, Ma."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!