NovelToon NovelToon

Jin Tampan Penghuni Canai

Bab 1

   “Ini semua demi karir kita, setidaknya kita harus menyambanginya langsung,” kata Sania begitu antusias dengan tugas yang diberikan Direktur Hans.

“Tapi, kok gua takut ya,” kata Kiki sedikit ragu.

Aliza saat itu hanya terdiam mendengar percakapan kedua temannya, jauh sebelum tugas itu diberikan kepada mereka, Aliza sudah banyak mencari informasi tentang Desa Kunan. Sebuah Desa di tengah hutan belantara, sangat terisolir.

“Ya udah, kalau lo takut, biar gue aja ma Aliza yang berangkat, Lo disini aja nyari berita-berita sampah,” kata Sania kesal karena Kiki selalu saja pesimis bila ingin melakukan sesuatu.

“Tapi kalau kita kenapa-kenapa di sana, Lo mau tanggung jawab apa, San? Ini terlalu berbahaya deh,” timpal Kiki.

Aliza malah mengabaikan perdebatan keduanya, dia kembali membuka artikel tentang Desa Kunan beserta hutan Canai. Ada banyak informasi yang artikel-artikel itu lampirkan, berbagai hal mistis yang pengunjung ceritakan menjadi daya tarik tersendiri bagi Aliza.

Desa Kunan dan Hutan Canai terdapat di pulau kecil yang termasuk dalam wilayah Indonesia. Seorang pilot maskapai luar pernah mendapatkan cahaya pilar yang berdiri kokoh didepan istana, namun faktanya tak ada kerajaan atau kehidupan modern di wilayah itu, yang ada hanya Desa kecil yang di kelilingi hutan belantara.

“Jika kalian tidak yakin untuk ke Desa itu, biarkan aku saja yang pergi,” ucap Aliza yakin pada keputusannya.

Aliza keluar meninggalkan kedua temannya itu. Sania sudah yakin pula untuk ke Desa Kunan, tetapi dia ingin Kiki ikut dalam perjalanan. Sebagai sahabat, mereka harus tetap bersama, apa pun kondisinya.

“Tunggu, Al. Gua ikut,” seru Sania. Sebelum menyusul Aliza, sejenak dia melirik kesal ke arah Kiki.

Aliza mulai menyusun barang-barangnya ke dalam koper. Tidak lupa membawa kamera serta beberapa alat tulis sementara perlengkapan pribadi yang ia bawa hanya secukupnya, karena waktu tugas mereka hanya seminggu saja. Aliza pikir segala perlengkapan yang lain bisa ia beli di perjalanan nanti.

Kiki mengantarkan kedua sahabatnya itu ke terminal, merasa tidak enak karena tidak ikut andil dalam tugas itu, tetapi karena ketakutannya jauh lebih besar dari rasa penasaran, dia rela dimusuhi oleh Sania.

“Kalian hati-hati, gue minta maaf ya, gak bisa ikut,” ucap Kiki.

Sania memasang wajah kecut, terlihat masih kesal dengan Kiki.

“Ya enggak apa-apa, Ki. Itu hak kamu, kami juga takut kalau Lo ikut, tapi malah nyusahin kita karena takut,” sahut Aliza bijaksana menanggapinya.

Menempuh perjalanan sehari semalam, dengan menggunakan kapal laut, mereka tiba di pelabuhan. Aliza dan Sania naik ojek lagi ke lokasi tujuan, Desa Kunan. Namun kedua ojek yang mereka tumpangi enggan mengantar keduanya lebih masuk ke dalam Desa.

“Ini masih jauh dari penginapan, Pak.” Kata Sania.

“Duh, maaf, Dek. Sampai sini saja, kami tidak mau terlalu masuk ke Desa sini, sebentar lagi mau gelap, nanti kami susah pulangnya,” ujar tukang ojek itu.

Aliza lebih dulu turun dari ojek yang membawanya, sama seperti ojek yang di tumpangi Sania, ojeknya itu pun menolak jika mengantar lebih jauh lagi.

“Ya sudah, ini kami bayar, tapi tidak jauh dari sini ada penginapan ‘kan?” tanya Aliza yang sudah mendapat informasi bahwa di Desa Kunan terdapat penginapan yang cukup nyaman.

