Jin Tampan Penghuni Canai

Jin Tampan Penghuni Canai

Bab 1

   “Ini semua demi karir kita, setidaknya kita harus menyambanginya langsung,” kata Sania begitu antusias dengan tugas yang diberikan Direktur Hans.

“Tapi, kok gua takut ya,” kata Kiki sedikit ragu.

Aliza saat itu hanya terdiam mendengar percakapan kedua temannya, jauh sebelum tugas itu diberikan kepada mereka, Aliza sudah banyak mencari informasi tentang Desa Kunan. Sebuah Desa di tengah hutan belantara, sangat terisolir.

“Ya udah, kalau lo takut, biar gue aja ma Aliza yang berangkat, Lo disini aja nyari berita-berita sampah,” kata Sania kesal karena Kiki selalu saja pesimis bila ingin melakukan sesuatu.

“Tapi kalau kita kenapa-kenapa di sana, Lo mau tanggung jawab apa, San? Ini terlalu berbahaya deh,” timpal Kiki.

Aliza malah mengabaikan perdebatan keduanya, dia kembali membuka artikel tentang Desa Kunan beserta hutan Canai. Ada banyak informasi yang artikel-artikel itu lampirkan, berbagai hal mistis yang pengunjung ceritakan menjadi daya tarik tersendiri bagi Aliza.

Desa Kunan dan Hutan Canai terdapat di pulau kecil yang termasuk dalam wilayah Indonesia. Seorang pilot maskapai luar pernah mendapatkan cahaya pilar yang berdiri kokoh didepan istana, namun faktanya tak ada kerajaan atau kehidupan modern di wilayah itu, yang ada hanya Desa kecil yang di kelilingi hutan belantara.

“Jika kalian tidak yakin untuk ke Desa itu, biarkan aku saja yang pergi,” ucap Aliza yakin pada keputusannya.

Aliza keluar meninggalkan kedua temannya itu. Sania sudah yakin pula untuk ke Desa Kunan, tetapi dia ingin Kiki ikut dalam perjalanan. Sebagai sahabat, mereka harus tetap bersama, apa pun kondisinya.

“Tunggu, Al. Gua ikut,” seru Sania. Sebelum menyusul Aliza, sejenak dia melirik kesal ke arah Kiki.

Aliza mulai menyusun barang-barangnya ke dalam koper. Tidak lupa membawa kamera serta beberapa alat tulis sementara perlengkapan pribadi yang ia bawa hanya secukupnya, karena waktu tugas mereka hanya seminggu saja. Aliza pikir segala perlengkapan yang lain bisa ia beli di perjalanan nanti.

Kiki mengantarkan kedua sahabatnya itu ke terminal, merasa tidak enak karena tidak ikut andil dalam tugas itu, tetapi karena ketakutannya jauh lebih besar dari rasa penasaran, dia rela dimusuhi oleh Sania.

“Kalian hati-hati, gue minta maaf ya, gak bisa ikut,” ucap Kiki.

Sania memasang wajah kecut, terlihat masih kesal dengan Kiki.

“Ya enggak apa-apa, Ki. Itu hak kamu, kami juga takut kalau Lo ikut, tapi malah nyusahin kita karena takut,” sahut Aliza bijaksana menanggapinya.

Menempuh perjalanan sehari semalam, dengan menggunakan kapal laut, mereka tiba di pelabuhan. Aliza dan Sania naik ojek lagi ke lokasi tujuan, Desa Kunan. Namun kedua ojek yang mereka tumpangi enggan mengantar keduanya lebih masuk ke dalam Desa.

“Ini masih jauh dari penginapan, Pak.” Kata Sania.

“Duh, maaf, Dek. Sampai sini saja, kami tidak mau terlalu masuk ke Desa sini, sebentar lagi mau gelap, nanti kami susah pulangnya,” ujar tukang ojek itu.

Aliza lebih dulu turun dari ojek yang membawanya, sama seperti ojek yang di tumpangi Sania, ojeknya itu pun menolak jika mengantar lebih jauh lagi.

“Ya sudah, ini kami bayar, tapi tidak jauh dari sini ada penginapan ‘kan?” tanya Aliza yang sudah mendapat informasi bahwa di Desa Kunan terdapat penginapan yang cukup nyaman.

Kedua tukang ojek itu pergi meninggalkan dua gadis yang sudah cukup lelah dengan perjalanannya. Sembari mengusap keringat, Aliza mengecek peta digital. Sementara Sania memilih duduk di atas kayu bekas tebangan masyarakat setempat.