Kedua tukang ojek itu pergi meninggalkan dua gadis yang sudah cukup lelah dengan perjalanannya. Sembari mengusap keringat, Aliza mengecek peta digital. Sementara Sania memilih duduk di atas kayu bekas tebangan masyarakat setempat.

“Penginapannya hanya beberapa meter saja dari sini, sebaiknya kita cepat, nanti ke buru gelap,” kata Aliza mengumpulkan semangat lagi untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.

Sania menghela nafasnya, dia sangat lelah, belum lagi menenteng koper yang sangat berat karena begitu banyak perlengkapan pribadi yang ia bawa saat itu.

“Untung aja Kiki gak ikut, bisa-bisa dia nangis karena kecapekan,” keluh Sania.

Aliza hanya menggelengkan kepalanya, tak menggubris keluhan sahabatnya. Jalan yang mereka lalui Kiri-kanan semuanya hutan, cukup menggelitik bagi Aliza dan Sania yang sudah terbiasa hidup di Kota besar.

Ssshhhh ..

Tiba-tiba dari arah kanan, Aliza mendengar suara angin yang begitu kencang mengibas ke mereka. Aliza menengok ke kiri dan kanan, angin itu begitu cepat berlalu tanpa meninggalkan sisa udara dinginnya. Aliza pun memalingkan wajahnya ke Sania.

“San, lo tadi ngerasa ada angin gak?” tanya Aliza pada Sania yang ternyata saat itu sedang mendengarkan musik.

“Apa? Tadi Lo bilang apa, Al?” tanya Sania.

“Nggak ada, lupain aja,” ketus Aliza yang mengira hak aneh itu dirasakan pula oleh Sania.

Sembari melanjutkan perjalanan, Aliza mulai menyalakan kameranya. Dia mengambil gambar dari segala sisi di Desa itu. Ada beberapa rumah penduduk yang mereka lewati, namun tak ada satu pun penduduk yang tampak lalu lalang ataupun sekedar berada di depan rumah mereka. Rumah-rumah gubuk itu bak tak berpenghuni.

“Al, orang-orang di Desa sini tuh pada kenapa sih?” Sania bertanya-tanya. Kehidupan di Desa Kunan sangat jauh berbeda dari Desa pada umumnya.

“Inilah daya tarik yang Direktur inginkan," sahut Aliza mengingatkan tujuan utama mereka ke Desa Kunan.

Penginapan yang mereka cari sudah nampak di depan mata, halaman penginapan itu cukup bersih, dan terawat. Aliza dan Sania di sambut oleh Sepasang suami istri pemilik penginapan. Keduanya juga salah atau juru kunci wisatawan yang ada di Desa Kunan. Ada sembilan kamar yang kosong, Aliza dan Sania memutuskan untuk sekamar saja, mereka ingin saling menjaga dalam situasi yang asing bagi keduanya.

“Ambil kuncinya, kalian istirahat saja dulu,” kata Kakek itu dengan berbahasa daerah setempat. Meskipun demikian, Aliza dan Sania dapat memahami perkataan Kakek yang memiliki raut wajah teduh itu.

“Terimakasih, Kek. Kami pamit untuk istirahat dulu,” kata Aliza.

Karena sangat lelah, Aliza dan Sania bergegas ke kamar nomor enam, tak sempat lagi berbincang banyak dengan Kakek Latua dan Nenek Satia saat itu.

“Gue capek banget,” keluh Sania menghempaskan badan ke atas kasur. Suara jangkrik dan hewan-hewan lainnya terdengar riuh berbaur dengan kegelapan Kunan.

Malam pekat, jendela kamar mereka masih terbuka lebar. Sania sudah tertidur pulas, Aliza yang menghindari udara dingin beranjak ingin menutup jendela. Namun sebelum meraih jendela kayu itu, mata Aliza tertuju pada sosok pria yang memandangnya dari kejauhan. Sosok pria tampan yang berdiri tak melepaskan pandangannya dari Aliza.

Aliza yang terkejut membelalakkan mata, dia gemetaran karena pria itu tak henti menyorot dari kejauhan. Karena merasa ada yang aneh, Aliza bergegas menutup jendela itu.

“Apakah dia penghuni di Desa ini?"

Bab 2

  Setelah sarapan, Aliza dan Sania sudah siap diantar oleh Kakek Latua ke hutan Canai. Sebagai juru kunci, Kakek Latua sudah mewanti-wanti kedua tamunya itu agar tidak melanggar pantangan selama mereka di hutan Canai. Di halaman, sudah ada Nenek Satia yang menunggu mereka. Wanita berusia lanjut itu memegang dupa yang berbau gula merah untuk memberikan keselamatan pada Aliza dan Sania.

“Semoga kalian kembali dalam keadaan selamat,” ujarnya sembari mengibaskan asap di wajah kedua cantik itu.

Di perjalanan menuju hutan, Kakek Latua tak henti melirik ke arah kanan mereka, Aliza yang memiliki kepekaan tinggi tahu bahwa ada sesuatu yang aneh di perjalanan mereka.

“Aku boleh bicara sebentar, Kek?” pintanya.

“Ada apa?” tanya Kakek Latua.

Sejenak Aliza membawa Kakek Latua menepi di dekat pohon, ia tak ingin pembicaraannya di dengar oleh Sania. Dia tahu betul, Sania aslinya penakut.

“Semalam aku melihat pria tampan tidak jauh dari penginapan, Kek.”

Seketika wajah Kakek Latua berubah, dia melirik ke arah kanannya, seperti mencari sesosok yang sedari tadi mengikuti mereka.

“Mungkin saja itu hanya perasaan mu saja, Nak. Lebih baik kamu diam saja jika melihatnya, jangan memberitahu siapa pun, termasuk temanmu itu,” ujar Kakek Latua mengingatkan.

Aliza merasa sudah menemukan pertanda mistis di balik kalimat Kakek Latua. Dia meyakini sosok yang ia lihat itu sudah diketahui oleh Kakek Latua, tetapi dia tak ingin mengucapkan secara gamblang.

Mereka melanjutkan perjalanan ke dalam hutan, tidak jauh dari pohon besar tertua di hutan Canai, ada sebuah gapura yang banyak menyimpan cerita misteri dibaliknya.

“Ini gapura pusat Hutan Canai, di sini tempat para sesepuh jaman dulu melakukan upacara adat,” papar Kakek Latua.

Aliza mulai memotret di setiap bagian sudut gapura itu, sementara Sania merekam suara Kakek Latua yang bercerita.

“Gapura ini sejak kapan berdiri, Kek?” tanya Sania.

“Sebelum kerajaan Majapahit, orang-orang kerajaan sering datang bertandang ketika sesepuh kami mengadakan upacara adat,” jawab Kakek Latua.

 Tetapi Aliza saat itu merasa ada yang sedang mengawasi. Bulu kuduknya merinding serta udara di sekitarnya menjadi dingin. Aliza yakin, ini pertanda para penghuni gapura itu sedang menyambut kedatangan mereka.

Aliza tak henti memotret, di bagian sudut kanannya, ada angin dingin lagi yang berembus pelan. Aliza bergegas beranjak ke dekat Kakek Latua dan Sania.

“Kenapa, Al?” tanya Sania.

“Enggak, Cuma penasaran aja denger Kakek,” sahutnya.

Aliza saat itu memilih lagi memotret bagian hutan yang teramat gelap, sementara Kakek Latua dan Sania masih ada di dekat gapura. Kakek Latua sedang melakukan ritual penghormatan pada penghuni gapura itu. Aliza yang tak menyadari dirinya sudah berjalan cukup jauh dari gapura. Suara yang memanggil nama Aliza seakan menghipnotis dirinya mengikuti sumber suara itu.

Gadis cantik itu tak menyadari dirinya sudah di tengah hutan Canai. Teramat gelap dengan suara-suara burung yang berkicau seperti memperingati Aliza untuk segera pulang. Aliza tetap mengikuti sumber suara yang memanggilnya, sampai akhirnya dia menemukan dua pilar yang bercahaya. Cahaya pilar itu ingin menyedot tubuh Aliza masuk ke dalamnya, namun tiba-tiba ada sesosok pria yang menarik Aliza lalu membawanya pergi menjauh.

Tubuh Aliza serasa di bawa terbang oleh pria berbadan kekar itu. Tubuhnya yang mungil di peluk erat agar dia tak terjatuh saat berada di ketinggian. Tampaknya pria itu menghindari para penghuni pilar yang ingin memerangkap Aliza.

“Ahhhh .. untung saja,” kata pria itu yang sudah lega karena menyelamatkan Aliza.

Aliza yang masih memejamkan matanya begitu takut melihat sosok pria yang membawanya itu.