“Penginapannya hanya beberapa meter saja dari sini, sebaiknya kita cepat, nanti ke buru gelap,” kata Aliza mengumpulkan semangat lagi untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.

Sania menghela nafasnya, dia sangat lelah, belum lagi menenteng koper yang sangat berat karena begitu banyak perlengkapan pribadi yang ia bawa saat itu.

“Untung aja Kiki gak ikut, bisa-bisa dia nangis karena kecapekan,” keluh Sania.

Aliza hanya menggelengkan kepalanya, tak menggubris keluhan sahabatnya. Jalan yang mereka lalui Kiri-kanan semuanya hutan, cukup menggelitik bagi Aliza dan Sania yang sudah terbiasa hidup di Kota besar.

Ssshhhh ..

Tiba-tiba dari arah kanan, Aliza mendengar suara angin yang begitu kencang mengibas ke mereka. Aliza menengok ke kiri dan kanan, angin itu begitu cepat berlalu tanpa meninggalkan sisa udara dinginnya. Aliza pun memalingkan wajahnya ke Sania.

“San, lo tadi ngerasa ada angin gak?” tanya Aliza pada Sania yang ternyata saat itu sedang mendengarkan musik.

“Apa? Tadi Lo bilang apa, Al?” tanya Sania.

“Nggak ada, lupain aja,” ketus Aliza yang mengira hak aneh itu dirasakan pula oleh Sania.

Sembari melanjutkan perjalanan, Aliza mulai menyalakan kameranya. Dia mengambil gambar dari segala sisi di Desa itu. Ada beberapa rumah penduduk yang mereka lewati, namun tak ada satu pun penduduk yang tampak lalu lalang ataupun sekedar berada di depan rumah mereka. Rumah-rumah gubuk itu bak tak berpenghuni.

“Al, orang-orang di Desa sini tuh pada kenapa sih?” Sania bertanya-tanya. Kehidupan di Desa Kunan sangat jauh berbeda dari Desa pada umumnya.

“Inilah daya tarik yang Direktur inginkan," sahut Aliza mengingatkan tujuan utama mereka ke Desa Kunan.

Penginapan yang mereka cari sudah nampak di depan mata, halaman penginapan itu cukup bersih, dan terawat. Aliza dan Sania di sambut oleh Sepasang suami istri pemilik penginapan. Keduanya juga salah atau juru kunci wisatawan yang ada di Desa Kunan. Ada sembilan kamar yang kosong, Aliza dan Sania memutuskan untuk sekamar saja, mereka ingin saling menjaga dalam situasi yang asing bagi keduanya.

“Ambil kuncinya, kalian istirahat saja dulu,” kata Kakek itu dengan berbahasa daerah setempat. Meskipun demikian, Aliza dan Sania dapat memahami perkataan Kakek yang memiliki raut wajah teduh itu.

“Terimakasih, Kek. Kami pamit untuk istirahat dulu,” kata Aliza.

Karena sangat lelah, Aliza dan Sania bergegas ke kamar nomor enam, tak sempat lagi berbincang banyak dengan Kakek Latua dan Nenek Satia saat itu.

“Gue capek banget,” keluh Sania menghempaskan badan ke atas kasur. Suara jangkrik dan hewan-hewan lainnya terdengar riuh berbaur dengan kegelapan Kunan.

Malam pekat, jendela kamar mereka masih terbuka lebar. Sania sudah tertidur pulas, Aliza yang menghindari udara dingin beranjak ingin menutup jendela. Namun sebelum meraih jendela kayu itu, mata Aliza tertuju pada sosok pria yang memandangnya dari kejauhan. Sosok pria tampan yang berdiri tak melepaskan pandangannya dari Aliza.

Aliza yang terkejut membelalakkan mata, dia gemetaran karena pria itu tak henti menyorot dari kejauhan. Karena merasa ada yang aneh, Aliza bergegas menutup jendela itu.

“Apakah dia penghuni di Desa ini?"

Terpopuler

Comments

Eva Nita

Eva Nita

bagus ceritanya

2024-01-03

0

Mr.VANO

Mr.VANO

mampir thor,,,baru mulai baca,,sdh tertari,dg misteriusny

2023-03-31

0

$uRa

$uRa

salam...baca ahhh

2023-02-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!