“Buka matamu,” ujar pria itu.

Perlahan Aliza membuka matanya, pandangan yang disuguhkan pertama kali ialah sosok pria yang ketampanannya tak ada yang menandingi di dunia manusia. Pria itu masih menggendong Aliza.

“Ka-kau siapa?” tanya Aliza gemetaran.

“Garret,” jawab pria itu. Dia memalingkan wajahnya dari Aliza.

“Lepaskan aku,” pinta Aliza.

“Kau ingin aku lepaskan? Yakin?”

Garret melirik ke bawah, Aliza pun ikut melirik ke bawah, Aliza membelalakkan matanya, rupanya saat itu Garret membawanya duduk di atas pohon yang teramat tinggi. Aliza yang takut ketinggian seketika memeluk erat tubuh Garret.

“Kenapa bisa kita ada di sini?” tanya Aliza ketakutan.

“Kamu tadi hampir saja di hisap pilar Canai, jika kamu masuk ke istana Canai, bisa dipastikan kamu tidak akan bisa kembali ke dunia mu,” jelas Garret.

“Lalu kamu siapa? Kamu setan? Jin atau genderuwo?” tanya Aliza ketakutan. Ia melepaskan pelukannya dari Garret. Takut jika sosok itu genderuwo yang ingin menculiknya.

“Aku bukan makhluk jahat seperti genderuwo yang kamu takutkan, aku bagian dari makhluk penghuni hutan Canai, dulu manusia sama seperti mu” papar Garret.

“Dulu? Maksudnya, kamu ..” Aliza ternganga. Dia semakin ketakutan.

Bola mata Garret melirik ke arah bawah, dia mengawasi keadaan sekitar mereka, sepertinya para penghuni hutan lainnya sedang berkeliaran karena merasa terganggu. Kehadiran manusia bagi mereka adalah hal yang paling mengganggu mereka. Terlebih lagi ada yang mengambil gambar tanpa melakukan ritual izin.

“Si Kakek itu tidak memberitahu kamu, di hutan ini tidak boleh mengambil gambar sebelum melakukan ritual?” papar Garret.

Aliza tidak mendapatkan wanti-wanti seperti itu dari Kakek Latua. Mereka hanya tidak boleh menegur sesuatu yang dilihat janggal.

“Ah, mungkin dia lupa, namanya sudah tua,” sahut Aliza yang tahu keadaan Kakek Latua sudah pikun.

Garret masih memangku tubuh Aliza. Dia masih memantau keadaan dari atas. Sementara Aliza ketakutan karena dia sudah ada di peristiwa yang sering kali dijadikan cerita mistis oleh orang-orang yang berkunjung di Desa Kunan, kini ia merasakan ada di hutan Canai bersama penghuninya. Entah saat itu nyawanya sudah terancam atau tidak, Aliza hanya berpasrah saja.

“Jangan takut, aku tidak sejahat yang kamu pikirkan, aku hanya kasihan, sejak kemarin kamu di ikuti oleh-oleh penghuni Desa yang usil,” kata Garret.

Aliza tetap saja belum bisa mempercayai Garret.

“Tolong, kembalikan aku ke penginapan, aku ingin pulang saja,” pintanya.

“Belum bisa, kamu sudah di tengah hutan, dan penghuni disini masih mencari kamu, kita akan tertangkap jika kita ditemukan,” jelas Garret sesuai kenyataan yang ada.

Garret membawa Aliza lagi berpindah di tangkai pohon yang lain, setelah menemukan tangkai yang cukup aman, Aliza didudukkan secara perlahan disamping-Nya.

“Duduklah di sini, jangan banyak bergerak, kalau kamu jatuh, tulang belulang mu bisa terpisah-pisah,” kata Garret.

Meskipun ketakutan, Aliza melirik sejenak ke arah bawah, pohon yang mereka tempati saat itu setinggi sekitar dua ratus meter.

“Jangan melihat ke bawah kalau kamu takut,” ketus Garret. Dia kesal karena Aliza masih menganggapnya makhluk jahat yang ingin memanfaatkan manusia.

Aliza memandangi sekujur tubuh Garret, penampakan Garret tak ada bedanya dengan dirinya manusia. Memiliki anggota tubuh yang sama, dengan tekstur kulit yang sama, namun tingkat kulit Garret lebih cerah dari manusia pada umumnya.

Bab 3

 Kakek Latua dan Sania sudah menyelesaikan ritualnya, keduanya baru menyadari bahwa Aliza sudah tak bersama mereka lagi. Kakek Latua bergegas memohon doa agar tamunya itu dikembalikan oleh penghuni hutan Canai.

“Kenapa, Kek?” tanya Sania yang juga ketakutan.

“Kita pulang terlebih dulu, temanmu sedang berada di alam yang berbeda, sepertinya dia melanggar pantangan,” jelas Kakek Latua.

Sania enggan beranjak pergi, dia tetap ingin mencari Aliza karena tak ingin sahabatnya itu ditinggalkan seorang diri dalam hutan yang amat gelap.

“Enggak, Kek. Aku mau nunggu Aliza, kali aja dia akan kembali,” kata Sania.

“Kita akan kembali, tapi lebih baik kita pulang dulu, para penghuni hutan canai sedang berkeliaran jika ada manusia yang melanggar pantangan, ayo, kalau kamu mau selamat,” jelas Kakek Latua yang juga sudah gemetaran karena ketakutan.

Sania berat meninggalkan Aliza seorang diri di hutan itu, tetapi jika mereka semuanya menghilang, bagaimana bisa Aliza ia di temukan? Batin Sania dilema. Tangannya di tarik paksa oleh Kakek Latua untuk bergegas keluar dari hutan canai.

“Lebih baik kita pulang dulu, nanti saya akan berusaha berdiskusi dengan kuncen lainnya,” kata Kakek Latua mengambil cara bijaksana.

Sania telah menurut, dia dan Kakek Latua berjalan cepat kembali ke penginapan, sesekali menoleh ke belakang berharap ada Aliza yang mengikutinya.

“Ayo cepat,” seru Kakek Latua agar Sania lebih mempercepat langkahnya.

Sania saat itu berjalan sambil menitikkan air matanya, dia tak menyangka akan kehilangan Aliza di hutan Canai, di pikirannya berkecamuk dengan musibah yang menimpa sahabat karibnya itu.

“Gue merasa bersalah banget ninggalin lu, Al,” lirihnya.

Garret dan Aliza masih berada di atas pohon. Pria berbadan kekar itu melihat di sekelilingnya, merasa sudah aman, dia pun berinisiatif membawa Aliza pergi.

“Lebih baik kita ke tempat ku saja, jika berlama-lama disini, kita bisa tertangkap,” usul Garret.

“Kemana? Ke cahaya pilar itu?” tanya Aliza.

“Bukan, ke rumah ku, aku akan menyembunyikan mu sampai keadaan aman,” sahut Garret dengan niat baiknya.

Aliza tak memiliki pilihan lain lagi, dia pun tak sanggup jika tetap berada di pohon itu, tubuhnya melemah karena energinya diserap oleh dimensi lain. Mempercayai Garret adalah satu-satunya solusi agar ia tetap tenang, setidaknya dia tidak melakukan yang akan merugikan dirinya sendiri.

Tanpa menunggu jawaban, Garret meraih tubuh Aliza lalu membawanya terbang. Aliza memejamkan mata karena yang ia rasakan hanya kibasan angin, sesekali ranting pohon menghalau jalan mereka. Melingkarkan kedua tangannya di punggung Garret, mempercayakan keselamatannya kepada pria berwajah blasteran itu.

Beberapa menit berselang, kibasan angin itu tak dirasakan lagi oleh Aliza, akan tetapi dia masih takut untuk membuka matanya. Garret menggendong Aliza ke rumah yang cukup mewah. Rumah yang tak kasat mata, rumah yang tak mampu di lihat oleh manusia bila tak memiliki kekuatan batin.

“Kita sudah sampai di rumah ku, di sini aman, para penghuni Canai tidak akan berani menerobos rumah-rumah penghuni lainnya,” jelas Garret.

Aliza perlahan membuka matanya, dia merasa sudah duduk di atas sofa yang empuk. Bertapa terkesimanya ketika melihat keadaan rumah Garret yang mewah. Perabot rumahnya pun sama dengan yang dimiliki manusia. Aliza tak bergeming sama sekali, dia masih terkesima dengan segala yang di suguhkan oleh pandangannya.

“Beristirahatlah, kamu sepertinya sudah kehabisan energi,” ujar Garret.

Aliza hanya mematung, dia memandangi Garret tanpa berkedip. Dia mengingat sosok pria yang mengawasinya saat berada di penginapan.

“Kamu yang ada di penginapan itu?” tanya Aliza menebak.

“Iya, itu karena penghuni Canai dan Desa sudah mengintai mu, karena kamera yang kau bawa itu,” jawabnya.

Aliza melihat kameranya yang masih bergantung di lehernya. Ya, sejak kemarin ia tak henti memotret keadaan Desa dan hutan. Ternyata itu salah satu pantangan yang tidak boleh dilakukan sebelum mendapat izin dari penghuni setempat.

“Apa aku bisa kembali ke dunia ku?”

Garret terdiam, untuk mengembalikan Aliza bukan hal yang mudah, ada banyak rintangan yang harus mereka lalui. Saat itu para penghuni Canai sedang marah dengan manusia yang pernah berkunjung sebelumnya karena telah berbuat buruk di tempat mereka. Ada yang membuang hajat sembarangan, ada yang pula melakukan hubungan badan di tempat ibadah penghuni Canai. Bahkan di gapura canai ada sebagian manusia yang buang air kecil seenaknya.

“Apa sebelum kau ke tempat kami, kau tidak tahu tentang hutan ini? Kenapa kamu seberani itu datang ke tempat kami? Apa hanya karena penasaran?” tanya Garret kesal.

Dia juga sangat bosan menghadapi manusia yang memiliki akal tapi tak menggunakannya. Seharusnya sebagai sesama makhluk hidup, mereka harus saling menghargai, bukan malah seenaknya berbuat tidak sopan hanya karena kaum mereka yang tidak terlihat.

“A-aku, tidak tahu begini akan terjadi,” sahut Aliza pelan. Ia menundukkan wajah karena menyesali sudah melanggar pantangan.

“Risikonya, kamu akan butuh berbulan-bulan untuk bisa keluar dari sini, tersesat di hutan bukan hanya tersesat di antara pohon saja, tetapi tersesat di dimensi lain, untung saja yang menemukan kamu adalah aku, jika penghuni lain, kamu sudah dijadikan budak,” jelas Garret.

Dia tahu penghuni lain sering kali menghukum manusia yang melanggar pantangan untuk dijadikan budak seumur hidup. Jiwanya di belenggu tak memiliki daya untuk kembali seperti manusia pada umumnya.

“Ja-jadi, kamu mau jadikan aku budak?” tanya Aliza gemetaran. Dia langsung bertekuk lutut agar Garret tak melakukan hal demikian terhadapnya.

Garret menyeka rambut Aliza yang sudah menangis histeris karena ketakutan.

“Aku sudah bilang, aku tidak jahat. Berhentilah menangis, selama kamu masih bersamaku, kamu akan aman, percayalah ..”

Garret memeluk Aliza, dia mengerti ketakutan Aliza sebagai manusia biasa, terlebih lagi seorang perempuan yang berasal dari kota modern, tentu tidak mudah menerima segala konsekuensi atas perbuatannya sendiri.

“Istirahatlah,” ucap Garret berbisik di telinga Aliza.

Aliza menurut, dia beristirahat di sofa, sementara Garret memasang pengamanan di sekitar rumahnya, itu cara agar suara dan aroma manusia Aliza tak dapat tercium oleh penghuni Canai lainnya.

Garret kembali masuk ke dalam rumahnya, dia melihat Aliza sudah tertidur lelap. Dia mendekat ke Aliza, mengamati wajah Aliza yang terlihat sangat lelah karena beradaptasi di dimensi berbeda. Garret tertegun, dia melihat ada siluet anak bayi yang saat itu ia gendong bersama Aliza. Seketika Garret menjauh dari Aliza, dia terkejut dengan gambaran kondisinya yang ia yakini itu masa depannya.

“Mungkin kah perempuan ini yang selalu hadir di bayangan mata ku?” gumam Garret bertanya-tanya.

Jika itu pun benar, betapa bahagianya dia, selama puluhan tahun, Garret seorang diri hidup di hutan canai. Sebelum menjadi penghuni canai, dia adalah manusia yang pernah jadi prajurit Inggris, Garret ditugaskan untuk menjaga perbatasan hutan Canai pada masa silam. Tetapi karena penduduk hutan merasa terganggu oleh keberadaan orang asing, Garret dan beberapa prajurit lainnya di sekap untuk dijadikan penghuni Canai.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!